Dua Mahkota buat Ayah Bunda

Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story


Oleh:Yeni Marlina, A.Ma
(Pemerhati Kebijakan Publik dan Aktivis Muslimah)

NarasiPost.Com-Memiliki anak saleh dan salehah adalah harapan setiap pasangan suami istri, walau standar dan targetnya masih beda-beda.

Begitupun aku. Sejak menjadi mahasiswa, aku mulai memperhatikan model keluarga kecil yang akan membangun cikal bakal generasi rabbani. Jika aku menikah kelak, apa bisa punya anak yang bisa menghafal Al-Quran hingga 30 juz?

Aku membaca buku tentang cerita ulama-ulama terdahulu. Tak sedikit dari mereka yang terus bergelut dengan ilmu dan Al-Quran. Kurasa, sangat penting mempersiapkan anak-anak masa depan untuk mengukir kembali kehidupan para pendahulu mereka.

Banyak yang mondok di pesantren. Tentu mereka tengah berjuang menghafalkan Al-Quran. Namun, tak sedikit akhirnya lupa hafalan karena putus di tengah jalan.

Keluarga besarku belum ada yang punya jejak hafal Al-Quran. Tidak ada pula yang dibiasakan nyantri dengan misi ini. Kami terbiasa berpisah dari orang tua ketika hendak melanjutkan sekolah, untuk sebuah cita-cita profesi dunia. Aku ada di antaranya.

Waktu bergulir. Animo pendidikan berbasis agama semakin diminati. Aku pun tertarik mempelajari buku-buku tentang pendidikan, bahkan pendidikan dalam Islam mulai dari tujuan, asas, target, hingga teknis kurikulum yang mengacu pada target pembentukan Sakhsiyah Islamiyah (Kepribadian Islam).

Membayangkan munculnya kembali generasi dengan kepribadian Islam tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membentuk generasi faqih fiddin, menguasai agama dan mengemban Al-Quran dengan menghafalkan, memahami,  mengamalkan dan mengajarkan kembali membutuhkan persiapan sejak awal.

Alhamdulillah, aku sudah memiliki gambaran menuju pernikahan, berumah tangga lalu punya anak dan mempersiapkan generasi qurani. Ini didukung dengan aktifitas yang kugeluti, yaitu melakukan kajian keislaman dan menghadiri berbagai kegiatan seminar sebagai penguatan.

Kini, Allah karuniakan dua anak laki-laki  yang usianya hanya bertaut dua tahun untukku. Mereka bermain bersama, ikut berbagai kegiatan yang kulakukan. Saat menuntun mereka belajar doa dan hafalan singkat, kami selingi dengan pembentukan keakuan diri bahwa mereka akan menjadi penghafal Al-Quran.

Di usia dini, putra pertamaku berkesempatan sekolah Taman Kanak-Kanak di sekolah tahfiz. Walau jauh dari rumah, setiap hari kami antar dan jemput dengan kendaraan roda dua. Inilah titik awal yang menunjukkan bahwa aku sangat berharap, kelak akan mempunyai anak seorang penghafal Al-Quran.

Mengikuti acara-acara diklat tentang pendidikan dan program sekolah berbasis akidah Islam, membuatku terobsesi dan membulatkan tekad untuk menekuninya. Di samping itu, aku juga tetap melakukan aktivitas dakwah yang tak boleh dikalahkan.

Memasuki Sekolah Dasar, anak pertamaku bersama teman-teman seusianya mulai mempraktikkan miniatur proses pendidikan ala Islam. Dengan memberanikan diri, aku merintis sebuah sekolah dengan tahfiz sebagai salah satu pelajaran unggulannya, tentu dengan dukungan banyak pihak. Aku mengajak teman-teman yang satu visi dalam pendidikan anak, termasuk rintisan PAUD yang dikelola seorang teman. Anak keduaku ikut bergabung dengan komunitas ini. Mulailah mereka menghafal surat-surat pendek.

Memang tidak mudah. Rintangan tetap ada saat mengelola sebuah konsep baru (karena belum terbiasa). Alhamdulillah, berkat kesabaran para guru yang memiliki satu visi untuk pendidikan generasi, anak-anak mulai menampakan hasil baik dari segi cara berpikir ataupun kebiasaan menghafal Al-Quran.

