Sistem kapitalisme yang berjalan hari ini hanya menganggap buruh sebagai faktor produksi. Di mana untuk memaksimalkan keuntungan harus meminimalkan biaya produksi dalam hal ini biaya tenaga kerja.
Oleh. Yeni Marliani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Menjadi rutinitas tahunan, May Day senantiasa diperingati sebagai hari buruh internasional. Tema yang diusung selalu mengacu pada isu global yang sedang hangat diperbincangkan.
Berdasarkan laporan ILO terkait Tren Ketenagakerjaan dan Sosial 2024, terdapat dua isu utama yang menjadi sorotan yakni;
Pertama, tingkat pengangguran global yang tinggi, di mana pengangguran pada tahun 2024 mencapai 200 juta orang lebih.
Kedua, kesenjangan sosial yang makin melebar, yakni gap antara si kaya dan si miskin amat kritis. Di mana satu persen populasi terkaya dunia menguasai lebih dari setengah kekayaan global.
Tentu dari tema yang diangkat, harapannya masyarakat sadar akan kondisi buruh hari ini, sehingga mendorong para pemangku kepentingan yakni negara juga perusahaan mengambil langkah nyata dalam mengatasi berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi.
Faktanya, sejak diprakarsai demonstrasi para buruh di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1886 yang menuntut jam kerja dan upah yang layak. Para buruh secara global termasuk Indonesia hingga hari ini belum juga memperoleh pemenuhan segala tuntutannya yakni kesejahteraan, meliputi kerja yang nyaman dan upah yang aman.
Perjuangan yang telah melebihi satu abad ini hanya berujung seremonial belaka, sedang tuntutan yang mereka ajukan bagai berharap lari pada Si Lumpuh. Sesuatu yang tak mungkin diwujudkan.
Negara, Apa Pedulimu Pada Buruh?
Para buruh mengajukan tuntutan-tuntutannya pada negara, dengan harapan negara bisa menjadi tumpuan buruh dalam mencapai kesejahteraan. Paling tidak, bisa menjadi jembatan antara mereka dengan perusahaan, melalui wewenang negara dalam membuat kebijakan.
Nyatanya kondisi kaum buruh menjadi lebih parah pasca kebijakan negara mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Sistem pengupahan dalam UU Cipta Kerja belum mencerminkan upah layak. Pemerintah menghapuskan variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan dalam penetapan upah minimum, sehingga berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas.
Aturan main UU Cipta Kerja dalam sistem pengupahan yakni menggunakan tiga variabel sebagaimana merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang direvisi menjadi PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Yakni dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu dengan rumus x. Selain itu, menghapus hak berunding dalam menetapkan upah minimun, sehingga fungsi dewan pengupahan kota, provinsi, dan juga nasional ditiadakan.
Selain persoalan upah layak, tuntutan para buruh juga terkait dengan fleksibilitas tenaga kerja. UU Cipta Kerja menghilangkan jaminan kepastian kerja, yaitu dengan bertambahnya jangka waktu perjanjian sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Ketentuan batas waktu maksimal dalam PKWT pada UU No. 13 Tahun 2003, maksimal 3 tahun dengan satu kali perpanjangan kontrak 2 tahun. Namun, saat ini perjanjian kerja kontrak maksimal hingga 5 tahun. Artinya, durasi kontrak kerja yang panjang ini menjadikan para buruh tidak memiliki jaminan kepastian kerja, yakni sulit diangkat menjadi pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Hal tersebut diperkuat dengan adanya PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja dan istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dengan adanya fleksibilitas sistem kerja kontrak maupun outsourcing, maka secara otomatis PHK para buruh menjadi lebih mudah. Bahkan sepihak dan tanpa didahului dengan perundingan.
Persoalan berikutnya adalah pengurangan hak pesangon. Perhitungan sebelumnya 2 x PMTK, yakni dapat mencapai 32 bulan gaji. Saat ini maksimal hanya 1,75 PMTK, yakni maksimal 25 bulan gaji, yaitu pesangon 19 bulan gaji dan 6 bulan gaji diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36.
Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan bahwa JKP merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menjaga kesejahteraan buruh yang mengalami PHK. Uang tunai akan diterima buruh selama 6 bulan setelah PHK, yakni 45 persen dari upah selama tiga bulan pertama, dan 25 persen dari upah untuk tiga bulan selanjutnya. Tak hanya itu, buruh akan mendapat akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja baik yang bersifat re-skilling maupun up-skilling.
Pada prosesnya tentu pencairan JKP ini tidaklah mudah, ada syarat dan ketentuan berlaku. Terlebih banyaknya buruh yang mengalami PHK, merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), periode Januari-Februari 2024 terdapat 7.694 pekerja atau buruh dalam negeri yang mengalami PHK. PHK paling banyak terjadi di DKI Jakarta dengan jumlah 3.652 orang atau 47,45 persen dari total pekerja yang terkena PHK secara nasional (Tirto.id, 1/5/2024).
Pengurangan hak pesangon buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan merugi tanpa dilakukan metode audit berdasarkan ketentuan hukum dan perusahaan tidak tutup, maka pesangon buruh yang sebelumnya sebesar 2 PMTK dikurangi menjadi hanya 1 PMTK.
Sementara itu, PHK karena perusahaan merugi dan tutup, hak pesangon buruh dikurangi menjadi 0,5 PMTK. Tentu pengaturan seperti ini sangat merugikan buruh, sebab tidak memiliki posisi tawar dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.
Di luar sekelumit persoalan buruh tersebut, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengajak agar seluruh elemen buruh dapat merayakan May Day 2024 dengan rasa syukur, gembira, suka cita, serta bersemangat memperjuangkan kesejahteraan melalui peningkatan kompetensi dan keahlian.
Sementara, terkait aspirasi para buruh mengenai pencabutan UU Cipta Kerja dan HOSTUM (Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah) dianggap sebagai bagian hak para buruh, sehingga dipersilakan menyuarakan dengan sopan, elegan, dan tidak mengganggu keamanan, ketertiban masyarakat.
Selain itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengucapkan selamat Hari Buruh Internasional. Pada postingan media sosialnya, Jokowi mengungkap bahwa baginya sosok pekerja adalah pahlawan sehari-hari karena menjaga perekonomian terus berputar. Beliau pun menyatakan dirinya akan bersama barisan buruh dalam menegakkan keadilan. Keadilan dan kesejahteraan bagai satu tarikan napas yang tak dapat terpisahkan.
Sungguh kontradiktif, buruh hari ini babak belur akibat ulah negara dengan kebijakan UU Cipta Kerja yang mereka rumuskan, sisi lain tanpa merasa bersalah negara menampakkan seolah mereka di pihak buruh dan berperan menjadi pendukung setia. Apa ini bentuk pedulimu? Hanya sekadar lip service untuk menutupi kelumpuhannya.
Penyebab Buruh Tidak Sejahtera
Persoalan buruh yang tak kunjung usai bahkan bersifat global semestinya menjadi muhasabah bersama, sebab penyelesaian persoalan bergantung pada penyikapannya, penyikapan yang benar bergantung pada pemahaman atau cara pandang.
Sistem kapitalisme yang berjalan hari ini hanya menganggap buruh sebagai faktor produksi. Di mana untuk memaksimalkan keuntungan harus meminimalkan biaya produksi dalam hal ini biaya tenaga kerja. Maka tak heran buruh berada pada kondisi tidak sejahtera. Upah minim, beban kerja berat, kebutuhan hidup tinggi, jikapun melepas pekerjaan, tidak ada jaminan dapat memperoleh pekerjaan kembali. Lalu bagaimana peran negara? Hanyalah 'Si Lumpuh' yang sekadar pembuat regulator bagai 'wasit'. Selebihnya diserahkan kepada perusahaan dan buruh sendiri.
Solusi Islam
Politik Islam bermakna 'Riayah su'unil ummah' (mengurusi segala urusan Rakyat), maka urusan ekonomi dalam hal ini kesejahteraan buruh termasuk bagian tanggung jawab negara. Negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada tiap-tiap individu rakyat secara menyeluruh serta mengakomodasi tiap-tiap individu dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya.
Apalagi dalam Islam, setiap amanah akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah. Rasulullah saw. bersabda terkait tugas seorang pemimpin rakyat, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Penguasa atau imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari).
https://narasipost.com/opini/05/2024/ilusi-kesejahteraan-buruh-dalam-sistem-kapitalisme/
Maka jelas, kesejahteraan buruh sejatinya bagian tanggung jawab negara, bukan perusahaan seluruhnya. Perusahaan sebatas bagian mekanisme negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat secara tidak langsung berupa lapangan pekerjaan. Berikutnya negara memastikan bahwa di antara buruh dan perusahaan terdapat akad yang jelas dan syar’i terkait deskripsi pekerjaan, upah, jam kerja, fasilitas, keselamatan kerja, dll. sehingga kedua pihak merasa rida.
Dengan demikian, baik buruh juga perusahaan sama-sama diuntungkan. Sehingga dipastikan keduanya akan menjalankan kewajiban dan memperoleh hak secara makruf. Jika ada perselisihan di antara keduanya, negara memberikan keputusan secara adil berdasarkan syariat Islam.
Bukankah kondisi ini yang didambakan? Buruh sejahtera, perusahaan mendapat manfaat dari pekerjanya, negara dan masyarakat terpenuhi kemudahan memperoleh barang kebutuhan hasil produksi, ekonomi berputar dengan sehat. Namun, hal ini hanya mampu terwujud dengan sistem bernegara yang berlandaskan syariat Islam. Wallahualam bissawab. []
Negara lepas tangan pada nasib rakyatnya. Tak hanya buruh, semua rakyat juga mengalami hal yang sama. Dibutuhkan saat ada maunya
Makin tahun kondisi buruh makin miris. Negara yang sejatinya bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup rakyat dengan mudah diserahkan kepada para perusahaan kapitalis.
Melihat nasib buruh memang miris. Mereka hanya dijadikan tumbal para penguasa ketika membutuhkannya, ketika tidak butuh maka terpinggirkan. Negara pun tidak punya andil untuk menjamin kesejahteraan mereka. Miris sekali melihatnya.