"Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story yang cukup mendapatkan nilai baik."
Oleh: Banisa Erma Oktavia
NarasiPost.Com-Sudah satu bulan lebih sejak seorang Ikhwan datang menghubungiku dan mengutarakan niat baiknya. Aku sudah berjanji pada diri sendiri, juga pada-Nya, bahwa aku tak boleh bersedih jika akhirnya ia tak pernah bertandang. Benar juga, yang kutemui hanya ketidakpastian hingga hari ini.
Tepat pada hari Ahad, 7 Februari 2021, ibuku dilarikan ke rumah sakit karena gula darahnya sudah mencapai angka 462. Angka ang masuk dalam kategori berbahaya menurut tingkatan gula darah.
Alhamdulillah, Ibu dirawat di kamar inap biasa, di Lantai 8, Tulip No. 84 karena beliau tidak terdeteksi Covid 19.
Aku menemani Ibu malam itu, sementara kakak menginap di apartemen samping rumah sakit, mengingat peraturan rumah sakit hanya membolehkan satu orang jaga. Rencananya, besok aku akan tetap ke kantor, biar kakak yang menggantikan menjaga Ibu di RS, mengingat ia bukan pegawai yang terikat waktu bekerja sepertiku.
Pagi itu, seusai bersiap dan salat Dhuha, aku lihat Ibu masih terkulai lemas. Beliau mengeluhkan kebas di kedua kakinya. Tak tega, akhirnya aku mengurungkan niat ke kantor hari itu. Aku langsung saja menghubungi atasan, meminta izin tidak bekerja karena Ibu masuk rumah sakit.
“Ma, Ade gak ke kantor dulu.”
“Emang gak apa-apa? Udah bilang ke atasan Ade?”
“Udah, kok.”
Aku membuka gorden jendela agar memberi sedikit cahaya. Ternyata, di luar gerimis, hingga membentuk bulir-bulir air hujan pada kaca jendela.
Pramusaji datang dengan ramah mengantarkan sarapan. Aku pun menyuapi Ibu. Gerimis di luar menambah suasana sahdu pagi itu.
Sesekali kuajak Ibu bercanda, menceritakan hal konyol dan menggodanya sampai ia lupa akan kebas pada kakinya. Aku menjadi asisten Ibu sepenuhnya, menyuapi, mengantarkan buang air, membersihkan badan, hingga memakaikan pakaian.
Alhamdulillah, aku senang bisa berada di samping beliau di saat-saat seperti ini. Malah, rasanya ingin mengurus beliau saja dan resign dari pekerjaan. Namun, nyatanya aku adalah bagian dari tulang punggung keluarga.
Sesekali kakakku datang sambil membawakan apa yang kami butuhkan, seperti selimut, baju, hingga makanan.
Esoknya, setelah menyuapi Ibu sarapan, aku yang hendak berangkat ke kantor tiba-tiba dikejutkan dengan kabar kalau perusahaan tempatku bekerja mempunyai kebijakan bahwa setiap karyawan yang mengunjungi rumah sakit selama masa pandemi, harus melakukan isolasi mandiri selama empat belas hari sebelum masuk kerja. HRD akhirnya memberikan opsi agar aku melakukan swab antigen sebelum akhirnya kembali bekerja.
Mau tidak mau, aku pun harus menghabiskan hak cuti selama lima hari, berharap Ibu segera membaik dalam beberapa hari ini. Ada rasa tidak enak dengan teman kantor karena mereka mau tidak mau harus memback up pekerjaan harianku. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, semoga Allah membalas keikhlasan mereka.
Awalnya, aku berpikir bahwa lebih baik Ibu dirawat di sini daripada di rumah yang hanya mengonsumsi obat apotek. Setidaknya, ada dokter dan perawat yang memantau kondisinya. Namun, aku bisa melihat kesedihan di matanya. Pernah beliau akhirnya menangis karena menahan sakit di suntik beberapa kali untuk diambil darahnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain mengusap kepalanya dan memeluk wanita terkasih itu.
Aku mulai merasa tidak baik-baik saja. Hari-hari menjadi kelabu. Kekhawatiranku akan kesehatan Ibu mulai memuncak. Ya Rabb, beginikah rasanya melihat Ibu sedang sakit?
Aku membaca Al-Quran setelah salat Magrib. Ibu kemudian berkata, “Dek, baca Yasin sama Mama.”
Aku terdiam sejenak. “Ini kan bukan malam Jum’at?”
“Emang kenapa? Kan boleh, kapan aja.”
Aku sebenarnya tahu, itu hanya alibiku saja. Kenapa harus Surah Yasin? Akan tetapi, karena ini permintaan Ibu, aku pun mengindahkannya.
Aku mulai membacanya. Ibu mengikuti. Sedikit-sedikit, beliau hapal karena surah ini memang tidak asing di telinga. Ayat demi ayat kubaca, sampai akhirnya tangisku pecah di hadapan perempuan yang kupanggil ‘Mama’ ini.
Lembaran Al-Quranku pun basah karena air mata. Aku tak bisa menutupi, tetapi Ibu malah tertawa. Mungkin agar aku tidak menangis lagi.
Akhirnya aku menyelesaikan bacaan sampai pada ayat ke 83. Itu adalah momen yang tidak akan kulupakan.
Tidak terasa, sudah empat hari Ibu menjadi pasien rumah sakit. Sudah empat hari aku tak menyentuh pekerjaan di kantor. Sudah terbayang, berapa senti meter tebal berkas yang ada di mejaku, meskipun ada teman yang membackup pekerjaan harian. Namun, aku masih memiliki pekerjaan lain. Tapi … ya, sudah, aku menganggap ini sebagai kemudahan yang Allah berikan.
Kali ini, ibuku tidak sendirian di kamar Tulip No. 84. Di sana ada pasien lain. Kalau tidak salah, namanya Bu Susi. Beliau menderita penyakit dalam. Hari itu, aku perhatikan beliau ditemani suaminya. Bu Susi umurnya lebih tua dibanding Ibu. Suaminya sudah pantas dipanggil ‘kakek’. Anak-anaknya sesekali datang menjenguk. Namun, yang menginap dan selalu menemani Bu Susi adalah suaminya.
Aku kemudian berpikir bahwa di hari tua nanti, pasangan kitalah yang akan tetap membersamai kita. Sedangkan anak, kelak memiliki kehidupan masing-masing, meskipun bakti anak tidak terbatas pada sudah menikah atau belum. Maka, pilihlah seseorang yang setia, yang senantiasa membersamai kita dalam keadaan suka maupun duka.
Hari kamis, aku berniat pulang ke rumah dan kakak yang menggantikanku. Kepalaku migrain, dan butuh istirahat. Padahal, kelihatannya menemani di RS bukan pekerjaan berat, lalu apa yang membuat fisik kita melemah? Ya, karena mental yang sedang tidak baik-baik saja.
Aku kira, dengan pulang ke rumah, pikiranku menjadi lebih tenang. Ternyata tidak, aku justru khawatir dengan kondisi Ibu. Aku ingin selalu berada di sampingnya, mengetahui persis bagaimana keadaannya. Usai salat Magrib, aku berdoa seraya menangis, memohon kesembuhan Ibu.
Aku jadi ingat, terakhir menangis begini pada saat aku bertahajud, mencurahkan segala keluh, meminta Dia untuk segera mempertemukanku dengan jodohku. Namun, kini, aku merasa malu pada-Nya. Aku sibuk menuntut apa yang belum kumiliki, tetapi lupa bahwa Dia kapan pun bisa saja mengambil apa yang sudah kumiliki sekarang.
Aku pun menangis sejadi-jadinya. Aku meratapi sepinya rumah ini tanpa kehadiran Ibu. Padahal, kami hanya terpisah jarak, lalu bagaimanakah anak-anak yatim piatu di luar sana menahan rindu pada ayah ibunya yang sudah terpisah alam?
Alhamdulillah, akhirnya hari Sabtu Ibu diperbolehkan pulang. Tentu saja dengan bekal obat dan insulin dari dokter. Sesampainya di rumah, aku segera melakukan swab antigen. Alhamdulillah hasilnya negatif. Akupun mulai bisa beraktivitas kembali seperti biasa.
Dari ujian ini, aku menyadari bahwa banyak hal yang seharusnya aku syukuri. Karena selain meminta apa yang kita butuhkan, kita juga wajib mensyukuri apa yang sudah Allah berikan. Meski aku masih sendiri, tetapi Allah telah memberikanku kesempatan untuk berbakti kepada orang tua.