Ketika Ade Melempar Kaca

Anak kecil, terutama yang berusia di bawah lima tahun, memang memiliki otak yang belum sempurna. Padahal, otak adalah salah satu komponen penting untuk berfikir selain fakta, panca indra, dan informasi. Karena itu, daya pikir mereka juga belum sempurna sehingga  belum bisa membedakan antara yang benar dan salah. Karena itu, Allah Swt. juga tidak membebani mereka dengan taklif atau beban hukum

Oleh: Ida Royanti (Founder Komunitas Aktif Menulis)

NarasiPostCom-Surti baru saja melipat mukena setelah shalat Isya’ ketika mendengar sulungnya memanggil-sambil sambil mengetuk pintu. Ia terkejut karena anak itu berada di luar, telebih setelah mengetahui kalau pagar rumah sedikit terbuka. Padahal, baru saja mereka selesai shalat berjamaah. Wanita itu segera membuka pintu. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria  dari luar.

“Bu, gimana ini anaknya?” tanya lelaki itu. Ternyata ia adalah tetangga depan rumah.

“Anak saya kenapa, Pak?” Surti balik bertanya. Ia masih berada di depan pintu.

“Njenengan keluar sebentar, Bu! Ini, anaknya lempar-lempar kaca. Sampai kaget saya, kok tiba-tiba terdengar ‘klotek-klotek’!” seru bapak itu lagi.

Surti semakin terkejut. Ia baru menyadari, kalau si Adek tidak berada di dalam rumah. Perhatian wanita itu langsung beralih ke kakaknya.

“Adek ke mana, Kak?” tanya Surti cemas.

“Itu,” jawab si Sulung sambil menunjuk ke Adek yang sedang bersembunyi di balik korden. Rupanya anak itu ketakutan.

“Ayo, Bu, njenengan keluar dulu!” Terdengar suara lelaki itu lagi. Kelihatan sekali kalau ia tidak sabar.

Sedikit panik, Surti lalu meminta suaminya keluar untuk menemui orang itu. Pikirannya langsung berkecamuk. Jangan-jangan si Adek memecahkan kaca orang? Kalau iya, suaminya pasti marah besar pada anak kecil itu.

Begitu suaminya keluar, Surti langsung beralih pada si Adek. Ternyata ia sudah tidak berada di balik korden. Anak itu sudah berpindah ke kamar. Ia menutup tubuhnya rapat-rapat dengan selimut tebal. Hati Surti sedikit mencelos. Rupanya anak itu semakin ketakutan.

Surti tidak langsung mendekat. Terlebih dahulu, ia bertanya pada sulungnya untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya.

“Kak, apa benar tadi Adek melempar-lempar kaca orang?” tanya Surti.

“Iya,” jawab Sulung singkat.

“Lemparnya di mana?” tanya Surti lagi.

“Di rumah  Dedek Risa.”

Gadis enam tahun yang baru kelas TK-B itu juga terlihat agak ketakutan. Ia sangat menyayangi adiknya. Ia tidak ingin si Adek mendapat masalah.

Surti segera membuka selimut. Dengan penuh kasih sayang, ia menarik kedua tangan si Adek ke dalam pelukannya. Awalnya, anak kecil itu meronta dan tetap menyembunyikan diri di balik selimut. Namun, melihat wajah teduh tanpa ada kemarahan sama sekali milik sang Bunda, ia pun akhirnya menurut juga. Sementara itu, si Sulung duduk di tepi pembaringan.

“Adek tadi habis apain? Adek lempar kaca Dedek Risa, ya?” tanya Surti lembut. Tangan halus itu membelai pelan kepala si Adek. Anak itu menggeleng.

“Benar? Adek tidak boleh bohong, loh!” tanya Surti dengan sabar.

“Adek tidak bohong. Adek tidak lempar kaca, Bund.”

“Trus, tadi Adek di luar ngapain?”

“Adek lempar nyamuk,” jawab Adek pelan. Surti agak tercekat.

“Subhanallah, Adek! Emang, nyamuknya di mana?” tanya Surti lagi.

“Di lampunya Dedek Risa.”

“Kok, dilempar?” tanya Surti lagi sambil melepaskan pelukan itu perlahan. Ia memandang lekat wajah bungsunya itu.

“Biar gak gigit Adek. Nyamuknya ada di atas, Bund. Adek gak bisa tepuk pakai tangan. Jadi, Adek lempar pakai batu,” jawab anak itu sambil menunduk. Suara cedal anak itu terdengar sangat jelas. Surti menghela napas. Sekali lagi, wanita itu menarik Adek ke dalam pelukannya.

