Mahalnya pendidikan dalam kapitalisme membuat masalah makin runyam. Pemerintah menjadikan pendidikan layaknya komoditas jual beli.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pendidikan tinggi kembali menjadi pembicaraan. Kasus penyalahgunaan KIP-K (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) ramai menjadi perbincangan di sosial media. Seorang mahasiswi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang berinisial CMJ yang terdaftar sebagai penerima KIP-K, dinilai tidak pantas lantaran CMJ terkategori sebagai mahasiswi yang mampu secara ekonomi. Hal ini terlihat dari laman instagram CMJ yang sering memamerkan gaya hidup mewahnya, seperti membeli tas-tas branded, handphone, peralatan make up, bahkan ia mampu menyokong kebutuhan hidup adik-adiknya mulai dari biaya sekolah hingga kebutuhan tersier.
CMJ pun menjelaskan bahwa dahulunya ia tidak diizinkan untuk kuliah karena orang tuanya memiliki utang hingga tembus miliaran rupiah. Ia pun berusaha menempuh berbagai cara untuk bisa kuliah. Salah satunya adalah dengan mendaftar KIP-K dan ia diterima. Namun, hal yang sangat disayangkan oleh netizen adalah CMJ tidak mengundurkan diri dari daftar penerima bantuan KIP-K padahal telah berstatus sebagai orang yang mampu.
Pihak kampus pun memberi tanggapan, Manajer Layanan Terpadu dan Humas Undip, Utami Setyowati mengatakan bahwa para penerima KIP-K telah melalui mekanisme pendaftaran, verifikasi, dan penetapan yang sesuai pedoman pendaftaran KIP Kuliah Merdeka yang ditentukan Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
“Dilakukan monitoring dan evaluasi secara periodik atas penerima KIP-K oleh Undip dan Pusat Pelayanan Pembiayaan,” ujar Utami Setyowati. Ia juga menegaskan bahwa kasus CMJ yang tengah viral akan dipantau dan pihak kampus akan melakukan pemanggilan terhadap mahasiswi terkait. (Detik.com, 1/5/2024).
Viralnya kasus ini seolah menjadi pemantik bagi netizen untuk makin mencari sosok-sosok yang diduga melakukan penyalahgunaan KIP-K. Benar saja, belum reda kasus CMJ, kini penyalahgunaan KIP-K diduga dilakukan oleh tiktokers D3 Kembar yang juga dinilai memiliki kemapanan ekonomi sebab D3 Kembar ini membuka jasa endorse dengan tarif yang mencapai Rp20 juta. (Tribunnews.com 2/5/2024).
Bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam terhadap kasus KIP-K ini? Bagaimanakah solusi Islam mengatasi karut-marut dunia pendidikan? Apakah mereka yang memiliki kemapanan ekonomi memang tidak layak untuk menerima bantuan pendidikan dari pemerintah?
Mengenal KIP-K
KIP-K adalah bantuan pendidikan dari pemerintah bagi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang memiliki kemampuan akademik dengan baik, tetapi mengalami keterbatasan ekonomi. Ada empat kategori mahasiswa yang berhak menerima KIP-K.
Pertama, siswa SMA/SMK sederajat yang tamat tahun berjalan atau dua tahun sebelumnya yang memiliki KIP.
Kedua, mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin yang terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan memiliki Kartu Kesejahteraan Sosial (KKS).
Ketiga, mahasiswa dari keluarga yang terkena bencana alam, daerah konflik, dan daerah yang memiliki kekhususan lain.
Keempat, mahasiswa yang memiliki keterbatasan akses, seperti penyandang disabilitas dan mahasiswa asal daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.
Secara statistik, pendaftar KIP-K terus mengalami kenaikan. Tahun 2020 setidaknya ada 684.000 pendaftar, tahun 2021 meningkat menjadi 840.000 pendaftar, tahun 2022 meningkat lagi menjadi 941.000 pendaftar, dan mencapai 946.000 pendaftar pada Agustus 2023.
Pendidikan dan Gaya Hidup
Ada hal yang harus dipisahkan dari fenomena viralnya kasus penyalahgunaan KIP-K ini.
Pertama, gaya hidup. Saat ini budaya flexing, hedonisme, dan materialisme dekat dengan kehidupan para anak muda. Sukses diukur dengan keberlimpahan materi. Anak-anak muda merasa bangga saat mereka mampu memiliki kemewahan hidup dan ini mendorong mereka memamerkan segala pencapaian di media sosial guna mendapatkan pengakuan dari pihak lain bahwa mereka telah berhasil dan sukses. Tentunya keberhasilan dan kesuksesan ini diukur dengan standar kapitalisme. Rasa ini sebenarnya bangkit dari garizah baqa’ (naluri untuk memiliki sesuatu) yang ada di dalam diri manusia. Ketika naluri ini dipenuhi dengan cara kapitalisme, terjadilah sebagaimana yang kita lihat hari ini.
