Polugri sebuah negeri muslim seyogianya menjadikan akidah Islam sebagai landasan. Ia tidak boleh tunduk di bawah aturan negara asing.
Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com dan Penulis Get Up, Guys!)
NarasiPost.Com-Pasangan Prabowo-Gibran resmi dilantik menjadi Presiden RI ke-8 dan Wakil Presiden RI ke-14. Pasangan ini akan memimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan. Banyak harapan disematkan kepada pemerintah baru, umumnya menginginkan kondisi Indonesia lebih baik dari sebelumnya.
Selain perhatian terhadap kebijakan politik dalam negeri, tentu publik ingin mengetahui pandangan politik luar negeri (polugri) Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Hal ini penting, agar Indonesia dapat menentukan sikap terhadap gejolak konstelasi internasional saat ini. Apalagi polarisasi pengaruh antara Barat yang diwakili oleh Amerika dan Eropa dengan Timur yang diwakili oleh Cina kian menguat.
Polugri Prabowo, Barat atau Timur?
Dafri Agussalim, seorang pengamat kebijakan Hubungan Internasional Fisipol UGM memberikan pandangan terhadap arah kebijakan politik polugri Presiden Prabowo. Ia menilai bahwa Prabowo akan lebih condong menjalin kerja sama dengan negara di kawasan Timur, baik Timur Tengah maupun Asia Timur seperti Cina. (tempo.co, 18-10-2024)
Pernyataan Dafri bukan tanpa alasan. Sebelum dilantik menjadi presiden, saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo melakukan kunjungan ke beberapa negara di Eropa dan Asia. Negara-negara tersebut adalah Cina, Rusia, Turki, Jepang, Prancis, dan Serbia. Kunjungan ini seolah-olah mengindikasikan pergeseran orientasi polugri Indonesia yang condong kepada Timur. (ugm.ac.id, 7-8-2024)
Prabowo sendiri dalam pidato kenegaraannya sebagai Presiden RI menegaskan bahwa politik luar negeri RI adalah bebas aktif, nonblok, non-align, dan tidak mengikuti pakta militer mana pun. Prabowo ingin menerapkan prinsip, Indonesia harus menjadi tetangga yang baik (good neighbour) namun tetap tegas dalam menyuarakan antipenjajahan, antirasialisme, dan antipenindasan.
Mengenal Politik Bebas Aktif
Dikutip dari kompas.com, politik luar negeri bebas aktif dicetuskan pertama kali oleh Wakil Presiden RI yang pertama Muhammad Hatta pada tahun 1948. Dalam pidatonya “Mendayung Dua Karang”, Hatta menawarkan konsep polugri bebas aktif karena berkaitan dengan konstelasi internasional saat itu.
Pasca Perang Dunia II, dunia internasional terbagi menjadi dua kubu besar yang saling bersaing yaitu Blok Timur dengan Uni Soviet yang berpaham sosialis-komunis sebagai pemimpinnya. Di kubu lain ada Blok Barat yang menganut paham liberal kapitalime dengan Amerika Serikat sebagai penggawanya. Meskipun perang telah berakhir, tetapi keduanya bersaing sengit dalam meraih dukungan internasional melalui perang dingin.
Tak ingin terseret dalam arus konflik, Indonesia menyatakan arah politik luar negerinya dengan tidak memihak kepada kedua blok yang berseteru atau nonblok. Indonesia bebas menentukan sikap dan kebijakannya dalam menghadapi konflik internasional. Indonesia tetap mempertahankan netralitasnya tetapi tetap aktif menciptakan perdamaian.
Ciri khas politik bebas aktif adalah lebih mengedepankan proses pendekatan diplomasi dan tetap menjaga kedaulatan, kebebasan, dan kepentingan nasional. Namun, tetap menjalin kerjasama dengan negara lain. Pendekatan ini kerap dilakukan oleh Presiden RI dalam keikutsertaannya menyelesaikan berbagai konflik dunia internasional.
Benarkah Polugri Bebas Aktif Bersifat Netral?
Percaturan dunia internasional kerap berubah, sesuai kondisi dan peta perpolitikan dunia yang terus berputar. Di sinilah posisi sebuah negara di dunia akan terlihat, apakah sebagai negara adidaya, satelit (independen) atau pengikut. Pada periode sebelum Perang Dunia I, pemimpin dunia saat itu adalah Khilafah Islam. Ia berjaya selama sekitar 14 abad. Setelah Kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, negara-negara Eropa mengambil alih kepemimpinan dunia secara bergantian.
Baca: Benarkah Cadangan Minyak RI Menipis?
Inggris, Prancis, dan Jerman pernah menjadi negara adidaya saat itu. Hingga akhirnya meletus Perang Dunia II, Amerika muncul sebagai pemenang. Konstelasi internasional pun berubah dengan Amerika naik posisi sebagai negara adidaya. Amerika pun mulai menancapkan kekuasaannya dan mengikat negara-negara Barat sebagai sekutunya.
Namun, posisinya tidaklah aman, karena terdapat negara adidaya lainnya pada kubu yang berbeda. Uni Soviet muncul sebagai pesaing Amerika dari Blok Timur. Perbedaan ideologi menjadikan keduanya bersaing saling berebut pengaruh dan berambisi menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia.
Politik bebas aktif diambil agar Indonesia tidak terseret konfrontasi dua negara adidaya tersebut dan menyatakan diri tidak mendukung blok mana pun. Namun, benarkah demikian? Pada faktanya, politik bebas aktif tidak benar-benar netral dan memosisikan Indonesia sebagai negara independen yang bisa mengambil sikap sendiri dalam berbagai masalah dunia.
