Kebijakan penuh kontroversi tidak cukup dievaluasi mekanisme lahirnya. Namun harus dikoreksi secara mendasar dari sumber lahirnya regulasi UU diatas yaitu sistem demokrasi.
Oleh : Aisyah Badmas
NarasiPost.Com - Tanggal 20 Oktober 2020 lalu setahun sudah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memerintah. Sejak terpilih menjadi Presdien untuk kedua kalinya, Jokowi merevisi empat UU yakni UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan terbaru Omnibus Law UU Ciptaker (cnnindonesia.com. 20/10).
Undang-undang yang disahkan ini dinilai tidak berpihak pada rakyat dari berbagai kalangan. Pada UU KPK, menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menilai revisi ini tidak saja menghapus harapan masyakarat Indonesia yang ingin negerinya bersih dari korupsi, namun juga menganggu laju pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan dan pemerataan. Untuk UU Minerba, Dilansir Kompas.id, Sabtu (13/5/2020), peneliti dari Auriga Nusantara Iqbal Damanik menyatakan, pengesahan revisi UU Minerba menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi tambang batu bara.
Sementara UU Cipta Kerja dibahas DPR dan pemerintah hanya dalam kurun waktu enam bulan. Padahal, UU Cipta Kerja mengubah sebanyak 79 undang-undang mulai dari urusan perizinan usaha, pemanfaatan lahan, hingga ketenagakerjaan. Selain isinya yang mendapatkan kritik keras, pembahasannya dinilai minim partisipasi publik. Ia pun dianggap sebagai undang-undang yang cacat baik dari segi formil maupun materiil. Dan yang terakhir UU MK, Penghapusan ayat 2 (59) menjadi kontroversi di masyarakat usai penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Sebab, narasi yang beredar adalah putusan MK bisa tidak ditindaklanjuti DPR dan pemerintah. Meski banyak kritik, revisi hingga Rancangan Undang-undang (RUU) itu tetap disahkan oleh pemerintah dan DPR (cnnindonesia.com. 20/10).
Kebijakan penuh kontroversi tidak cukup dievaluasi mekanisme lahirnya. Namun harus dikoreksi secara mendasar dari sumber lahirnya regulasi UU diatas yaitu sistem demokrasi. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang batil sejak lahirnya, salah satu kebatilan demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan yang dimaksud adalah kedaulatan untuk membentuk hukum yang akan digunakan oleh manusia. Supaya rakyat berdaulat maka rakyatlah yang membuat aturan. Namun, rakyat itu banyak. sehingga caranya adalah harus ada wakil dari rakyat. Maka dipilih para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) oleh rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) setiap lima tahun sekali.
Tugas wakil rakyat adalah melakukan legislasi aturan yakni dari membahas RUU, menyusun RUU, menetapkannya sampai menyetujuinya menjadi UU. Sementara, dalam proses penyelenggaraannya, demokrasi akan selalu membersamai kapitalisme. Dalam sistem demokrasi, mulai dari pemilu hingga melakukan persetujuan sebuah kebijakan setelah menjadi wakil rakyat, adanya invisible hand sebagai pemilik modal yang yang bisa membeli kebijakan-kebijakan sesuai kepentingannya.
Oleh karena itu, adalah hal yang lumrah, jika hampir semua peraturan UU yang ditelurkan berpihak pada koorporasi. Sementara aspirasi dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Rakyat hanya bisa menyaksikan perselingkuhan wakil rakyat dan pengusaha. Dengan demikian, akan selalu muncul kontroversi dalam sepanjang pemberlakuan sistem demokrasi dalam mewujudkan kemaslahatan publik. Bahkan, nihil rasa keadilan dan mengabaikan aspirasi rakyat.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam (khilafah), kedaulatan berada di tangan Asy-Syari' yakni Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Artinya yang memiliki hak untuk menerbitkan hukum adalah Allah SWT. Penciptalah yang menciptakan manusia, sehingga Dia memahami apa yang terbaik untuk manusia.
Sehingga suka atau tidak suka, pengaturan tersebut merupakan ajaran Islam. Manusia wajib taat dan tunduk pada ajaran-Nya. Namun, bukan berarti aspirasi rakyat tidak memiliki ruang didalam hukum Islam. Selama tidak menyalahi syariat Islam, maka aspirasi rakyat bisa diterima. Aspirasi tersebut dapat disalurkan melalui Majelis Umat.
Sistem pemerintahan Islam tegak atas empat pilar, yakni: kedaulatan di tangan syara’, kekuasaan milik umat, mengangkat satu khalifah hukumnya fardu bagi kaum muslim serta hanya Khalifah yang berhak melakukan adopsi terhadap hukum-hukum syara dan berhak menjadikannya sebagai UUD dan UU yang lain.
Maksud dan tujuan syariat Islam diberlakukan adalah memelihara keturunan (lihat QS. 4:1; QS. 30:21; QS. 21: 2), menjaga akal (lihat QS. 5: 90-91; QS. 39: 9; QS. 58:11), memelihara kehorrmatan (lihat QS. 21:4; QS. 49: 10-12), memelihara jiwa (lihat QS. 2:179), memelihara harta (lihat QS. 5:38; QS. 4:5; QS. 2: 282; QS. 17:29; QS. 6:141; QS. 17:26-27), memelihara agama (lihat QS. 2: 217 & 256; QS. 30:30), serta memelihara Negara (lihat QS. 5:33).
Penerapan syariat hanya bisa ditegakkan pada sistem Khilafah, bukan sistem yang lain. Sistem Khilafah melahirkan UU yang sesuai dengan fitrah dan memenuhi kemaslahatan manusia. Sebab, hukumnya bersumber dari Allah yang Maha Tahu dan Maha Adil. Wallahu 'Alam Bishawab []
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]