Wong Cilik "Digantung" Impor Kedelai, Di Mana Peran Negara?

"Ironi negara agraris gemah ripah loh jinawi, namun tidak mampu memenuhi kebutuhan pasokan kedelai masyarakatnya dan justru bergantung dari impor yang notabene adalah kebijakan pemerintah."

Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
( Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Tiga hari tanpa tahu dan tempe di Pulau Jawa adalah dampak dari protes mogok produksi para pengerajin tahu dan tempe terhadap mahalnya harga kedelai. Mogok produksi mulai hari Senin (21/2/2022) hingga Rabu (23/2/2022). Minimnya pasokan kedelai yang beredar di tengah-tengah masyarakat ditengarai sebagai penyebab utama tingginya harga kedelai.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan, Oke Nurwan, melalui Detik Finance (20/02) menyampaikan bahwa kebutuhan kedelai nasional adalah 3 juta ton per tahun. Sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 20% dari kebutuhan. Sisanya 80% kebutuhan kedelai bergantung pada pasokan impor negara. Faktanya, jika pasokan bergantung pada impor, maka harga pasaran dalam negeri akan mengikuti harga global. Akhirnya sedikitnya stok kedelai global saat ini, menjadikan harganya melonjak. Akibatnya harga kedelai di negara pengimpor akan ikut melonjak.

Ironi negara agraris gemah ripah loh jinawi, namun tidak mampu memenuhi kebutuhan pasokan kedelai masyarakatnya dan justru bergantung dari impor yang notabene adalah kebijakan pemerintah.

Akar Masalah

Menurut Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnu Wardana, ada tiga poin penting Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Pertama, adanya percepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri sebagai dampak diterapkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Hal ini tidak lain semata-mata untuk memenuhi hasrat kapitalis demi keuntungan para elite. Kedua, kurangnya minat petani untuk menanam kedelai. Karena selama ini harga jual dari petani cenderung sangat murah, padahal kebutuhan biaya produksi sangat tinggi. Ketiga, varietas kedelai yang selama ini ditanam di negara kita sebenarnya adalah varietas kedelai yang cocok ditanam di negara subtropis dengan kelembapan yang tinggi. Jadi, jika ditanam pada negara tropis tidak akan memberikan hasil yang optimal.

Sebagimana juga yang disampaikan Kementan 2016, komoditas kedelai merupakan komoditas yang bukan berasal dari Indonesia, melainkan berasal dari negara subtropis. Sehingga produksi kedelai di Indonesia tidak setinggi di negara subtropis seperti Amerika, Brasil, Argentina, Cina, India, dan Paraguay yang memberikan kontribusi sebesar 92,04 persen terhadap rata-rata produksi kedelai dunia sebesar 271,02 juta ton.

Di sisi lain, adanya ketentuan dari WTO (World Trade Organization) yang mengintruksikan agar Indonesia mengintregasikan sistem pangan ke pangan dunia. Perjanjian tersebut mengharuskan negara Indonesia bergantung pada kebijakan global sekalipun kebijakan tersebut merugikan negara kita. Akibatnya Indonesia susah dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Inilah sejatinya jebakan ideologi kapitalisme mengebiri independensi negara untuk menentukan arah kebijakan secara mandiri.

Swasembada Pangan Butuh Independensi Institusi Negara

Mewujudkan swasembada pangan, termasuk produksi kedelai, membutuhkan kebijakan yang mandiri dan sistematis. Dan ini tidak akan bisa terwujud jika Indonesia masih didekte oleh kebijakan global. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah di antaranya :

Pertama, dari segi kebijakan, pemerintah harus berani menekan impor dan mengoptimalkan potensi produksi petani dalam negeri. Sejatinya impor adalah perkara mubah, namun bukan merupakan jalan pintas yang selayaknya dipilih pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kedua, pemerintah wajib menyiapkan lahan pertanian, baik mengoptimalkan lahan yang sudah ada maupun membuka lahan pertanian baru jika dibutuhkan. Pemerintah wajib memiliki data yang sesuai dengan realitas sehingga nantinya bisa dijadikan penentu arah kebijakan. Sayangnya, kondisi saat ini demi kepentingan kapitalis banyak tanah pertanian dijual untuk proyek-proyek besar, termasuk proyek negara. Banyak juga tanah-tanah kosong tidak terurus diabaikan begitu saja. Harusnya negara mampu bersikap dan menyelesiakan permasalahan ini. Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR. Bukhari)

Ketiga, pemerintah harus berani memfasilitasi para petani. Melakukan penelitian dan riset untuk membuat bibit unggul yang cocok ditanam di negara beriklim tropis sehingga mampu memberikan hasil produksi yang optimal. Memberikan kemudahkan petani untuk mengakses pupuk dengan harga yang murah dan berkualitas. Menciptakan teknologi yang mutahir sehingga mampu membantu petani selama proses penyiapan lahan, penanaman, panen serta pengolahan pascapanen. Dan yang lebih penting lagi adalah menciptakan sistem irigasi yang mampu menyuplai kebutuhan air selama proses tanam.

Keempat, pemerintah harus menyiapkan skema distribusi yang cepat, pendek dan merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Memberantas adanya oknum-oknum tidak bertanggung jawab sehingga tidak terjadi penimbunan terutama komoditas strategis.

Sejatinya ke empat kebijakan di atas, hanyalah suatu konsep belaka tanpa didukung kebijakan sistem ekonomi yang mampu mengakomodasi kebutuhan pendanaan untuk merealisasikannya. Apakah Indonesia mampu merealisasikannya? Sangat mampu jika sumber daya alam yang ada saat ini dikelola dengan baik oleh negara. Nyatanya saat ini dengan berbagai alasan, sumber daya alam Indonesia yang notebene mampu menompang perekonomian negara justru dikuasai asing. Alhasil, rakyatlah yang diperas untuk membayar pajak guna memenuhi kebutuhan negara.

Sudah menjadi kewajiban negara hadir dalam setiap pemenuhan urusan rakyat. Sebab negaralah yang bertanggung jawab atas kebutuhan pokok masyarakat, menjaga kehormatan, jiwa serta akidah masyarakatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah : “Imam/Khalifah adalah pengurus dan dia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dia urus.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Itulah konsep pemerintahan dalam Islam di bawah naungan Khilafah Rasydah yang pernah diterapkan selama 1.300 tahun. Penerapan aturan Islam secara menyeluruh telah terbukti mampu mengantarkan daulah Islam mewujudkan swasembada pangan. Ketiadaanya saat ini merupakan tanggung jawab umat muslim di seluruh dunia untuk memperjuangkannya. Perjuangan yang sejatinya mendekatkan kita semua pada rida Allah. Perjuangan yang pasti akan mengantarkan kita pada kemenangan Islam karena itu adalah janji Allah dan bisyarah Rasulullah yang pasti akan terwujud.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
drh. Lailatus Sa'diyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kebijakan Tidak Solutif: BPJS Kesehatan Syarat Administratif
Next
Bertumbuh
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram