"Dalam sistem kapitalis, negara tidak ikut campur dari kewajibannya untuk menjamin berbagai kebutuhan pokok yang menjadi hak rakyat. Dalam hal ini, termasuk jaminan kesehatan yang saat ini diserahkan kepada BPJS Kesehatan (lembaga nonpemerintah)yang dipilih langsung untuk menjamin kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan berpangku pada jumlah premi yang dibayar rakyat. Itulah ide yang mendasari operasional BPJS."
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Lagi dan lagi. Tak henti-hentinya ulah penguasa yang semakin melintir. Belum tuntas persoalan terkait kebijakan JHT, yaitu hanya bisa dicairkan pada usia 56 tahun atau dengan waktu lebih cepat sesuai prasyarat yang telah ditentukan. Kini muncul kebijakan pemerintah yang membuat gaduh masyarakat. Bermula dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Kesehatan Nasional.
Instruksi presiden yang dikeluarkan pada 6 Januari 2022 lalu itu meminta kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia agar menyempurnakan regulasi untuk pemohon SIM, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dengan menyertakan syarat kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. (www.cnnindonesia.com, 19/02/2022)
Sementara itu, presiden menginstruksikan kepada Kementrian agama, BPJS Kesehatan dijadikan syarat untuk calon jemaah umroh dan haji. Kementrian Agama juga diminta untuk memastikan langkah-langkah, baik pendidik, peserta didik, maupun seluruh tenaga kerja yang terlibat di bawah naungan Kementrian Agama secara keseluruhan aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Selain itu, kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) presiden menginstruksikan untuk mengumumkan kartu BPJS Kesehatan akan menjadi syarat permohonan pelayanan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rusun atau rumah susun alias jual beli tanah. Kemudian peraturan ini akan mulai diterapkan per 1 Maret 2022.
Dari sini didapatkan benang merah, bahwa segala persoalan mengenai administrasi apabila ingin dipermudah, maka negara "menuntut" rakyat menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Kamuflase Kebijakan BPJS Kesehatan
Pemerintah mengklaim BPJS Kesehatan sebagai Jaminan Kesehatan Nasional, tak ayal keberadaannya seperti asuransi kesehatan. Karena setiap peserta BPJS Kesehatan per bulannya diwajibkan untuk membayar premi yang sudah ditentukan oleh negara. Berarti pada faktanya negara tidak menjamin kesehatan rakyatnya, namun rakyat banting tulang secara mandiri untuk menjamin kesehatannya. Di sini terbukti bahwa pemerintah hanya memosisikan diri sebagai regulator.
Inpres tersebut diharapkan mampu menjadi alat untuk "menarik perhatian" masyarakat agar tergiur menjadi peserta BPJS Kesehatan. Ini merupakan bentuk pemalakan secara tidak langsung yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Padahal sejatinya, jaminan kesehatan bagi rakyat adalah hak setiap warga negara yang diberikan oleh pemerintah.
Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Namun, realitanya saat ini bertolak belakang dengan aturan tersebut.
Jaminan Kesehatan Kapitalis vs Islam
Dalam sistem kapitalis, negara tidak ikut campur dari kewajibannya untuk menjamin berbagai kebutuhan pokok yang menjadi hak rakyat. Dalam hal ini, termasuk jaminan kesehatan yang saat ini diserahkan kepada BPJS Kesehatan (lembaga nonpemerintah) yang dipilih langsung untuk menjamin kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan berpangku pada jumlah premi yang dibayar rakyat. Itulah ide yang mendasari operasional BPJS. Dalam kerangka berpikir asuransi sosial, tentu solusi jika BPJS mengalami defisit adalah mengambil langkah dengan menaikkan iuran premi. Alhasil, dalam sistem kapitalis fakta yang disuguhkan adalah menjual layanan kesehatan, bukan memberikan layanan kesehatan secara gratis.
Di dalam perspektif Islam, di letakkan dinding tebal untuk memisahkan antara kesehatan dan kapitalisasi. Islam telah menetapkan bahwa negara yang memiliki kewajiban memenuhi seluruh kebutuhan hidup rakyat, mulai dari sandang, pangan, dan papan, termasuk juga di dalamnya keamanan, pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut merupakan bagian dari kewajiban dasar negara atas rakyatnya, tidak boleh mengabaikan penunaian kewajiban. Karena mereka kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat.
Tanggung jawab dari seorang pemimpin salah satunya adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara gratis. Klinik, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas umum yang diperlukan oleh umat dalam rangka terapi pengobatan dan berobat. Negara wajib menyediakan kemaslahatan dan fasilitas umum (al-mashâlih wa al-marâfiq) secara gratis sebagai bagian dari mengurusi urusan rakyatnya. Sesuai dengan sabda Rasul saw., yang artinya: "Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR.Al-Bukhari)
Pemberian jaminan kesehatan tersebut tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Penyelenggaraannya bisa dipenuhi dari berbagai sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariat, di antaranya dari hasil pengelolaan kekayaan umum, berbagai macam tambang, minyak, gas, termasuk hutan dan sebagainya. Juga dari sumber lainnya, yaitu kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan lain sebagainya. Maka, pelayanan kesehatan bisa diberikan secara berkualitas, memadai, dan cuma-cuma untuk seluruh rakyat.
Itulah potret seorang pemimpin yang seharusnya bertanggungjawab atas urusan rakyatnya. Bukan sekadar sebagai pengatur atau regulator belaka. Potret jaminan kesehatan tersebut hanya akan terwujud dengan penerapan Islam secara menyeluruh oleh institusi negara, sehingga menghasilkan sebuah jejak peradaban yang dapat diindra dan dirasakan jejak-jejak penerapannya hingga saat ini.
Wallahu A'lam Bish-Shawwab.[]