"Lagi-lagi kaum perempuan dilibatkan dalam pusaran arus pemikiran feminisme. Padahal sejatinya, solusi kesetaraan gender yang digaungkan kaum feminis hanyalah menambah masalah bagi perempuan, termasuk menjadikan perempuan kian jauh dari fitrahnya."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
( RedPel NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Umar bin Khattab r.a sang Amirul Mukminin pernah mengatakan, "Perempuan bukanlah pakaian yang bisa kamu pakai dan kamu lepas semaumu. Mereka terhormat dan memiliki haknya." Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa Islam begitu menjunjung tinggi kehormatan seorang perempuan. Oleh karena itulah, Islam memiliki seperangkat aturan dalam rangka melindungi kehormatan dan kemuliaan kaum perempuan, serta menjamin hak-haknya.
Namun, sayangnya potret perempuan di bawah asuhan sistem sekuler hari ini justru sangat suram. Mereka tak terjaga kehormatannya, terenggut kemuliaannya, dan tercerabut hak-haknya. Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret nyatanya sekadar seremonial saja. Tahun 2022 ini, Hari Perempuan Internasional mengangkat tema #BreakTheBias.
Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (08-03-2022) bahwasannya tema tersebut diangkat sebagai bentuk apresiasi terhadap capaian perempuan di bidang sosial, pendidikan, dan politik. Adapun hal tersebut dilatari oleh anggapan bahwa selama ini perempuan terselubungi oleh bias gender, stereotip, dan diskriminasi sehingga kesetaraan gender sulit diwujudkan. Dengan demikian, lewat tema #BreakTheBias, perempuan di seluruh dunia diajak untuk mematahkan pilar-pilar yang menjegal kesadaran mereka atas adanya bias gender tersebut.
Lagi-lagi kaum perempuan dilibatkan dalam pusaran arus pemikiran feminisme. Padahal sejatinya, solusi kesetaraan gender yang digaungkan kaum feminis hanyalah menambah masalah bagi perempuan, termasuk menjadikan perempuan kian jauh dari fitrahnya.
Sejarah Hari Perempuan Internasional
Clara Zetkin adalah sebuah nama yang tak asing di kalangan aktivis perempuan atau pegiat kesetaraan gender. Ya, dialah pencetus pertama kali pembentukan Hari Perempuan Internasional. Tercetusnya Hari Perempuan Internasional tersebut diawali dengan adanya demonstrasi 15.000 pekerja perempuan di sepanjang jalan di New York, AS, untuk menuntut pengurangan jam kerja, kenaikan upah, dan hak untuk memilih pada tahun 1908.
Dalam rangka merealisasikan idenya, Clara Zetkin mengajukan idenya tersebut ke Konferensi Internasional Perempuan Pekerja di Kopenhagen pada tahun 1910. Perjuangan panjang Clara dalam rangka menyuarakan tuntutan kolektif atas nasib kaumnya lewat Hari Perempuan Internasional pun akhirnya berbuah manis. Pada tahun 1975, Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) secara resmi diakui oleh PBB. Dan baru pada tahun 1977, Hari Perempuan International mulai dirayakan di seluruh dunia.
Sekularisme Mencerabut Fitrah
Allah menciptakan perempuan setara dengan laki-laki, yakni sama-sama sebagai hamba yang wajib taat kepada-Nya. Tidak ada yang lebih utama di hadapan Allah, karena yang paling mulia sisi-Nya adalah yang paling bertakwa, baik laki-laki maupun perempuan.
Jikapun Allah memosisikan laki-laki sebagai qowwam (pemimpin) dalam rumah tangga, dan perempuan sebagai makmum yang harus taat kepada kepemimpinan sang qowwam, maka hal itu bukan dalam rangka merendahkan kaum perempuan, justru ada pahala yang terhampar di balik setiap peran yang Allah tetapkan.
Namun demikian, ada hikmah yang tak mampu ditangkap oleh nalar kaum feminis atas pengaturan tersebut. Islam memosisikan lelaki sebagai pemimpin kaum perempuan, sebab ada tanggung jawab nafkah yang diemban para lelaki tersebut untuk keluarganya. Mereka wajib memberi makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak kepada istri dan anak-anaknya. Maka, lelakilah yang Allah tetapkan sebagai nahkoda dalam rumah tangga. Sedangkan kaum perempuan, secara fitrah memiliki sifat lemah lembut, penyayang, dan keibuan, maka Allah menetapkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa robbah al-bayt (ibu dan manajer rumah tangga). Kaum perempuan bertanggung jawab terhadap urusan domestik dalam rumahnya, melayani suaminya, bahkan berperan sebagai madrasatul 'ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Perempuan tidak dibebankan mencari nafkah ke luar rumah, karena itu merupakan tanggung jawab suaminya.
Jika kita memandang pengaturan Allah tersebut dengan kacamata iman, tentu takkan ada anggapan bahwa Islam tengah mendiskreditkan kaum perempuan. Justru Islam tengah menjaganya dan meninggikan kedudukannya.
Namun, akidah sekularisme yang notabenenya menyingkirkan peran agama dari kehidupan, mencekoki benak kaum perempuan untuk eksis di ranah publik. Mereka mengembuskan stigma bahwa perempuan yang hanya menggantungkan hidup pada suami adalah perempuan lemah, tak mandiri, dan terdiskriminasi. Akhirnya perempuan ramai-ramai go public, menanggalkan kewajiban utamanya sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya, pun abai dalam memberikan pelayanan terbaik baik suaminya. Begitulah, pada akhirnya sekularisme sungguh telah membajak fitrah perempuan atas nama kesetaraan gender.
Sungguh, hanya dengan kembali pada aturan Islam sajalah, kaum perempuan akan mulia dan bahagia. Tak hanya dengan mewujudkan pribadi-pribadi salihah, namun juga berupaya menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan. Dengan itulah, derita kaum perempuan dapat diakhiri dan diskriminasi terhadap perempuan tak akan pernah terjadi lagi. Sebab, penerapan syariat Islam dalam naungan Khilafah akan mengempaskan akar hakiki dari persoalan perempuam, yakni sekularisme. Dan perempuan pun akan kembal kepada fitrahnya. Wallahu'alam[]
Photo : Pinterest