"Inilah cermin sistem pemerintahan yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang melihat berbagai persoalan, baik masalah kependudukan, ekonomi, sosial, dan bidang lainnya melalu data berdasarkan sensus berupa angka-angka bukan pada realitas kehidupan itu sendiri."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) dari tanggal 15 Oktober - 14 November 2022 mengadakan pendataan awal Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) di seluruh provinsi di Indonesia.
Regsosek adalah program pemerintah berupa pengumpulan data seluruh penduduk yang terdiri atas profil, kondisi sosial, ekonomi, dan tingkat kesejahteraan. Tujuannya tidak lain untuk membangun data kependudukan tunggal, atau satu data. Seperti dikutip dari bps.go.id dengan adanya data tunggal, pemerintah dapat melaksanakan berbagai programnya secara terintegrasi, tidak tumpang tindih, dan lebih efisien.
Selain itu data Regsosek dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas berbagai layanan pemerintah seperti pendidikan, bantuan sosial, kesehatan, hingga administrasi kependudukan. Namun, program sensus data ini disinyalir berpotensi mubazir dan bisa memperparah data kependudukan yang ada karena terkesan tumpang-tindih dengan data sensus lainnya di Indonesia yang tentu juga menjadi pemborosan anggaran dana pemerintah.
Selain itu, menurut Koran Tempo, 29/11/2022 sensus yang berskala nasional ini pelaksanaannya seakan dipaksakan tanpa landasan hukum yang kuat. Dasar hukumnya masih mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik dan Rancangan Peraturan Presiden tentang Reformasi Sistem Perlindungan Sosial yang kemungkinan dijadikan aturan pelaksanaan Regsosek.
Jika kita mencermati landasan hukumnya, Regsosek terkesan tumpang tindih dengan penyelenggaraan berbagai sensus yang menyangkut kependudukan di negeri ini. Sekali pun Regsosek menitik beratkan kepada masalah sosial dan ekonomi, namun tidak bisa dipisahkan dari data kependudukan sebelumnya seperti sensus penduduk dan sensus ekonomi nasional (susenas) yang secara periodik dilakukan pemerintah. Belum lagi adanya pemborosan anggaran tentu tidak akan bisa dihindari karena biaya pelaksanaan sensus sudah tentu memakan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan para petugas lapangan.
Cermin Sistem Kapitalisme
Inilah cermin sistem pemerintahan yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang melihat berbagai persoalan, baik masalah kependudukan, ekonomi, sosial dan bidang lainnya melalu data berdasarkan sensus berupa angka-angka bukan pada realitas kehidupan itu sendiri. Semisal alat ukur kemiskinan yang dilihat dari data pendapatan per kapita atau pendapatan nasional bruto domestik atau data sensus dari BPS yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Berkenaan dengan konsep pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar ini, BPS memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, yang dimaksud penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sementara garis kemiskinan itu sendiri tidak jelas parameternya karena berdasarkan rata-rata pendapatan per kapita, bukan realitas per individu.
Solusi Islam tentang Kemiskinan
Berbeda halnya dengan konsep dalam sistem ekonomi Islam dalam melihat kemiskinan. Sebagaimana dikutip dari kitab Nidzam Al Iqtishodi karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, melihat kemiskinan bukanlah berdasarkan angka-angka survei atau ukuran pendapatan per kapita, melainkan melihat realitas sosial yang sesungguhnya, bagaimana kehidupan rakyat terpenuhi atau tidaknya kebutuhan dasarnya per individu dan bagaimana pelayanan dasar kebutuhan publik terlayani secara baik oleh negara.
Dalam kitab tersebut dijelaskan, bahwa hukum-hukum syariat yang menyangkut masalah ekonomi, tampak secara jelas ketika Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfaatkan kekayaan yang ada. Politik ekonomi Islam dibangun dengan berpijak pada asas pemenuhan kebutuhan setiap orang sebagai individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu serta asas bekerja untuk mendapatkan kekayaan dalam rangka memenuhi apa saja yang bisa memuaskan kebutuhan.
Inilah sesungguhnya pandangan syariat Islam, yang dianggap masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Karena itu Islam ketika membahas masalah ekonomi secara makro dan solusi atas kemiskinan hanya dengan menitikberatkan kepada tiga hal, yaitu tentang bagaimana cara memperoleh kekayaan, mengelola kekayaan dan mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah masyarakat.
Kemiskinan bukanlah perkara data atau angka dari hasil survei, melainkan perlu solusi nyata sebagai tanggung jawab negara yang diamanahi kewajiban untuk mengurus rakyatnya. Dalam Islam, solusinya tidak lain dengan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, memberikan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan secara mudah dan gratis dan memotivasi orang yang mampu bekerja untuk memperoleh kekayaan secara halal dengan aturan syariat Islam secara kaffah. Mengenai keutamaan bekerja, Imam Al Bukhari melalui jalur Al Miqdam, menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Tidaklah seseorang makan sesuap makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil jerih payahnya sendiri. " (HR.Al Bukhari).
Wallahu'alam bish Shawwab.[]