Di masa orde lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, arah polugri Indonesia lebih condong kepada Blok Timur yang berideologi sosialisme dan anti-Barat. Hal ini terlihat dari rumusan politik luar negeri RI yang disebut Poros Jakarta-Pyongyang-Peking. Saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963-1966, Indonesia yang didukung oleh Tiongkok, Vietnam Utara, Uni Soviet, dan Filipina menentang pembentukan Federasi Malaysia yang didukung oleh Inggris dan AS.
Ketika Soeharto menjadi presiden di masa Orde Baru, polugri RI pun berubah haluan. Keberpihakan terhadap Blok Barat dengan AS sebagai pemimpinnya sangat kental. Bentuk penjajahan pun mulai berubah, yang awalnya dalam bentuk perang fisik menjadi penjajahan di bidang ekonomi. Berbagai kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah orba senantiasa sesuai arahan AS. Mulai dari penyerahan tambang emas kepada Freeport, kilang minyak, pengelolaan barang tambang, hingga jebakan utang kepada IMF, Bank Dunia, dan IGGI semua sesuai arahan Barat.
Hingga akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, politik luar negeri RI tetap tidak netral. Cina yang mulai menunjukkan “taji”-nya di bidang militer dan ekonomi muncul sebagai pesaing AS. Arah pandang polugri RI tetap dipengaruhi dua polar negara besar saat ini. Maka, bisa disimpulkan bahwa polugri RI tidak benar-benar netral.
Bagaimana Polugri RI dalam Menyelesaikan Perang di Palestina?
Isu Palestina adalah topik paling menarik saat ini, apalagi setahun berlalu genosida Israel atas rakyat Palestina oleh Israel. Presiden Prabowo sendiri dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina. Ia juga siap memberikan bantuan kepada rakyat Palestina berupa rumah sakit dan mengevakuasi korban.
Pernyataan tersebut semakin menegaskan, Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim yang banyak, ternyata belum mampu mengambil sikap tegas menyelesaikan konflik Palestina. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina hanya sekadar retorika, bukan aksi nyata.
Politik Luar Negeri Khilafah Islam
Khilafah Islam memiliki pandangan dan pengaturan khas tentang politik luar negerinya. Dalam buku Struktur Pemerintahan Daulah Islam karangan Syekh Abdul, menjelaskan bahwa urusan luar negeri Khilafah Islam ada pada lembaga Departemen Luar Negeri. Lembaga ini mengurus semua hal yang berkaitan dengan hubungan negara Khilafah dengan negara asing. Hubungan tersebut bisa berupa perjanjian, kesepakatan damai, perundingan, pengumuman perang, gencatan senjata, pengiriman utusan dll.
Tak hanya bidang politik, dalam aspek ekonomi seperti perdagangan luar negeri, kerja sama bidang teknologi, pertanian dll. yang berhubungan dengan negara asing juga diurusi oleh Departemen Luar Negeri Khilafah Islam. Poin penting dalam politik luar negeri Khilafah Islam adalah semua hubungan dengan negara asing harus berlandaskan pandangan ideologi Islam.
Islam melarang segala bentuk kerja sama dengan negara kafir yang memusuhi Islam secara nyata (kafir harbi fi’lan). Perlakuan kepada mereka adalah perang. Namun, diperbolehkan bagi khalifah untuk bekerja sama dengan negara kafir yang menjalin perjanjian damai atau negara kafir yang tidak memusuhi Islam.
Allah Swt. berfirman dalam surah Ali Imran ayat 28 yang artinya: “Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barang siapa yang melakukannya, maka dia telah lepas dari Allah. Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.
Ketegasan polugri Khilafah Islam mampu menjadikannya sebagai negara yang disegani dan ditakuti oleh musuh. Di lain sisi, perlakuan adil tetap dilakukan Khilafah terhadap negara yang tidak memusuhi Islam. Keamanan tak hanya dirasakan oleh rakyat Khilafah. Namun, juga oleh bangsa lain.
Khatimah
Polugri sebuah negeri muslim seyogianya menjadikan akidah Islam sebagai landasan. Ia tidak boleh tunduk di bawah aturan negara asing. Ketegasan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk membawa negaranya menjadi negara yang independen, bukan pengekor.
Wallahua’lam bishawab. []
Indonesia masih menjadi negara pengekor. Karena itu, kebijakannya pasti tunduk dengan kepentingan negara yg diikuti alias adidaya. Indonesia tidak akan bisa bebas menentukan sendiri arah politik luar negerinya selama masih dalam posisi ini.
Keren temanya, barakallah Mbak Irma
Jazakillah mba.
Tanpa ideologi Islam, negara akhirnya pragmatis. Berpihak sesuai kepentingan sesaat
Benar. Karena saat ini negara tidak berpijak pada ideologi yang sahih
Tetap sama tak ada beda meski telah berganti pemimpinnya
Benar mba
Sebagai Muslim, hendaknya menjadikan akidah Islam sebagai landasan polugri
Benar mba.
Polugri di sistem hari ini takkan mampu memberikan pengaruh apalagi kebijakan yang mendukung kepentingan kaum muslim. Keberadaannya justru hanya makin mengokohkan negara-negara adidaya untuk terus menancapkan kekuasaannya. Barakallah mba @Irma
Sahih mba Atien. Negara adidaya tetap kokoh, negeri kaum muslim tetap menjadi negara pengikut