“Sayang… Lain kali, Adek tidak boleh lempar-lempar lagi, ya!” kata Surti pelan.

“Kenapa, Bunda? Nyamuk kan, jahat. Kalau Adek digigit, bagaimana? Adek tidak suka gatal-gatal. Adek juga tidak mau demam, seperti kata Bunda.”

“Sayang… Nyamuk memang terkadang mengganggu kita. Bunda memang tidak ingin badan Adek gatal dan bentol-bentol. Bunda juga tidak ingin Adek menjadi demam karena digigit nyamuk. Tapi bukan berarti Adek atau Kakak boleh lempar-lempar. Coba, lihat, di dekat lampu itu ada kaca! Kalau Adek lempar-lempar, nanti bisa kena kaca. ‘Pyar’… pecah, deh! Trus, kalau kena lampu, lampunya juga bisa pecah. Kan, berbahaya.“

“Bisa terbakar, ya, Bunda?” tanya si Bungsu polos.

“Iya, Nak. Lagipula, batunya juga bisa kena kepala Dedek Risa.”

“Trus…nyamuknya bagaimana, Bunda?” tanya Adek.

“Biarkan saja! Nyamuknya kan, ada di atas. Mereka tidak akan mengganggu Adek. Kalau nempel dan gigit tangan Adek, atau Kakak, baru deh, ditimpuk,” jelas Surti.

Dua anak kecil itu mengangguk-angguk. Mungkin apa yang dikatakan sang Bunda belum bisa dimengerti sepenuhnya. Namun, dari peristiwa itu, mereka bisa belajar, bagaimana menyikapi suatu persoalan.

***
Bunda…Ilustrasi di atas saya tulis berdasarkan kisah nyata, hanya namanya saja yang saya samarkan. Sesungguhnya, kejadian seperti itu bisa dialami oleh siapa saja, mungkin juga keluarga kecil bunda. Bisa jadi, kasusnya tidak sama persis. Namun, intinya sama, yaitu memandang sesuatu dari sudut pandang seorang anak. 

Coba bayangkan, apa yang terjadi seandainya Surti atau suaminya langsung memarahi anak itu karena malu sama tetangga? Mungkin anak itu akan syok dan kebingungan. Mengapa? Karena menurut dia, apa yang dilakukan itu sudah benar. Ia tidak melakukan kesalahan, mengapa dimarahi habis-habisan? Kalau sampai hal itu terjadi, anak akan terbiasa plin-plan, memiliki standar ganda dalam memutuskan sesuatu. Kok, bisa? Karena benak kecilnya menangkap bahwa apa yang ia lakukan itu bisa benar, bisa salah. Dianggap benar, kalau yang melakukan adalah orang tuanya. Dianggap salah kalau ia yang melakukan. Demi menghindar dari kemarahan orang tua, tak jarang ia akan berbohng untuk menutupi tindakan yang sesungguhnya. Bahkan yang lebih parah, ia akan menjadi pendendam karena dimarahi tanpa sebab kesalahan. 

Jangan heran kalau bunda pernah menjumpai seorang anak yang begitu benci sama orang tuanya. Setelah ditelusuri, ternyata anak itu sering dimarahi tanpa sebab yang jelas. Ia ingin balas marah pada orang tuanya, namun, tubuh dan jiwa kecil itu tidak berdaya. Akhirnya, kemarahan itu menumpuk sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi kebencian, nauzubillah. Atau bisa saja kebencian itu ditujukan pada orang yang menyebabkan ia dimarahi oleh kedua orang tua.

Bunda, anak kecil, terutama yang berusia di bawah lima tahun, memang memiliki otak yang belum sempurna. Padahal, otak adalah salah satu komponen penting untuk berfikir selain fakta, panca indra, dan informasi. Karena itu, daya pikir mereka juga belum sempurna sehingga  belum bisa membedakan antara yang benar dan salah. Karena itu, Allah Swt juga tidak membebani mereka dengan taklif atau beban hukum. 

Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan yaitu; dari orang gila hingga ia sembuh; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari anak-anak hingga ia baligh. ( HR Abu Dawud)

Bunda, kalau Allah Yang Maha Tahu saja memberikan dispensasi dengan tidak memberikan beban hukum pada mereka, mengapa kita malah menuntut yang lebih pada anak-anak kita? Terkadang, kita ingin dipahami oleh anak-anak, padahal otak mereka belum mampu manjangkau semua itu.