Lulus hafalan juz 30 menjadi kebahagiaan tersendiri. Kedua anak laki-lakiku ini saling berlomba dalam hafalan dan wisuda tahfiz hingga surat al-Baqarah di kelas dua SD. Sejak itu, aku optimis, kelak mereka akan berhasil hafal hingga 30 juz.

Lima tahun perjalanan mengelola sekolah tahfidz, tidaklah mudah. Kami merasa ringan karena dibantu oleh para guru yang bikhlas dan sabar dalam mendidik anak-anak penghafal Al-Quran. Kesiapan guru-guru untuk menjadi satu tim denganku, menjadi penentu.

Seiring berjalannya waktu, aku selalu membisiki anak-anak agar selepas Sekolah Dasar, mereka terus menjadi penghafal Al-Quran dan melanjutkan ke pesantren.

Mereka berlatih mandiri, mulai dari menyiapkan barang-barang sendiri, berbagai pekerjaan sederhana, mencuci piring bekas makan, bahkan memasak nasi jika habis. Mereka terbiasa melakukan sendiri hingga bisa mencuci baju dan sepatu.

Tak sampai lulus SD, yaitu kelas lima, anak pertamaku mulai menghirup udara segar pesantren. Dipaksa? Tentu tidak. Ini murni semangat dari dia sendiri karena ingin menjadi penghafal Al-Quran. Tahun berikutnya, disusul adiknya.

Kurelakan mereka berdua jauh dari keluarga demi mendekap ayat-ayat suci kalam illahi, bersama Al-Quran setiap hari agar mimpi bisa terealisasi.

Indah jika dibayangkan. Namun, apakah semua berjalan lancar semulus berselancar? Tentu tidak. Kehidupan baru di era perjuangan, pasti diiringi dengan paket pengorbanan, suka duka sambung menyambung.

Beberapa bulan pertama masih suasana bahagia sambil mengenal lingkungan dan teman bermain di asrama. Berikutnya, mulai babak tantangan.

Satu persatu masalah muncul, mulai dari sikap teman yang tidak disuka, barang-barang hilang, dipinjam sampai masalah lainnya. Ada saja masalah yang terjadi. Pastinya, kita akan galau kalau mengikuti perasaan. Namun, mengingat keinginan, cita-cita, dan asa tak henti, aku hanya bisa terus berdoa dan memberi motivasi.

Terus menerus tanpa bosan, kujelaskan perubahan kondisi di tempat yang baru. Masalah sikap teman yang tak disuka, tandanya mereka sedang belajar untuk mengenal lingkungan dan saling menghargai. Jika ada yang salah, wajib untuk mengingatkan. Menarik diri bukan solusi.

Mereka sedang belajar berdakwah untuk sampaikan kebaikan. Masalah barang hilang, artinya sedang belajar tentang arti kejujuran dan tidak menggunakan milik orang lain tanpa izin. Namun, jika benar-benar hilang, maka inilah cara agar kita belajar tak ada yang kekal di dunia ini. Ikhlaskan, semoga Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Aku meyakinkan anak-anak bahwa inilah tempat terbaik bagi mereka, yang kelak akan banyak manfaatnya.

Terkadang, ada berita gembira dengan bertambahnya hafalan. Tak jarang juga, ada cucuran air mata, terutama di saat pulang ke rumah. Pernah beberapa kali mereka enggan untuk kembali. Kondisi ini hampir sering dialami oleh putra sulungku. Ia agak perfect menuntut orang lain seperti dirinya.

Aku pun mengarahkan, di mana pun kita berada, akan mengalami berbagai kondisi. Itulah namanya sosialisasi. Lain dengan sang adik. Ia tidak terlalu banyak rengekan karena cenderung ikut bagaimana sang kakak.

Kalau sudah enggan untuk kembali, aku harus berfikir untuk mencari kalimat yang bisa meyakinkan. Tidak ada kata berhenti di tengah jalan, apalagi bingung di persimpangan.

