”Pastikanlah kita berada di barisan dakwah karena sungguh-sungguh menyadari kewajiban agung ini. Bukan sekadar menggantungkan pada perasaan, ikut-ikutan, apalagi ingin ketenaran, tetapi karena memang kita ingin menjadi bagian api yang panasnya membakar segala kemaksiatan.”
(Pemenang kedua Challenge Tim Redaksi / Media )
Oleh. Deena Noor
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kira-kira, antara jerami dengan kayu, manakah yang lebih cepat terbakar? Secara mudah, kita bisa menjawab bahwa jerami cepat terbakar daripada kayu bakar. Jerami memiliki tekstur lebih tipis dan lunak dibandingkan kayu bakar yang lebih tebal dan padat sehingga gampang terbakar. Sedangkan kayu bakar akan benar-benar terbakar setelah beberapa lama.
Jerami sendiri adalah tangkai dan batang tanaman serealia seperti padi dan gandum yang telah kering, setelah biji-bijiannya dipisahkan. Sementara kayu bakar memang biasanya dipilih yang padat dan kering sehingga tahan lama bila dibakar.
Bila diibaratkan, maka perasaan seperti jerami dan pemikiran seperti kayu bakar. Perasaan akan lebih cepat tersentuh dibandingkan pemikiran. Coba ingat-ingat ketika kita meyakinkan sesuatu hal pada seseorang, lebih mudah dengan menyentuh perasaannya ataukah dengan mengajaknya berpikir? Perasaan lebih cepat memicu reaksi, sedangkan pemikiran memerlukan waktu yang lebih lama untuk berproses menjadi suatu perbuatan.
Begitu pula halnya ketika berdakwah. Mungkin dengan menyentuh perasaannya, kita bisa lebih mudah mengajak seseorang untuk menerima dakwah yang disampaikan. Ini karena ia merasa ada kesamaan dengan yang dirasakannya. Ada perasaan senasib dan seperjuangan yang kemudian mendorongnya untuk ikut berdakwah. Saat itu, ia memiliki perasaan yang kuat pada dakwah sehingga semangatnya membara seperti api yang menyala dengan begitu terang.
Beda halnya berdakwah dengan melalui pemikiran. Mengajak seseorang berpikir tidaklah mudah. Begitu pula memahamkan tentang dakwah sebagai kewajiban membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ada proses berpikir yang harus dilalui sehingga tercipta kesadaran yang sempurna. Proses itu terjadi secara bertahap, pelan-pelan, bahkan sangat lambat. Lamanya waktu memahami tergantung pada kemampuan berpikir masing-masing. Hingga akhirnya pemahaman tentang dakwah menetap dalam diri seseorang.
Syekh Abdul Qadim Zallum, seorang aktivis dakwah dan penulis buku Pemikiran Politik Islam, pernah mengatakan bahwa orang yang di awal tampak sangat bersemangat dalam dakwah, biasanya tidak akan bertahan lama sebelum akhirnya mundur. Beliau kemudian mengibaratkannya dengan api yang menjalar di atas jerami dengan api yang menjalar di atas kayu bakar. Api itu ketika menjalar di atas jerami, maka akan menjalari jerami dan membesar dengan cepat dengan nyala yang terang. Namun, ia juga akan dengan cepat mengecil dan padam. Sedangkan, api yang menjalar di atas kayu bakar, maka apinya akan lambat menjalar dan lambat membesar. Dia baru bisa membesar setelah dengan susah payah.
Inilah bedanya perekrutan pengemban dakwah yang bersifat (berlandaskan) perasaan dengan perekrutan yang bersifat (berlandaskan) pemikiran. Hal yang dibutuhkan dalam dakwah adalah pengembannya yang yakin secara pemikiran, bukan berdasarkan perasaan. Karena yang berdasarkan perasaan, biasanya cenderung lemah dan tidak tegar dalam menghadapi masalah.
Hal ini sering kita jumpai di kalangan para pengemban dakwah. Mereka tampak sangat bergelora semangatnya ketika mengkaji Islam dan berdakwah. Orang-orang pun terpana dan terpengaruh ‘panas’ yang terpancar darinya. Keberadaannya menarik perhatian dan menimbulkan rasa ingin tahu tentang dirinya. Seperti api yang begitu terang membara, tentu nyala dan panasnya akan mengenai siapa saja yang ada di dekatnya dengan cepat.
