Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi akan roboh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang. (Imam Al Ghazali, Al-Iqtishad Al-I'tiqad)
Judul buku: Buanglah Demokrasi pada Tempatnya
Penulis: Yudha Pedyanto
Penerbit: Irtikaz
Tahun terbit: April 2014
Tebal buku: 145 halaman
Peresensi: Choirin Fitri
NarasiPost.com - Demokrasi sebuah kata yang tak asing di telinga kita. Demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoriter dan absolut sepanjang Abad pertengahan (V-XV M). Demokrasi lahir dengan asal sekulerisme yakni pemisahan antara agama dan kehidupan. Maka, jika ada satu tempat di mana agama boleh bersemayam tanpa diusik hanyalah tempat peribadatan individu.
Melihat demokrasi yang lahir dan dibesarkan oleh sekulerisme, maka kita bisa mamahami antara demokrasi dan sekulerisme memiliki sifat yang sama. Yaitu, menihilkan peran agama dalam kehidupan, kecuali sebatas ritual ibadah semata. Bisa dikatakan pula, bahwa demokrasi adalah pengejawantahan sekulerisme dalam ranah politik. Selain itu, misi utama demokrasi adalah menghapuskan kedaulatan Allah atau syariat, serta menggantikannya dengan kedaulatan rakyat.
Padahal, Islam tidak pernah memisahkan antara agama dan kehidupan. Islampun tidak pernah memisahkan antara agama dan negara. Bahkan, negara adalah bagian dari agama, dan agama tidak akan tegak sempurna tanpa negara.
Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi akan roboh, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang. (Imam Al Ghazali, Al-Iqtishad Al-I'tiqad)
Maka, Islam memerintahkan untuk mengangkut seorang pemimpin yang adil. Pemimpin yang akan menerapkan syariat Islam kaffah serta mengemban dakwah dan jihad. Islam menyebut pemimpin seluruh umat Islam ini dengan sebutan Khalifah dan negaranya disebut Khilafah. Umat Islam sepeninggal Rasulullah Saw sampai awal abad ke-20 senantiasa dipimpin oleh Khalifah. Nyatanya secara historis para Khalifah terbukti mampu menciptakan peradaban gemilang yang sangat kondusif dan berusaha dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sayangnya, pada tanggal 3 Maret 1924, Musthofa Kamal Attaturk meruntuhkan Khilafah Islam. Sejak saat itulah, tidak ada lagi institusi Khilafah pemersatu umat dan penegak syariat. Sehingga, ketika umat Islam kehilangan pemimpin dan pelindung, sejengkal demi sejengkal tanah umat Islam dikerat-kerat oleh penjajah. Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka mengadopsi sekulerisme dan demokrasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Nah, buku Buanglah Demokrasi pada Tempatnya ini mengupas bagaimana kejahatan demokrasi. Mulai dari demokrasi mencampakkan Allah, demokrasi menjadi alat penjajah, hingga demokrasi menyuburkan korupsi berjamaah. Pembahasan ini akan dikupas tuntas di Bab 2.
Pada bab berikutnya kita akan diajak untuk Q 'n A tentang berbagai argumen yang membela demokrasi. Dalam bab ini kita akan diajak berpikir dengan benar bagaimana pandangan Islam tentang demokrasi. Selain itu, penulis juga memberikan argumen yang tepat sehingga kita menjadi paham argumen salah yang selama ini diadopsi adalah kesalahan besar.
Dalam bab terakhir kita akan diajak untuk mencegah kejahatan demokrasi terus berkelanjutan. Secara apik penulis membahas 3 poin yang harus dilakukan yakni bagaimana cara berlepas diri dari sistem demokrasi, memahami Islam kaffah dalam bingkai Khilafah, dan melakukan dakwah meneladani Rasulullah wujudkan Islam kaffah.
Istimewanya buku ini bukan hanya terletak pada pemahaman yang benar terkait demokrasi. Buku inipun saya dapatkan dari penulisnya saat ikut webbinar tentang kepenulisan. Alhamdulillah.
So, bagi yang ingin tahu bagaimana cara tepat dan cepat membuang demokrasi pada tempatnya segera baca buku bersampul jingga ini!
Picture Source by Google