Usia balita adalah masa keemasan (golden age). Sel-sel otak berkembang pesat pada masa-masa ini. Dalam rubrik Parenting dengan judul: Tahap Perkembangan Otak Si Kecil hingga Ia Dewasa, Salis Annia menulis bahwa sewaktu lahir, berat otak anak sekitar 60 persen dari ukuran otak ketika sudah dewasa. Pada usia tiga tahun, otak anak sudah mencapai sekitar 80 persen dari ukuran otak orang dewasa dalam hal volume dan sel-sel otak. Umumnya, perkembangan otak anak bertahap sesuai dengan tingkatan usianya. Menjelang lima tahun adalah masa penting bagi perkembangan otak. Segala hal yang terjadi pada anak akan sangat melekat, termasuk kejadian traumatis atau luka psikologis. Masa ini juga menjadi momen yang tepat untuk proses penyembuhan pengalaman traumatis tersebut (www.sehatq.com,14/05/2020).

Stimulus atau rangsangan yang tepat akan menyebabkan pekembangan sel-sel di dalam otak semakin cepat. Sebaliknya, rangsangan yang buruk akan menyebabkan terjadinya peluruhan atau kerusakan sel-sel secara cepat pula. Misalnya, bentakan yang keras dan kasar menyebabkan ribuan sel-sel otak anak rusak. Karena itu, berfikir ulang adalah tindakan yang paling bijaksana bagi orang tua ketika hendak membentak dan memarahi anak-anaknya. Sebenarnya tidak ada anak nakal, yang ada  hanyalah orang tua yang tidak sabar.

Anak-anak belum bisa berfikir jernih tentang fakta-fakta yang diindra. Mereka juga belum bisa menalar fakta-fakta lain yang ada di seputar  fakta tersebut. Karena itu, bisa jadi persepsi mereka berbeda dengan persepsi orang dewasa. Mereka juga tidak bisa dipaksa untuk memahami sesuatu sesuai dengan persepsi kita.

Dalam kasus di atas, Si Adek memahami bahwa nyamuk adalah serangga pengganggu yang merugikan manusia. Mungkin ia pernah mendapatkan penjelasan itu dari sang bunda. Atau secara tidak langsung, ia memahami hal itu dari perilaku orang-orang di sekitarnya, semisal menimpuk nyamuk ketika menempel atau menggigit kulit mereka, memakai obat nyamuk dan sebagainya. Wajar, kalau ia ingin memberantas nyamuk-nyamuk itu agar kelak tidak mengganggu dirinya.

Hanya saja, karena akalnya belum sempurna, maka ia menangani masalah tersebut sesuai dengan cara berpikirnya yang sederhana. Ia tidak pernah membayangkan bahwa tindakan itu bisa berbahaya karena bisa mengenai kaca, atau lampu yang menjadi pusat peredaran nyamuk, bahkan bisa saja mengenai orang yang tiba-tiba keluar dari rumah itu.

Lantas, bagaimana caranya agar anak-anak yang melakukan hal itu atau perbuatan lain yang serupa tidak mengulangi perbuatan yang sama?

Selami Dunia Mereka, Tarik ke Dunia Kita

Saat berbicara dengan anak-anak, cobalah masuk ke dunia mereka! Mari kita memposisikan diri sebagai anak-anak juga, agar bisa mengikuti cara berfikir mereka. Dengan begitu, orang dewasa akan memahami, apa yang sedang dipikirkan anak-anak.

Setelah, itu, tarik mereka ke dunia anda secara perlahan-lahan! Jelaskan secara sederhana, mengapa mereka tidak diperbolehkan melakukan perbuatan yang menurut logika anak-anak tidak salah! Tunjukkan di mana letak ketidaktepatannya, sehingga mereka bisa paham dan menerima kesalahan serta berjanji tidak melakukan perbuatan serupa!

Ingatlah, bunda, jangan pernah memaksakan pemahaman dari sudut pandang orang dewasa! Bagaimanapun, mereka tetaplah anak-anak, bukan orang dewasa yang berbadan kecil, atau orang kecil berpikiran dewasa. 

Yuk, kita belajar sabar dan berusaha menyelami dunia mereka! Semoga Allah Swt. memudahkan langkah kita dalam menjalankan peran utama sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga! Aamiin.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ida Royanti Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Disintegrasi, Ujian Konsistensi "NKRI Harga Mati"
Next
Oposisi Jadi Koalisi? Rakyat Gigit Jari
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram