"Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil." (HR. Tirmidzi)
Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-Seorang perempuan asal Lampung terisak dari balik masker yang menutup hidung dan mulutnya. Sementara matanya basah dan memerah. Ia memohon agar aparat kepolisian yang mencegatnya dan memintanya untuk putar balik mengasihaninya dan mengizinkannya melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman. Sang perempuan mengaku bahwa dirinya sudah kehabisan uang di Jakarta karena terkena PHK akibat pandemi. Akhirnya polisi pun mengizinkannya melanjutkan perjalanan ke kampung halaman.
Tak hanya perempuan itu saja yang nekat menerobos kebijakan larangan mudik dari pemerintah, masih banyak rakyat lainnya di negeri ini yang melakukan hal serupa. Memang tiap menjelang Hari Raya Idulfitri, mudik seolah menjadi budaya di negeri ini. Tak bisa dihilangkan begitu saja. Karena momen hari raya biasanya dijadikan momen berkumpul dengan seluruh sanak saudara serta kerabat, sekaligus momen melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu, khususnya bagi kaum perantau.
Namun, sejatinya momen mudik di era pandemi ini tak lagi sebatas budaya, melainkan sebuah pilihan mendesak bagi para perantau. Betapa tidak, mereka tak lagi memiliki pekerjaan di tempat rantauan akibat gelombang PHK besar-besaran. Maka, jalan satu-satunya hanyalah mudik, daripada tak mampu menyambung hidup di tempat rantau.
Sebagaimana yang terjadi pada sepasang suami istri yang nekat mudik dari Gombong, Jawa Timur ke Soreang, Bandung dengan berjalan kaki dan hanya bermodalkan uang Rp120.000,- . Mereka pun mengajak serta kedua anaknya. Hal tersebut mereka lakukan karena tidak lagi memiliki pekerjaan di Jawa Timur akibat PHK.
Sesungguhnya, jika kita menilik lebih dalam terkait kebijakan pemerintah soal larangan mudik, terdapat hal kritis yang layak kita soroti, yakni soal inkonsistensi. Betapa tidak, di tengah masifnya upaya pemerintah melarang rakyatnya mudik Lebaran dalam rangka memutus rantai penularan Covid-19, Warga negara Cina justru masuk ke negeri ini dengan begitu leluasa.
Sebagaimana diberitakan oleh Detiknews.com (09/05/2021) bahwa pada 5 Mei 2021 sebanyak 85 WN Cina tiba di Bandara Soekarno-Hatta dalam rangka bekerja di Indonesia. Parahnya, setelah diperiksa, dua di antara mereka positif Covid-19.
Kemudian, pada tanggal 8 Mei 2021, WN Cina kembali datang sebanyak 160 orang. Menurut Kabag Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, Arya Pradhana Anggakara, kedatangan mereka sudah memenuhi syarat keimigrasian, yakni sesuai dengan Peraturan Menkumham Nomor 26 Tahun 2020 yaitu untuk kegiatan bekerja, bukan untuk kunjungan wisata.
Inkonsistensi Buah Kapitalisasi
Amat nyata sebuah inkonsistensi kebijakan dipertontonkan penguasa hari ini. Jika memang penguasa serius ingin berupaya memutus penularan Covid 19 di negeri ini, seharusnya pemerintah tak mengizinkan para WNA tersebut masuk ke negeri ini dengan alasan apapun. Sebagaimana halnya pemerintah begitu tegas melarang mudik.
Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Pemberian izin pemerintah terhadap masuknya para WNA tersebut justru menimbulkan tanya, "Benarkah pemerintah serius mengatasi pandemi atau sekadar gimik semata?"
Adanya izin pemerintah atas kedatangan WNA asal Cina dalam rangka bekerja menunjukkan bahwa pemerintah lebih memihak kepada para pemilik modal. Memang sudah sejak awal pemerintah fokus pada perbaikan ekonomi negara di masa pandemi ini, sampai-sampai memaksakan new normal di saat kondisi masih abnormal. Dan kini, mengizinkan dibukanya tempat-tempat wisata, mengimbau rakyat untuk berbelanja baju lebaran yang berujung pada membludaknya pembeli di Pasar Tanah Abang, hingga mengizinkan WNA asal Cina masuk ke negeri ini. Sementara di sisi yang lain, pemerintah sibuk mengerahkan aparat demi menghadang gelombang mudik. Sungguh sangat disayangka, jika perbaikan ekonomi negara justru dengan cara menumbalkan kesehatan rakyatnya sendiri, serta menampakkan inkonsistensi kebijakan yang amat nyata.
Padahal sudah menjadi tugas negara untuk mengurusi urusan rakyatnya agar berada dalam keamanan, kesejahteraan, dan kehidupan yang layak. Bukan malah menjebloskan rakyat ke dalam kubangan kebijakan yang abu-abu dan membingungkan.
Sungguh telah nyata bahwa inkonsistensi yang diperlihatkan pemerintah merupakan buah dari adanya kapitalisasi. Negara hari ini tak lagi menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat, melainkan sebagai pelayan para kapitalis. Negara mengeluarkan kebijakan berdasarkan hitung-hitungan untung rugi, bukan berdasarkan kemaslahatan rakyat. Begitulah karakter sistem kapitalisme sekuler, berpijak di atas keuntungan materi.
Sistem Islam Konsisten Meri'ayah
Ketiadaan sistem Islam menjadikan rakyat terlunta-lunta tak berdaya. Mereka terkungkung dalam aneka kebijakan yang sarat ketidakadilan. Betapa tidak, penguasa tidak menjadikan Islam sebagai standar dalam melahirkan berbagai kebijakan. Pun spirit memimpin para penguasa tak lagi ketakwaan kepada Allah Swt, melainkan sebatas ambisi demi memperkaya diri. Akibatnya, tak peduli rakyat menderita dalam kebijakan yang tumpang tindih, yang terpenting kepentingan para tuan kapitalis mulus sesuai harapan.
Sungguh bertolak belakang dengan sistem Islam ketika diterapkan dalam sebuah institusi. Sistem Islam menjamin penerapan kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan rakyat. Sebab, paradigma memimpin dalam sistem Islam adalah mengurusi urusan umat. Maka, para penguasa dalam sistem Islam akan senantiasa mengedepankan kemaslahatan umat ketimbang kepentingan pribadi atau kelompok.
Adanya kesadaran dalam diri penguasa bahwa kelak apa jabatan yang diembannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah juga menjadi faktor konsistensi sistem Islam dalam menyejahterakan rakyatnya. Sistem Islam akan berlaku adil dalam setiap kebijakannya sebab merujuk pada aturan yang bersumber dari wahyu Sang Maha Pencipta.
Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil." (HR. Tirmidzi)
Oleh karena itu, menjadi sebuah kebutuhan mendesak keberadaan sistem Islam di tengah-tengah umat. Dengan sistem Islam, syariat Islam diterapkan secara sempurna, sehingga menghadirkan rahmat bagi semesta alam. Karena sistem Islam terbukti ampuh menyelesaikan berbagai persoalan tanpa melahirkan persoalan baru. Selain itu, dengan penerapan sistem Islam itu pulalah akan terwujud baldatun toyyibatun wa robbun ghofuur. Insya Allah[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]