Tujuanku sudah jelas, ingin mempunyai anak penghafal Al-Quran. Berkali-kali, kucamkanpada anak-anak, bahwa mereka sangat beruntung, banyak kemudahan hingga bisa bersekolah di pesantren yang bukan sembarangan.Tidak banyak yang  bisa bergabung di sana. Bukan karena kita mampu secara dana, tetapi Allah telah memudahkan setiap langkah. Maka, bersyukurlah dengan terus belajar dari kejadian apa pun.

Percayalah … percayalah … inilah yang terbaik. Itulah yang selalu kutanamkan. Catatan pemikiran selalu menjadi targetku buat anak-anak agar mereka tumbuh dengan kesempurnaan berfikir, bukan semata karena maunya orang tua.

Seiring berjalannya waktu, masing-masing lima tahun pertama di asrama, tak ada lagi rengekan untuk keluar dari lingkungan pesantren saat masih separuh perjalanan dan hafalan.

Tingkat Menengah Atas, mereka minta dengan suasana pondok yang baru. Dengan pertolongan Allah, Alhamdulillah mereka bisa lanjut ke pesantren Islamik Boarding School di Bogor. Ini adalah pilihan terbaik plus kemudahan dari Allah. Inilah suasana penyambung asa, menambah kedekatan dengan Al-Quran.

Perlahan tapi pasti, dengan iringan doa serta motivasi, kusampaikan pada anak-anak, bahwa uminya mendoakan maksimal tamat SMA sudah hatam 30 juz. 

Alhamdulillah, putra pertama, sebelum kelulusan di semester terakhir, berhasil mempersembahkan impian tersebut. Ini adalah kabar gembira bahwa ananda telah mempersembahkan sebuah mahkota buat diri ini. Air mata duka di tahun-tahun pertama berganti menjadi air mata bahagia. Seingatku, tepatnya peristiwa syahdu itu terjadi pada tanggal 23 November 2019.

Estafet berikutnya, putra kedua. Ia telah menunggu di gerbang lanjutan atas, berbekal separuh hafalan di usia dini, setelah sebelas tahun memulai.

Akhirnya ananda bisa mengikuti jejak kakaknya bersekolah di tempat yang sama, dengan harapan, suatu saat sampai pada penghujung hafalan.

Ketekunannya bertakdir lain. Saat itu ia masih di tingkat 2 SMA, maju selangkah. Dalam waktu delapan bulan, ananda berhasil menyelesaikan hafalan dari 16 juz hingga hatam 30 juz.

Tepatnya hari ini, 18 Maret 2021, aku dan suami kembali mendapat mahkota dari putra tercinta. Kebahagiaan ini semoga membawa berkah bagi orang-orang terdekat, bisa menjadi suport bagi mereka, keluarga, sahabat, dan kerabat.

Lengkapnya dua mahkota bukan semata buat ayah bunda. Namun, inilah persembahan buat umat, bahwasanya akan hidup para penghafal Al-Quran di tengah umat nabi yang mulia ini kelak.

Tentu ada rasa bangga. Terbayarlah sudah perjuangan panjang ini. Namun, kembali ke niat awal. Sebagai orang tua, aku sangat berharap, kelak mereka sangat berguna bagi agama dan umat. Di saat agama ini kembali jaya, akan diisi oleh generasi qurani seperti sedia kala.

Terima kasih para putra tercinta. Kalian bisa seperti itu bukan karena kami semata. Namun, banyak orang berjasa bersama kalian para guru, pembina, ulama, asatiz yang selalu setia membersamai. Kami hanya bisa mengiringi dengan doa.

Yaa Allah, terima kasih atas hadiah berharga ini. Aku teringat apa yang telah disebutkan dari Buraidah radhiyallahu'anhu, Nabi Sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Siapa yang menghafal alQuran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, "Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?" lalu disampaikan kepadanya, "disebabkan anakmu telah mengamalkan Al-Quran." (HR.Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).

Buat anak-anakku, teruslah berjuang, hingga kami, ayah  dan bunda bisa kembali mempersiapkan dua anak berikutnya turut mendekap Al-Quran.

Semoga kebaikan dalam kisah ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang bercita-cita mendapat mahkota dari putra-putri tercinta[]


photo : pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
(Bukan) Salah Nikah Muda
Next
Gencatan Senjata, Menarik Simpati Namun Bukanlah Solusi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram