Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story dengan nilai yang cukup tinggi juga
Oleh: Maya R. Sundjata
NarasiPost.Com-Kutemukan penghiburan dari buku-buku yang kubaca. Tanpa benda persegi itu, aku tidak tahu akan seperti apa hidupku. Meski begitu, masih ada rongga kosong yang belum terpenuhi, berapa pun banyaknya buku yang kubaca. Rongga kosong itu kian dalam justru setelah kedua orang tuaku meninggal.
Sahabat Sejati
Apa arti sahabat bagimu? Menurutku, sahabat adalah orang yang sangat dekat dengan kita, meski ia tidak memiliki hubungan darah atau nasab. Sahabat adalah orang yang sangat kita percaya, yang kita anggap bisa menjaga dan menyimpan segala jenis rahasia dan kisah yang telah kita bagi bersamanya.
Sejak kecil, aku telah merasakan hidup berpindah ke sejumlah kota. Kadang bersama orang tua, kadang tinggal bersama kerabat. Saat kuliah dan bekerja, beberapa kali tinggal sendiri dalam waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya menikah.
Hidup berpindah seperti itu, tidak memungkinkan untuk memiliki teman dekat apalagi sahabat. Baru saja menjalin pertemanan, eh harus sudah pindah sekolah lagi. Jikalau ada teman dari sekolah lama yang menjadi sahabat pena, biasanya tak bertahan lama karena perlahan tergerus oleh berbagai kesibukan. Lagipula, tidak semua orang terbiasa menulis surat. Padahal, sebagai manusia biasa, aku butuh tempat untuk meluapkan isi hati, baik berupa perasaan maupun pikiran, tentang berbagai hal.
Buku pun menjadi pelarianku. Pada awal tahun 1990-an, saat teman-teman SD sedang jajan di kantin atau bermain, aku menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Aku tenggelam dalam lautan aksara, khusyuk dalam imajinasi. Kulahap habis semua media cetak yang ada di perpustakaan, di tempat mana pun aku bersekolah.
Kala itu zaman Orde Baru, sekolah dibanjiri dengan bantuan buku-buku Instruksi Presiden (Inpres). Jenisnya beragam, ada fiksi dan non fiksi.
Dari sanalah, aku mulai berkenalan dengan buku-buku karya para penulis Indonesia. Buku ‘Membangun Desa’, ‘Sahabat Sejati’, ‘Tidak Mudah Menyerah’, ‘Alam Sahabatku’, ‘Mata Air Impian’ dan lain sebagainya.
Cerita-cerita tersebut sangat inspiratif.
Novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka pun tumpah ruah ketika itu. Ada 'Sitti Nurbaya' karya Marah Rusli, 'Azab dan Sengsara ' karya Merari Siregar, 'Sengsara Membawa Nikmat' karya Tulis Sutan Sati, 'Salah Asuhan' karya Abdul Muis, dan banyak lagi.
Sungguh, buku mampu menjadi teman duduk yang setia. Dia tak pernah membuatmu bosan atau memujimu berlebihan. Buku, sahabat sejati yang tidak akan menipu. Dia akan menjaga dan menyimpan segala jenis rahasia dan kisah yang kamu bagi bersamanya.
Buku Panduan
Saat remaja, aku adalah sosok yang sama sekali buta fesyen. Suatu hari aku ke stasiun, hendak menjemput sepupu yang datang menengok. Begitu dia turun dari kereta, apa coba yang dia lontarkan? Bukan ungkapan rasa rindu, bukan pula sapaan.
"YA ALLAH, MEIIII. Atas (pakai baju) polkadot hijau, bawah (pakai rok) garis-garis coklat?!"
Dia berteriak sambil berdiri di ambang pintu kereta. Segera kutarik lengannya. Kalau tidak, bisa-bisa penumpang yang lain tidak bisa keluar.
Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku meminjam buku tentang fesyen dari perpustakaan daerah. Kupilih buku-buku bergambar agar terang-benderang, bagaimana cara memadukan warna dan model pakaian agar tampak serasi.
Tak hanya soal fesyen, buku juga memanduku bagaimana cara belajar efektif, berinteraksi dengan orang lain, hingga soal bagaimana menghasilkan uang sambil tetap sekolah dan kuliah. Ya, buku adalah panduan bagi siapa pun yang ingin memiliki suatu pengetahuan dan keterampilan.
