Jika debu berlian dijadikan solusi, penambangan berlian harus ditingkatkan. Proses ini menambah persoalan lingkungan dan menimbulkan efek gas rumah kaca.
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perubahan iklim merupakan ancaman global yang sangat menakutkan. Suhu menjadi sangat panas, kekeringan kian meluas. Diperkirakan cuaca akan terus meningkat tajam dan berpotensi menambah 55.000 kematian setiap tahunnya hingga 2100.
Aerosol Berlian
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi krisis iklim, bahkan forum-forum tingkat global sudah banyak diselenggarakan dengan melibatkan para ilmuwan. Terbaru, para ilmuwan menawarkan solusi menggunakan berlian sebagai alternatif untuk mengatasi krisis iklim.
Jamak diketahui bahwa berlian salah satu jenis perhiasan kaum perempuan. Diwartakan kompas.com (25/10/2024), tim peneliti dari berbagai disiplin ilmu seperti klimatologi, meteorologi, dan ilmu bumi, meyakini berlian dapat mendinginkan bumi.
Bagaimana Caranya?
Debu berlian ditebarkan di atmosfer, berfungsi sebagai aerosol, yaitu partikel kecil yang melayang-layang di udara dan dapat memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa. Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters, menunjukkan sekitar lima juta ton debu berlian disebar ke atmosfer setiap tahun dapat menurunkan suhu bumi hingga 1,6 derajat celcius. Penelitian dilakukan dengan membandingkan berbagai jenis aerosol menggunakan model iklim 3D.
Selain dapat memantulkan cahaya dan panas paling banyak, partikel berlian tidak mudah menggumpal dan bisa berada dalam waktu cukup lama di udara. Akan tetapi, prosesnya memerlukan waktu setidaknya 45 tahun. Artinya, dibutuhkan 225 juta ton debu berlian untuk ditebarkan di atmosfer.
Solusi Kontradiktif Atasi Krisis Iklim
Tidak ada yang keliru dari upaya para ilmuwan dalam menyelamatkan bumi ini karena memang sudah sangat mendesak. Akan tetapi, ketika permasalahan tidak dipahami dengan benar, alih-alih menjadi solusi, malah menambah persoalan baru.
Meskipun kerusakan alam akibat penambangan berlian lebih sedikit dibandingkan penambangan lainnya, tetap ada risiko yang harus diperhatikan. Berlian diperoleh dengan cara penambangan lubang terbuka, penambangan bawah tanah, atau penambangan di laut. Masing-masing mengandung risiko terhadap kerusakan lingkungan.
Pada September 2022, sebuah bendungan di tempat tambang berlian di Afrika Selatan runtuh. Banjir limbahan meninggalkan jejak lumpur kering yang mencemari pinggiran kota dan pedesaan di sekitarnya termasuk sumber air. Lumpur tersebut mengandung sejumlah kecil logam seperti tembaga, serta senyawa lain seperti asam sulfat dan bahkan sianida. Semuanya berdampak serius bagi tubuh manusia dan lingkungan.
Jika debu berlian dijadikan solusi, penambangan berlian harus ditingkatkan. Proses ini menambah persoalan lingkungan dan menimbulkan efek gas rumah kaca. Untuk itulah, diperlukan pembacaan yang menyeluruh, tidak sepotong-potong untuk memperoleh gambaran utuh sehingga tidak memunculkan solusi yang kontradiktif.
Perdebatan Tiada Akhir
Sudah banyak forum yang membicarakan jalan keluar bagi krisis iklim seperti yang digagas PBB dengan menyelenggarakan Conference of The Parties (COP). Terakhir digelar di Dubai dan merupakan COP yang ke-28. Sayangnya, terobosan atau komitmen apa pun yang dihasilkan, kerap tak terwujud di lapangan sebagaimana forum lainnya.
Penyebabnya karena akar masalahnya tidak disentuh. Industrialisasi yang mengeksploitasi sumber daya alam merupakan penghasil karbon yang menimbulkan efek rumah kaca. Adanya gas-gas dalam atmosfer seperti karbon dioksida (CO2) menahan sebagian panas yang seharusnya dipantulkan permukaan bumi akibatnya bumi makin memanas.
