”Maka, inilah wajah kapitalis sekuler yang tidak akan mampu menciptakan ketahanan pangan, walaupun SDA melimpah ruah. Dengan kata lain, ketahanan pangan hanya sekadar ilusi.”
Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com dan Freelance Writer)
NarasiPost.Com-Pemerintah akan menganggarkan dana sebesar Rp104,3 triliun-Rp124,3 triliun pada 2024 mendatang. Dana ini digunakan untuk meningkatkan produk pangan domestik. Anggaran ini naik sebesar Rp104,2 triliun dibandingkan tahun ini.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengungkapkan secara rinci anggaran tersebut akan digunakan untuk peningkatan produksi pangan domestik melalui program ketersediaan, akses dan konsumsi pangan berkualitas, serta penguatan dukungan infrastruktur pengelolaan hasil pertanian, penguatan tata kelola sistem logistik nasional, konektivitas antar wilayah, dan penguatan cadangan pangan nasional (republika.co.id, 04/06/2023).
Indonesia Negeri Agraris
Indonesia dikenal sebagai negeri agraris di kancah dunia karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Pertanian menjadi salah satu penopang perekonomian di Ibu Pertiwi ini. Indonesia memiliki lahan pertanian yang begitu luas dan subur yang mampu menghasilkan kekayaan alam melimpah dan beraneka ragam, seperti padi, sayuran, kedelai, buah-buahan, ubi, sawit, kakao, kacang-kacangan dan lainnya. Letak Indonesia pun sangat strategis. Bahkan, Indonesia merupakan daerah dengan curah hujan yang tinggi dan beriklim tropis sehingga sangat cocok untuk berbagai jenis tanaman.
Sebagai negeri agraris, Indonesia pun menjadi salah satu negeri eksportir hasil pertanian terbesar. Dilansir dari finance.detik.com, pada tahun 2019 Indonesia masuk 5 besar eksportir terbaik dunia. Beberapa hasil pertanian yang di ekspor keluar negeri, seperti sawit, kakao, vanili, lada dan lainnya. Hasil pertanian tersebut menjadi sumber devisa perekonomian rakyat. Namun, mengapa hasil panen melimpah tidak kunjung membuat rakyat sejahtera, yang ada justru ketahanan pangan berada dalam ancaman?
Paradoks Kedaulatan Pangan Indonesia
Indonesia saat ini berada pada situasi paradoks. Sebab, hasil pertanian yang melimpah bahkan mendapatkan julukan sebagai negeri agraris, yang harusnya memiliki kedaulatan pangan yang kuat dan kokoh. Namun, kenyataannya tidak demikian. Ketahanan pangan Indonesia sangat rapuh, bahkan bergantung pada negeri-negeri lainnya.
Hal ini terbukti dengan keadaan rakyat di negeri ini. Di mana, kemiskinan makin menjadi-jadi. Rakyat harus memikul beban berat akibat melonjaknya berbagai kebutuhan hidup, seperti melonjaknya harga minyak dan beras yang diakibatkan minimnya suplai dalam negeri. Penguasa pun masih terus melakukan impor beras dan minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal, diketahui jika negeri ini adalah negeri penghasil beras dan sawit terbesar. Sungguh sangat miris.
Kapitalis Biang Keladi
Kedaulatan pangan adalah hal paling penting bagi suatu bangsa demi terwujudnya kesehatan masyarakat. Sebab dengan terpenuhinya pangan masyarakat, maka akan menghasilkan tubuh yang kuat dan sehat sehingga akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. SDM tersebut akan menjadi salah satu fondasi untuk membawa negeri ini kepada puncak kejayaan dan kemakmuran.
Namun, akibat sistem kapitalisme sekuler yang bercokol saat ini, membuat negeri ini tidak akan mampu untuk mewujudkan ketahanan pangan itu, walaupun berstatus negeri agraris. Sistem ekonomi kapitalisme telah membuat carut-marut di dalam sendi kehidupan manusia, tanpa terkecuali perekonomian, mulai dari alih fungsi lahan hingga pendistribusian yang kurang merata.
Diketahui, hingga saat ini masalah alih fungsi lahan dan konversi lahan diperkirakan mencapai 133.000 hektar per tahun. Ini dilakukan para pemilik modal yang berupaya mengubah lahan pertanian menjadi industri-industri atau perumahan-perumahan elite siap pakai. Hal ini mengakibatkan lahan pertanian kian sempit yang jelas berimbas pada menurunnya hasil produksi pertanian serta kemaslahatan rakyat yang kian terancam.
Ditambah lagi, sektor pertanian juga kurang mendapat perhatian lebih dari pemerintah, mulai dari pembangunan infrastruktur penunjang, seperti saluran irigasi, jalan pertanian dan lainnya. Bahkan, yang terjadi justru subsidi pupuk, bibit unggul dan obat-obatan lainnya sedikit demi sedikit akan dihilangkan. Maka, para petani akan sulit untuk menghasilkan produksi yang berkualitas.
Tak hanya itu, pendistribusian pangan pun di negeri ini masih menjadi polemik. Masih banyak rakyat yang tidak mampu untuk menjangkau harga pangan, akibatnya kemiskinan kian mendera. Dominasi para oligarki dan permainan kartel-kartel nakal demi kepentingan pribadi pun di dalam pasar masih sangat kental, seperti adanya penimbunan, kecurangan, dan lainnya. Sedangkan, negara tak mampu untuk menghentikannya. Maka, inilah wajah kapitalis sekuler yang tidak akan mampu menciptakan ketahanan pangan, walaupun SDA melimpah ruah. Dengan kata lain, ketahanan pangan hanya sekadar ilusi.
Mewujudkan Ketahanan Pangan
Dalam menciptakan ketahanan pangan, sangat dibutuhkan kolaborasi semua pihak, terutama negara sebagai pengurus urusan umat. Hal ini hanya ada dalam Islam yang merupakan agama paling sempurna di dunia ini. Sebab, Islam bukan hanya sekadar agama ritual, namun juga aturan yang mengatur urusan rakyatnya, tanpa terkecuali ketahanan pangan.
Ada beberapa hal yang akan dilakukan oleh penguasa Islam agar ketahanan pangan negara tetap stabil dan terjaga.
Pertama, Islam mengatur sektor pertanian secara detail sesuai dengan hukum syarak. Di mana, Islam akan memetakan lahan subur dan kurang subur. Lahan kurang subur akan dijadikan sebagai tempat hunian, industri, dan infrastruktur lainnya. Sedangkan, lahan subur dijadikan sebagai lahan pertanian secara paten. Tidak dibiarkan adanya alih fungsi dan konversi lahan. Negara pun tidak membiarkan adanya lahan pertanian mati (tidak ditanami atau digarap). Jika ada lahan mati atau tidak digarap, maka negara akan mengambilnya dan diberikan kepada siapa saja yang ingin menggarapnya.
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah: "Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.” (HR. Abu Dawud)
Kedua, Islam memberikan perhatian besar terhadap sektor pertanian. Di mana, negara mendorong para petani dan menyediakan berbagai kebutuhan mereka. Mulai dari infrastruktur penunjang, seperti saluran irigasi, bendungan, dan lainnya sampai pada obat-obatan, bibit unggul, dan berbagai pupuk.
Ketiga, negara wajib memiliki kemandirian industri dan riset. Hal ini untuk menciptakan berbagai alat penunjang sektor pertanian serta menciptakan berbagai cara untuk menghasilkan produksi pertanian yang berlimpah dan berkualitas, dan tentunya dapat bermanfaat bagi rakyat.
Keempat, negara mengatur pendistribusian pangan agar merata keseluruhan negeri dan memastikan bahwa setiap per individu rakyat dapat menjangkau kebutuhan pangannya. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan pengawasan di pasar dari praktik-praktik nakal, semisal penimbunan, penipuan, penguasaan harga oleh oligarki, dan lainnya. Negara pun memastikan jika harga akan tetap stabil, jika ada ketidakseimbangan harga akibat kelangkaan bahan pangan, maka negara dengan cepat akan menyuplai pangan dari daerah lain.
Kelima, semua kebijakan di atas jelas membutuhkan dana yang berlimpah. Maka, negara akan menyiapkan dana yang besar agar sektor pertanian mampu menjadi penopang perekonomian negaranya dan menghasilkan produksi yang bagus. Dana itu diambil dari pos baitulmal yang telah diatur sesuai dengan syariat Islam.
Dengan demikian, maka Islam akan mampu menciptakan ketahanan pangan di dalam negeri ini, apalagi SDA yang dimiliki negeri ini begitu melimpah.
Wallahu a'lam bisshawab.[]
Miris sekali di zaman ini, itulah Islam kaffah solusinya. Maka, Islam akan mampu menciptakan ketahanan pangan di dalam negeri ini, apalagi SDA yang dimiliki negeri ini begitu melimpah
Pengelolaan tanah di era kapitalis tidak ada pemetaan tanah sesuai fungsi yang pasti antara wilayah hunian, industri dan pertanian menjadikan terkikisnya tanah pertanian demi kepentingan oligarki dan pertumbuhan ekonomi bukan untuk kesejahteraan rakyat. Terutama kesejahteraan para petani. Selain maraknya alih fungsi tanah pertanian menjadi wilayah hunian dan industri, seringkali saat panen raya pemerintah juga malah membuat kebijakan yang mengkhianati para petani dengan impor pangan. Hal ini menjadikan posisi sebagai petani semakin babak belur hingga minat generasi terhadap berprofesi petani semakin minim. Karena mereka beranggapan menjadi petani bukan profesi pilihan. Jika demikian akankah lahir ketahanan pangan?
Indahnya hidup dalam naungan islam kaffah, rakyat tidak sengsara miskin dan merana, kebutuhan dasar terpenuhi.
Sungguh miris hidup dalam sistem saat ini. Contohnya, petani di perkampungan menjerit karena harga pupuk, obat-obatan pertanian mahal, belum ongkos pengerjaan. Namun ketika panen, harga anjlok, jangankan mendapatkan untung, yang ada pada buntung alias rugi. Karena regulasi yang ada, tidak melindungi para petani. Dan ini baru satu sektor di bidang pertanian.
Sungguh ironis ketahanan pangan yang senantiasa timpang di negeri agraris yang penuh dengan kekayaan alamnya.
Kurang serius nya pengawasan pemerintah dan kebijakan yang kurang tepat Solusi tuntas hanya ada di sistem Islam secara totalitas
Negeri ini itu selalu menggembar-gemborkan swasembada pangan dari satu rezim ke rezim lainnya. Namun, antara narasi dan realisasi itu nyatanya jauh panggang dari api. Alih-alih mewujudkan swasembada pangan, yg ada justru impor kian subur. Hanya dengan kembali pada sistem Islam, ketahanan pangan dapat terwujud.
Sudahlah tak ada tekad dan usaha kuat untuk melakukan swasembada pangan, lahan pertanian pun kini semakin terkikis oleh banyaknya industri yang dibangun. Tak ada pilihan lain kecuali mengubah penerapan sistem yang ada dengan sistem Islam yang mampu menciptakan ketahanan pangan.