Disintegrasi, Ujian Konsistensi "NKRI Harga Mati"

Tidak dapat dielakkan lagi, banyak pihak yang menginginkan Papua merdeka. Sudah menjadi wataknya, kaum kafir penjajah akan terus berupaya untuk memecah belah negeri kaum Muslimin termasuk Indonesia


Oleh. Yeni Marliani
(Komunitas Muslimah Peduli Generasi Brebes)

NarasiPost.Com-Organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mendeklarasikan pembentukan pemerintahan sementara Papua Barat Merdeka dengan presiden Benny Wenda. Benny Wenda merupakan putra dari Suku Lani di Lembah Baliem, Papua. Ia mengaku masa kecilnya dipenuhi kekerasan dari para tentara, rasisme, dan kepatuhan yang dipaksakan dalam rutinitas sehari-hari. Kemudian bersama rekan-rekannya ia membentuk serikat Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) pada 8 Desember 2014, dan getol mencari negara yang mendukung Papua Barat merdeka.

Kini dukungan bagi kemerdekaan Papua mengalir dari berbagai negara, mulai dari Inggris, Australia, Selandia Baru, Amerika, Prancis, Kanada, Jepang hingga negara-negara Pasifik. Dikutip dari situs humanrightspapua.org, ada delapan negara Pasifik yang secara vokal mendukung kemerdekaan Papua Barat, yakni Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Palau Tuvalu, Marshall Islands, Nauru serta Saint Vincent dan Grenadines. Dukungan itu mengalir atas dasar kejahatan HAM yang terjadi di Papua, sebab rentetan kasus pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan hingga penghilangan paksa sering tejadi. Sejatinya hal itu tidak terlepas dari keberadaan kelompok separatis. Namun, tak ada penyematan gelar teroris, hanya sebatas Kelompok Kejahatan Bersenjata (KKB).

Bahkan untuk sebuah deklarasi kemerdekaan Papua, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD, menyebut Benny Wenda membuat negara ilusi. “Benny hanya berilusi, memang didukung negara kecil di Pasifik, namanya Vanuatu, tapi kecil itu.” (news.detik.com, 3/12/2020).

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Kedeputian V bidang Politik, Hukum dan Pertahanan Keamanan, dan HAM, Laus Deo Calvin Rumayom, menegaskan bahwa otonomi khusus (otsus) sebagai 'jalan tengah' penyelesaian masalah Papua.

Padahal, dua dekade otsus berjalan tak menghentikan geliat disintegrasi. Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menegaskan ada atau tidak ada otonomi khusus tidak ada pengaruh bagi upaya kemerdekaan Papua.

Sepatutnya kita berkaca pada masa lalu, bagaimana Sipadan dan Lagitan yang lepas pada era Megawati, kemudian Timor-timur pada era Habibie. Pola yang sama, yakni pembiaran tumbuh suburnya gerakan separatis, solusi demokrasi yang tidak tepat dan intervensi negara asing. Padahal slogan "NKRI Harga Mati" kerap digaungkan, namun menghadapi disintegrasi konsistensinya patut diuji, minim pembuktian dan keseriusan. Faktanya manis pada kaum separatis tapi bengis pada rakyat kritis.

Akar Konflik Papua

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), setidaknya ada empat akar masalah di Papua yang seharusnya diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Namun hingga hari ini, pemerintah dinilai gagal dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Pertama, sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Awal mula bergabungnya Papua menjadi bagian NKRI, diwarnai masalah. Soekarno melalui operasi Trikora berusaha menggabungkan Papua menjadi bagian dari NKRI. Lalu hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), pada 2 Agustus 1969, yang membuat PBB mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua dianggap penuh kecurangan dan intimidasi. Sebab hanya satu persen dari total populasi yang bisa urun suara. Sehingga ada anggapan bahwa Indonesia telah menganeksasi Papua ke dalam bangsa ini sedari awal.

Kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM yang menyisakan ketidakadilan terhadap warga Papua. Dalam catatan jurnalis Gemima Harvey yang dimuat di The Diplomat, beberapa tahun setelah referendum, kurang lebih 30.000 rakyat Papua dibunuh oleh militer Indonesia. Dalam catatan Human Right Watch, ada lebih dari 500.000 warga Papua yang telah direnggut nyawanya secara sistematis, dan ribuan lain mengalami diskriminasi rasial, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemenjaraan, dan pemerkosaan.

Ketiga, diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanah sendiri. Masyarakat Papua merasakan adanya perbedaan perlakuan pada ras mereka dibandingkan dengan masyarakat Indonesia di wilayah lainnya. Papua berasal dari rumpun ras Melanesia, bukan Melayu seperti masyarakat Indonesia lainnya. Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Voice of America (VOA), bahwa rakyat Papua merasa terancam dengan banyaknya pendatang yang masuk ke dalam wilayah mereka. Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP413), Bambang Darmono mengatakan, bahwa pendatang menempati sebagian besar kabupaten dan kota di Papua.

Keempat, kegagalan pembangunan. Proses pembangunan lebih fokus pada infrastruktur, bukan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan dan ekonomi penduduk asli Papua.

Antara Peranan Asing dan Demokrasi

Tidak dapat dielakkan lagi, banyak pihak yang menginginkan Papua merdeka. Sudah menjadi wataknya, kaum kafir penjajah akan terus berupaya untuk memecah belah negeri kaum Muslimin termasuk Indonesia.

Kendati dengan peraturan yang ditetapkan terkait hukum internasional dalam alam demokrasi. Eksistensi prinsip Responsibility to Protect (R2P), dimunculkan dengan sebuah konsep fundamental yakni ketika pemerintah sebuah negara tidak memenuhi prinsip-prinsip dasar dari sebuah negara modern kepada rakyatnya maka dunia internasional harus menganggapnya sebagai tanggung jawab mereka. Melalui prinsip R2P, kedaulatan menjadi suatu kondisionalitas. Ketika negara gagal memenuhi tanggung jawabnya maka negara tersebut akan kehilangan kedaulatannya untuk memberi ruang bagi dunia internasional melakukan intervensi demi memenuhi tanggungjawab yang telah gagal dilakukan negara tersebut.

Maka wajar, upaya Papua memerdekakan diri dari Indonesia memperoleh dukungan dari berbagai negara. Namun, dapat dipastikan prinsip R2P memiliki dua sisi mata uang seperti halnya produk demokrasi lainnya. Satu sisi menjadi solusi cepat penanganan pelanggaran HAM yang terjadi di suatu wilayah namun sisi lain menjadi jalan busuk kepentingan kafir penjajah.

Disintegrasi dalam Pandangan Islam

Islam menjaga persatuan dan kesatuan negara, antara lain dengan melarang makar (bughat) dan memisahkan diri dari kekhilafahan.

Nabi Saw. bersabda, “Siapa saja mencabut ketaatan (kepada imam/khalifah), maka dia akan menghadap Allah tanpa hujah (yang bisa mendukungnya).” (HR. Muslim)

Islam menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang melakukan tindakan makar terhadap negara. Al-Muhâmî al-‘Alim Syaikh ‘Abdurrahman al-Mâliki, dalam kitabnya Nidzâm al-‘Uqûbât, menjelaskan sanksi bagi mereka adalah had. Sanksi had ahl al-baghy adalah diperangi, sebagai pelajaran (qitâl ta’dîb) bagi mereka, bukan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb). (al-Mâliki, Nidzâm al-‘Uqûbât, hal. 79).

Islam juga menetapkan berbagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Seperti, memata-matai kafir harbi fi'lan, memata-matai ahli ar-Raib, menutup kedutaan negara-negara kafir harbi hukman. Meniadakan kedutaan negara-negara kafir harbi fi’lan, seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia dan Israel. Serta menutup kontak, hubungan, dan kerja sama warga negara Khilafah dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini, Khilafah akan menerapkan kebijakan satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri.

Tidak bisa dipungkiri, telah terjadi kezaliman terhadap rakyat Papua. Disintegrasi hanya akan mengiris-iris negeri, melanggengkan kezaliman dan menghilangkan kekuatannya. Sebab sumber penyebabnya adalah sistem kapitalisme yang dianut negeri ini. Maka, agar rakyat Papua dan rakyat wilayah lainnya bisa merasakan kesejahteraan dan tak sedikitpun terpikir untuk memisahkan diri dari Indonesia, maka singkirkan sistem kapitalis dengan demokrasinya.

Hanya sistem Islam yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan negara bahkan sebagai taruhan hidup dan mati. Bukan sekadar slogan receh "NKRI harga mati" namun minim konsistensi bahkan kabur arti.

Wallahu a'lam bishowab.[]


Photo : Google Source
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Potret Akhir Tahun
Next
Ibu dan Anak Bahagia dengan Islam Kaffah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram