Kisah dengan sebutir beras ini mengajarkanku bahwa manusia hanya diminta untuk bersyukur atas segala ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Oleh. Netty al Kayyisa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ramadan selalu mengingatkanku pada beberapa kisah berkesan dalam hidup. Kisah yang selalu menjadi pengingat agar selalu bersyukur kepada Allah. Salah satunya tentang beras.
Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Sebagai ketua OSIS, salah satu program bidang kegamaan saat Ramadan adalah mengumpulkan dan menyalurkan zakat fitrah dari siswa-siswi.
Program ini diketuai oleh teman satu angkatan beda kelas. Saat pembagian, beras-beras yang sudah terkumpul kami timbang ulang untuk memastikan beratnya. Karena ada yang tercecer, juga penggunaan timbangan yang tidak sama bisa jadi menimbulkan perbedaan meski hanya beberapa ons. Kadang orang desa pada saat itu tidak memilki timbangan. Sehingga hanya menggunakan perkiraan, mengukur dengan kaleng bekas susu atau yang lainnya.
Setiap beras yang dikumpulkan tidak diberi nama, jadi kami tidak bisa membedakan ini beras siapa. Saat dibuka satu per satu kantong beras yang dikumpulkan, kebetulan si ketua pelaksana ada di sebelahku, dia berseru, “Ya Allah iki sopo yo sing zakat nggawe beras ngene. Ga layak dikekne uwong. Paling dhek’e dhewe ga gelem mangan beras ngene iki.”
(Ya Allah ini siapa ya yang zakat menggunakan beras seperti ini. Tidak layak diberikan kepada orang. Dia sendiri mungkin tidak mau makan beras seperti ini)
Mendengar si ketua yang menggerutu, aku penasaran dan melihat kantong beras yang ada di tangannya. Deg! Tiba-tiba hati ini bergetar dan meringis. Sekuat mungkin aku tahan genangan air mata yang siap meluncur tanpa permisi.
Beras Itu Milikku!
Iya beras itu memang tidak seperti beras pada umumnya. Beras itu warnanya buluk, bulirnya gendut-gendut tapi tidak memanjang, dan warnanya putih susu hampir seperti beras ketan putih. Dilihat sekilas memang tidak layak dimakan. Karena warnanya yang buluk dan pada saat itu beras seperti tadi adalah beras kualitas terendah, dengan harga paling murah di pasaran.
Ya, aku tahu beras siapa itu. Karena aku sendirilah yang menyerahkan beras itu. Beras yang menjadi jatah bapak sebagai PNS kala itu. Bapak seorang PNS yang mendapatkan jatah beras hanya untuk empat orang saja. Bapak, Ibu dan dua anak, kakak-kakakku. Kami empat bersaudara, tetapi yang diakui pemerintah hanya dua orang. Sehingga tunjangan atau apa pun yang berkaitan dengan keluarga hanya mendapat jatah untuk dua anak. Termasuk beras ini. Yang kata orang tidak layak nyatanya memang itulah beras yang ada di rumah kami. Yang kami makan sehari-hari.
https://narasipost.com/opini/09/2023/beras-mahal-dan-harga-diri-petani/
Bapak tidak bisa mengandalkan mencukupi kebutuhan keluarganya dari PNS-nya saja. PNS kala itu hanya sebagai guru SD yang tamatan Sekolah Rakyat. Sore harinya bapak harus berjualan bakso. Aku dan kakak perempuanku setiap sore juga pergi ke warung bapak untuk membantu mencuci mangkok-mangkok yang kotor atau membeli kebutuhan yang sudah habis, seperti kecap, saos, dan sebagainya.
Kadang hati merasa malu, minder ketika bertemu dengan teman-teman pas kami berada di warung. Bahkan tak jarang, aku juga harus menggantikan bapak mendorong gerobak bakso dari rumah ke tempat pangkalan. Jika sampai berpapasan dengan teman atau kepergok teman satu sekolah, rasa malu ini menghantui. Enggan rasanya pergi ke sekolah, bertemu teman-teman karena selalu di olok-olok. “Anak tukang bakso enggak usah gaya-gaya. Ga usah sok.”, begitu kata mereka.
“Memang apa salahku?”, batinku bertanya.
Melawan Bully dengan Prestasi
Singkat kisah, mereka berhenti sendiri saat kenaikan kelas dua, saat aku bisa membuktikan bahwa anak tukang bakso ini bisa juara paralel dan menjadi ketua OSIS. Justru guru-guru di sana mengapresiasi semua kerja kerasku dengan baik. Mereka menyampaikan betapa bangga mereka dengan aku dan saudara-saudara di rumah, di tengah posisi bapak sebagai guru, yang seharusnya memiliki kedudukan mulia, tapi bapak tidak segan-segan berjualan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Anak-anaknya juga tumbuh dengan baik, tak malu dan minder bahkan tetap bisa berprestasi di sekolah. Itu menurut mereka.
Padahal di relung hati terdalam, aku mati-matian melawan rasa rendah diri, malu, dan minder yang kadang muncul tanpa terduga. Yang membuat aku harus menyusut air mata di belakang semua orang demi menunjukkan betapa aku adalah anak yang tegar.
Seperti kisah sebutir beras zakat itu contohnya. Aku tak bisa menahan pedih di dada. Diam-diam melipir, menjauh dari keriuhan aktivitas timbang-menimbang beras zakat. Ada rasa sedih dan sesak di dada. Mengapa seseorang demikian mudah menuduh orang lain tanpa bukti nyata. Mengapa seseorang bisa menghakimi tanpa tahu faktanya.
Tak ingatkah mereka tentang firman Allah dalam ayatnya yang mulia?
وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱكۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ٥٨
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
Di satu sisi aku mencoba tegar, agar jiwa ini kuat dan tenang. Toh Allah tak menghisab kondisi ekonomi keluarga kita yang merupakan ketetapan-Nya. Ini bisa kuucapkan sekarang ketika sudah memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi dulu, hanya satu motivasi yang membuatku tegar dan mencoba melawan semua rasa rendah diri dan minder ini. Karena ingin memberikan yang terbaik untuk bapak yang telah berjuang susah payah menghidupi keluarga. Aku ingin menjadi kebanggaan bapak dengan versi terbaikku saat itu.
Hikmah di Balik Kisah Sebutir Beras
Dan saat ini, ketika sudah memahami ayat-ayat Allah, hatiku semakin mantap, semakin banyak bersyukur, ternyata tak semua sama dalam pandangan manusia. Dari kisah sebutir beras ini aku belajar bahwa bisa jadi apa yang menurut kita baik, belum tentu baik di hadapan Allah. Manusia hanya diminta untuk bersyukur atas segala ketentuan yang telah Allah tetapkan. Dan karena itulah nikmat Allah akan selalu bertambah untuk kita.
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Terima kasih kisah sebutir beras.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Jazakillah khoir mom dan seluruh tim NP
Pernah dalam posisi dipandang sebelah mata di zaman sekolah.. ya, weslah.. biarkan saja.. pilih fokus belajar dan biarkan hasil yang berbicara..
Bener banget mb.
Kisah yang menginspirasi. Banyak hikmah yang ada di dalamnya. Barakallah untuk penulis.
Aamiin...wa fiik baarakallah mb. Belajar banyak dari panjenengan atas rekomendasi mommy. He he
Wah serasa mengulang masa sekolah menjadi anak dari ayahku yang seorang guru SD
Sama dung kita bun. Beda nasib tapi ya. He he