Gelora semangat itu akan merembet ke orang-orang sekitarnya. Namun, sayangnya itu hanya sebentar saja. Api itu lambat laun mengecil dan akhirnya padam. Bahan bakar yang menjadikan api menyala tidak mampu bertahan lama. Jerami telah habis terbakar. Semangat yang menggebu dalam berdakwah pun menghilang seiring hilangnya perasaannya pada dakwah.
Hilangnya perasaan dalam dakwah bisa terjadi karena banyak hal. Ia bisa menghilang ketika menemui masalah yang mengancam dirinya. Ia mendapati realitas yang tak sesuai dengan keinginan dan harapan. Bila ia tetap berdakwah, maka masalah atau realitas itu akan terus membayang, bahkan makin buruk. Ia tidak sanggup menanggung konsekuensinya hingga akhirnya ia pun berhenti dari dakwah. Aktivitas dakwahnya terombang-ambing dalam debur perasaan yang tak menentu.
Lenyapnya perasaan sebenarnya mengakar pada fakta bahwa perasaan itu memang lemah dan tidak stabil. Perasaan tidak bisa dijadikan sandaran. Ia mudah berubah dan gampang goyah.
Ini bukan untuk membandingkan mana yang lebih unggul antara perasaan dan pemikiran. Keduanya merupakan pemberian Allah Swt. yang harus digunakan sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Tidak meninggalkan salah satu dan mengingkari yang lainnya. Namun, menyelaraskan keduanya dalam panduan syariat agar mampu berkontribusi maksimal dalam dakwah Ilallah.
Untuk itu, seorang pengemban dakwah harus senantiasa mengikat perasaan dan pemikirannya pada Islam saja. Perasaan dan pemikiran haruslah berjalan sesuai dengan tuntunan Islam. Ia membenci, mencintai, melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah karena syarak berkata demikian. Ia akan mampu memfilter segala macam pemikiran asing agar tak mencemari dirinya sehingga bisa berefek pada dakwahnya.
Terlebih lagi di tengah gempuran pemikiran asing yang begitu dahsyatnya, orang lebih suka sesuatu yang praktis, pragmatis, dan tidak mau repot-repot. Jangankan berpikir tentang dakwah, memikirkan kehidupan yang makin ruwet saja sudah lelah. Buat apa capek-capek memikirkan orang lain, urusan diri sendiri saja masih belum jelas. Begitulah adanya yang banyak menjangkiti umat Islam kini.
Namun, sebagai muslim, kita tidak boleh membiarkan itu terus terjadi, bukan? Bila semua orang berpikir seperti itu, maka kerusakan akan merajalela tanpa ampun. Padahal, Allah telah memerintahkan kita untuk menumpas kemungkaran dan mengingatkan pada kebaikan. Amar makruf nahi mungkar itulah dakwah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulullah: “Demi Zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, kalian harus menyerukan kepada kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran, ataukah Allah Swt. akan menurunkan siksa dari sisi-Nya kepada kalian, sehingga ketika kalian berdoa, Dia tidak akan mengabulkan doa kalian.” (HR. Tirmidzi dari Hudzayfah Al-Yaman)
Pengemban dakwah yang tangguh memiliki pemikiran yang mantap bersandar pada akidah Islam. Sebab, pemikiran inilah yang mampu menggerakkan dan membangkitkan manusia dari satu keadaan menuju keadaan lain. Dakwah kepada Islam akan membawa umat manusia menuju kehidupan yang baik sesuai perintah Allah taala.
Pastikanlah kita berada di barisan dakwah karena sungguh-sungguh menyadari kewajiban agung ini. Bukan sekadar menggantungkan pada perasaan, ikut-ikutan, apalagi ingin ketenaran, tetapi karena memang kita ingin menjadi bagian api yang panasnya membakar segala kemaksiatan. Juga api yang nyala terangnya mampu menyingkirkan gulita kehidupan akibat kungkungan sistem rusak kapitalisme. Semua karena Allah semata.
Wallahu a’lam bishshawwab.[]
MasyaAllah naskah ini keren sekali, nancep banget dan semoga bisa menjadi pencerah bagi yang lainnya. Serta membangun kesadaran tuk tegas dan jelas kontribusinya dlm islam