Penghibur Hati
Jika kamu bertanya, di manakah peran orang tuaku selama ini? Seperti yang telah kusampaikan di awal kisah ini, terkadang aku tidak hidup bersama orang tua. Jika pun sedang tinggal bersama mereka, Ayah sibuk bekerja dari pagi hingga petang, bahkan malam, sedangkan Ibu sakit jiwa sejak aku masih duduk di kelas 3 SD.
"Maknya pungo … Maknya pungo!" Begitu teman-teman di Aceh merundungku.
"Indungna edan … indungna edan!" seru teman-teman saat aku tinggal di Bogor.
Mereka berkata ibuku gila.
Pun, di daerah lainnya. Orang dewasa tak luput membicarakan kondisi Ibu tepat di belakang punggungku. Hal itu terdengar saat aku menggandeng tangan beliau, kembali pulang setelah kabur dari rumah untuk ke sekian kalinya.
Semua ucapan itu tak kuhiraukan. Yang kutahu, aku harus secepatnya menghilang dari pandangan mereka. Tetapi ibuku yang pikirannya sedang tidak pada tempatnya, seolah tidak mau bekerjasama. Jalannya amat lambat, sering berhenti tiba-tiba dan memandang ke sekeliling dengan tatapan yang sukar untuk diterjemahkan. Mulutnya meracau tidak jelas.
Ketika berada dalam situasi semacam ini, aku menerapkan saran dari sebuah buku yang berbunyi, "Jika kamu terjebak dalam situasi yang tidak kamu inginkan, alihkan pikiranmu kepada hal-hal yang lain. Pikirkan saja hal-hal yang menyenangkan."
Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi demikianlah adanya. Ketika usia delapan tahunan sudah mulai mendapat perundungan karena kondisi Ibu, kesepian karena sering hidup berpindah, labilnya jiwa saat pubertas menyapa, dan kegetiran hidup lainnya. Kutemukan penghiburan dari buku-buku yang kubaca. Tanpa benda persegi itu, aku tidak tahu akan seperti apa hidupku. Meski begitu, masih ada rongga kosong yang belum terpenuhi, berapa pun banyaknya buku yang kubaca. Rongga kosong itu kian dalam justru setelah kedua orang tuaku meninggal. Ibu meninggal saat aku kelas dua SMA. Ayah menyusul setahun setelahnya, tepat setelah aku diterima di sebuah universitas ternama di negeri ini.
Kuliah tahun ketiga, aku mengenal Islam ideologis. Kudapati sebuah buku yang isinya sangat luar biasa. Di dalam buku itu terdapat jawaban atas setiap masalah yang kuhadapi. Buku itu adalah Al-Qur'an.
"Dalam Al-Qur'an surat Al Baqarah ayat ke-2 disebutkan bahwa Al-Qur’an itu kitab suci yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa."
Seorang jilbaber tengah mengisi kajian di serambi masjid kampus, siang itu. Aku terpana.
"Jadi, sebenarnya sederhana sekali. Masalah apa pun yang kita hadapi, solusinya ada di dalam Al-Qur’an. Ibarat manusia ini robot, maka Al-Qur’an ini adalah petunjuk manual bagaimana mengoperasikan robot itu. Bagaimana tanda-tanda robot yang kekurangan baterai (iman), misalnya. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengisi dayanya kembali. Bagaimana jika ada robot yang mati (semangatnya). Apa yang harus dilakukan. Jawaban semua itu ada di dalam buku manual tadi (Al-Qur’an). Al-Qur’an juga penyembuh (Asy-Syifa). Mari kita lihat ayat-ayat ini …." Dia memaparkan.
Aku tertarik. Pada kajian berikutnya, sang jilbaber menuntunku untuk memahami siapa aku, untuk apa aku hidup, dan akan kemana aku setelah ini. Masyaallah, inilah yang aku cari. Diri sini, aku bisa menerima dengan ikhlas segala kegetiran hidup yang telah terlewati dan siap melewati ujian hidup yang akan datang. Jiwaku kini terisi penuh. Sesuatu yang tidak aku dapatkan dari ribuan buku yang sedari dulu menemaniku. Al-Qur’an adalah sahabat terbaik, buku panduan terhebat dan penghibur bagi hati yang luka.
Teriring doa untuk kedua orang tuaku, semoga husnul khatimah.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]