Kedua, bantuan pemerintah. Kesulitan hidup dan kesenjangan sosial yang begitu besar di tengah masyarakat membuat masyarakat mengira bahwa orang-orang kaya tidaklah layak mendapat bantuan dari pemerintah sebab mereka memiliki segala kemudahan hidup. Mereka bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan dengan materi yang dimiliki. Kondisinya berbanding terbalik dengan masyarakat menengah ke bawah yang harus jungkir balik demi memenuhi kebutuhan perut. Alhasil, masyarakat beranggapan bahwa bantuan pemerintah memang hanya layak didapatkan oleh masyarakat menengah ke bawah.
Mahalnya Pendidikan dalam Kapitalisme
Mahalnya biaya pendidikan dalam kapitalisme membuat masalah di atas makin runyam. Pemerintah menjadikan pendidikan layaknya komoditas jual beli yang diperdagangkan kepada masyarakat, harganya pun makin mahal tiap tahunnya. Pendidikan seolah-olah hanya layak didapatkan oleh mereka yang kaya saja.
Uang pangkal, biaya per semester, biaya pengadaan buku-buku selama kuliah, biaya praktikum, uang saku harian, biaya wisuda, dan biaya lain-lain memang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ditambah lagi dengan adanya UKT (Uang Kuliah Tunggal) membuat biaya kuliah makin mahal dan makin tak terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Program bantuan dari pemerintah pun menjadi angin segar bagi masyarakat, apalagi bagi mereka yang benar-benar tidak mampu, tetapi memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan, bantuan ini tentu menjadi harapan tersendiri.
Tak hanya kalangan tidak mampu yang tertarik, mereka yang terkategori mapan pun tertarik juga dengan bantuan dari pemerintah demi mengurangi sedikit beban hidup yang makin tinggi. Akhirnya peminat bantuan pemerintah selalu membludak.
Pendidikan untuk Semua
Dalam Islam, persoalan ini dipandang sebagai berikut:
1. Tidak akan ada kesenjangan sosial di dalam masyarakat Islam. Mekanisme Islam telah membuat harta kekayaan terdistribusi secara merata dan tidak hanya menumpuk di antara orang kaya saja. Ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 7,
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ
Artinya: “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.”
Di dalam masyarakat Islam, akan sangat jarang kita temui ketimpangan sosial. Tidak ada satu pihak yang menghambur-hamburkan uang, sedangkan pihak lain pontang-panting sekadar untuk mengisi perut. Daulah Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok semua masyarakat, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, maupun pendidikan. Seluruh masyarakat Islam akan sejahtera.
Kondisi ini pernah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, kesejahteraan yang ada pada saat itu membuat bingung perkara pembagian zakat karena masyarakat merasa telah sejahtera dan tidak berhak mendapat zakat. Suatu kondisi yang mustahil akan kita temukan dalam sistem kapitalisme saat ini.
2. Standar hidup masyarakat Islam bukanlah materi, melainkan rida Allah Swt. Kesuksesan seseorang tidak diukur dari keberlimpahan materi yang ia punya, melainkan dari tingkat keimanan dan ketakwaannya kepada Allah. Islam juga tidak melarang umatnya untuk memiliki barang-barang mewah selama barang itu tidak diharamkan oleh syariat. Uniknya, seseorang yang memiliki barang mewah di dalam daulah adalah hal yang biasa. Kesejahteraan telah membuat masyarakat Islam tidak perlu pusing memikirkan kebutuhan pokok sehingga memenuhi kebutuhan tersier adalah hal yang lumrah.
3. Pendidikan adalah bagian dari tanggung jawab negara. Negara wajib menjamin seluruh warganya untuk mendapat pendidikan, jadi tidak perlu ada bantuan keringanan biaya pendidikan. Baik yang hartanya berlimpah atau yang hartanya biasa saja, penyandang disabilitas atau bukan, berasal dari desa terpencil atau kota metropolitan, semua berhak mendapat pendidikan gratis dari daulah. Hal ini pernah dicontohkan Rasul saat membebaskan tawanan perang dengan jaminan mengajari anak-anak kaum muslim.
Khatimah
Persoalan KIP-K bukan dilihat dari sisi apakah seseorang itu pantas atau tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Lebih dari itu, permasalahan KIP-K adalah masalah sistemis yang muncul karena penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme telah membuat pendidikan seperti barang mewah yang mahal hingga perlu subsidi dari pemerintah untuk mereka yang tidak mampu.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam justru menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang dapat diakses oleh seluruh warga. Bahkan pendidikan akan diberikan secara gratis dan berkualitas. Kondisi ini tentu akan terealisasi saat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahua'lam bishawab. []
#MerakiLiterasiBatch1
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah
Kalo bisa mahal kenapa harus murah? Gitu paling prinsio di alam kapitalis
Memang sangat mahal pendidikan di Indonesia yang sebenarnya merupakan negeri yang sangat kaya!
Biaya masuk perguruan tinggi makin mahal. Ditambah biaya hidup dan sewa kontrakan kian mencekik.Banyak bantuan tidak tepat sasaran.
Sedih
Dalam sistem Islam, kaya atau miskin mestinya dapat layanan pendidikan yan sama. Di negara kapitalis, diskriminasi terjadi pada yang kaya, juga pada yang miskin. Yang kaya seolah tidak boleh menikmati subsidi, yang miskin pun sulit memperoleh haknya.
Mahalnya pendidikan adalah bentuk kezaliman dari negara terhadap rakyatnya.