Menghentikan industrialisasi mustahil karena dalam sistem kapitalis, industrialisasi merupakan lokomotif penggerak ekonomi. Industri terus digenjot dan berimbas pada pembakaran energi fosil di luar batas. Agar produk-produk industri diserap pasar, manusia didorong bergaya hidup konsumtif. Belanja menjadi candu, tanpa melihat apakah dibutuhkan atau tidak. Industri tidak peduli, yang penting produk laku dan untung, negara pun ikut menikmati.
Parahnya, teori industrialisasi diadopsi banyak negara. Bertolak dari sini, dibukalah kesempatan berinvestasi. Industrialisasi berjalan beriringan dengan investasi, diyakini dapat membuka lapangan pekerjaan dan mendorong angka pertumbuhan. Di Indonesia contohnya melalui pembangunan berbagai infrastruktur, proyek strategis nasional, food estate, pembangunan industri di Batam dan Papua.
Industrialisasi dan investasi mendorong penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terkendali. Belum lagi dampak lainnya seperti makin hilangnya ruang hidup akibat deforestasi sehingga paru-paru dunia terus berkurang. Habitat flora dan fauna yang menjaga keseimbangan alam menjadi rusak.
Di sinilah kita memahami mengapa persoalan iklim menjadi diskusi yang tidak ada habis-habisnya. Forum-forum semacam COP hanya sekadar basa-basi, demi kepentingan pencitraan. Seolah-olah para pemimpin negara peduli, padahal kelompok oligarki sebagai pemilik modal pemegang kendali.
Sebagai contoh, Cina dan Amerika Serikat yang bertengger pada posisi puncak sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar tetap enggan dalam upaya reduksi emisi. Ini dikarenakan ada saling tarik menarik kepentingan ekonomi dan politik, terjadi tawar menawar dalam mengambil langkah penyelesaian yang berujung pada berlarut-larutnya persoalan.
Meskipun PBB menyerukan agar semua negara bersatu melakukan lompatan besar dalam mengatasi perubahan iklim, medan pertarungan tetap dimenangkan pemilik modal karena merekalah driver dalam sistem kapitalisme yang tidak bisa disentuh. Para ilmuwan pun mati gaya mencari solusi.
Solusi Islam
Bumi adalah satu-satunya tempat yang bisa ditempati oleh seluruh mahluk hidup. Oleh karenanya, upaya penanganan krisis iklim harus segera dilakukan. Akan tetapi, jika bertahan dengan sistem kapitalisme, manusia terus berada dalam lingkaran setan.
Sebagai agama sempurna, Islam sudah memiliki solusi salah satunya dengan pengendalian dalam pemanfaatan sumber-sumber energi terutama energi fosil. Dalam sistem Islam, sumber energi fosil sangat dibutuhkan, tetapi karena jumlahnya terbatas dan bisa habis, negara harus betul-betul tepat dalam pemanfaatannya.
Energi merupakan hak milik umum, sehingga tidak boleh diprivatisasi. Pengelolaannya diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan bahan baku. Termasuk dalam rangka menjamin kebutuhan rakyat akan energi dan menjadikannya sebagai kekuatan negara.
Islam tidak anti terhadap industri, bahkan negara harus menjadi negara industri. Hal yang membedakan dengan sistem kapitalis, industrinya bertumpu pada hal konsumtif, sedangkan pengembangan industri dalam sistem Islam ditujukan untuk kepentingan dakwah dan jihad seperti industri persenjataan dan logistik.
Dengan adanya politik industri semacam ini, pemanfaatan sumber daya alam sebagai sumber energi terkendali dan dimanfaatkan untuk industri yang strategis. Ini bisa dilakukan karena tidak ada intervensi swasta terlebih asing, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab penuh terhadap sumber energi dan pemanfaatannya demi kemaslahatan umat.
Rasulullah saw. bersabda ,“Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad, Malik, dan Ibnu Majah). Pesan ini adalah menjadi peringatan kepada penguasa agar tidak membuat kebijakan yang membahayakan masyarakat banyak. Islam melarang menggenjot industrialisasi sampai merusak alam dan mengancam kelangsungan mahluk hidup.
Khatimah
Ancaman krisis iklim tidak bisa diselesaikan dengan solusi tambal sulam seperti dengan metode berlian. Kita memerlukan solusi jitu untuk menjaga alam dan memulihkannya pasca dieksploitasi sampai melebihi batas keseimbangannya. Jawabannya adalah ganti tatanan kapitalisme global dengan sistem Islam untuk mengakhiri berbagai kesengsaraan dan kerusakan.
Wallahu a'lam bish-shawaab. []