Papua Barat adalah korban dari penerapan sistem kapitalisme, sangatlah tidak mungkin membantunya bangkit dari masalah dengan teknik penyelesaian yang didasari sistem kapitalisme.
Oleh. Ummi Fatih
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ketika keadilan semakin sulit ditemui di dunia ini, masyarakat pun semakin keras meneriakkan opini dan protesnya untuk menuntut keadilan yang tegas dan kuat. Dalam berbagai lembaga hukum dunia, teriakan keadilan itu diolah oleh para pakar hukum demi masyarakat yang terjerat kejahatan. Di antaranya ada Russell Tribunal on Vietnam (1966-1967) dan Russell Tribunal on the dictatorship in Latin America (1973-1976) yang baru saja kembali menggelar agenda acara PPT (Permanent People's Tribunal).
Kali ini, acara PPT yang berlangsung di Pusat Kajian Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London, sejak Kamis.(27-6-2024) hingga Sabtu (29-6-2024), mengusung tema seputar aksi dukungannya bagi penduduk Papua Barat yang rajin meneriakkan tuntutan keadilan bagi wilayah tempat tinggal mereka.
Maka, dalam acara ini pun pemerintah Republik Indonesia selaku pusat pemerintahan Papua Barat mendapatkan 2 dakwaan, yakni kekerasan dan perusakan lingkungan yang merugikan masyarakat setempat demi kepentingan investasi asing dan nasional. (Papuadaily.com, 1-7-2024)
Namun demikian, benarkah acara bertajuk pengadilan hukum atau PPT ini dapat menjadi awal yang baik untuk membuka pintu keadilan di Papua Barat? Bahkan selama ini memang dikenal sebagai wilayah terbelakang dalam Republik Indonesia yang masyarakatnya menderita. Apakah memerlukan perlindungan kuat dan tegas bagi mereka?
Papua Barat Adalah Korban Kapitalisme
Papua Barat memang daerah subur dengan banyak simpanan sumber daya alam yang seharusnya bermanfaat untuk menyejahterakan penduduk Indonesia, terutama masyarakat asli penghuni Papua Barat sendiri.
Namun, ketika Republik Indonesia sebagai induk negeri yang mengendalikan Papua Barat menganut sistem kapitalisme, maka metode perekonomian Republik Indonesia pun membuatnya menyerahkan banyak lahan penyimpanan sumber daya alam di Papua Barat kepada para pengusaha kapitalis.
Berbagai surat perjanjian ekonomi dibuat dengan alasan bahwa hal itu akan mendatangkan dana-dana investasi bisnis yang berguna sebagai biaya pemasukan kas negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Padahal, dengan perjanjian bisnis yang berupa penyewaan lahan ataupun penjualan lahan itu diserahkan pada para pengusaha, masyarakat justru menjadi kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alam yang ada di wilayahnya, sehingga impian kesejahteraan bagi rakyat pun tidak dapat terwujud secara nyata.
Selain itu, akibat sistem kapitalisme yang berasas ideologi sekuler, pasukan militer Republik Indonesia juga menjadi kurang manusiawi. Dalam penyelesaian masalah menghadapi tentara Organisasi Papua Merdeka misalnya, pemerintah Republik Indonesia sudah mengakui dan menyesalkan adanya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa. Bahkan, menurut para saksi warga sipil dalam peristiwa Biak Berdarah yang ada dalam acara PPT ini juga menunjukkan tindak kekerasan TNI Polri. Mereka mengatakan bahwa TNI membakar lilin yang dimasukkan ke dalam vagina para demonstran pendukung gerakan Papua merdeka saat proses penangkapan dilakukan. (BBC.com, 29-06-2024)
PPT Adalah Organisasi Kapitalisme
Saat sudah jelas bahwa Papua Barat adalah korban dari penerapan sistem kapitalisme, sangatlah tidak mungkin membantunya untuk bangkit dari masalah tersebut dengan teknik penyelesaian yang masih didasari sistem yang sama. Adapun PPT juga merupakan acara yang dibentuk oleh para pakar hukum internasional berlandaskan ide kapitalisme, sehingga, tidak ada ketegasan hukum yang pasti dalam acara ini.
Karenanya, meski surat dakwaan sudah berani para pakar hukum kapitalis itu ajukan kepada pemerintah Republik Indonesia, acara ini bukanlah suatu peradilan formal yang dapat mengeluarkan putusan hukum resmi bagi para pelanggar hukum di seluruh dunia.
https://narasipost.com/opini/06/2024/berdiri-di-atas-emas-berjalan-tanpa-alas/
Bahkan, menurut David Whyte, Direktur Pusat Kajian Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London, Inggris, PPT memang bukan pengadilan dan tidak akan menawarkan upaya hukum apa pun kepada masyarakat Papua Barat. Namun, hanya lebih sebagai media kepedulian bagi masyarakat Papua mengenai kekerasan brutal yang mereka derita.
Parahnya lagi, tujuan dari Queen Mary University of London menjadi tuan rumah diselenggarakannya acara PPT ini, ternyata sudah diakui oleh David Whyte bahwa tidaklah sepenuhnya murni demi penduduk Papua Barat. Sebab dalam suatu kutipan berita BBC.com yang mewawancarai David Whyte, dikatakan bahwa alasan pertama dari dua alasan utama membicarakan Papua hanyalah karena ada banyaknya perusahaan Inggris yang berinvestasi di Papua Barat. (BBC.com, 29-06-2024)
Hanya Khilafah yang Bisa Membuat Papua Selamat
Suatu negara bijaksana yang dapat memakmurkan rakyatnya, hanyalah Khilafah. Karena Khilafah menganut syariat Islam yang merupakan suatu ideologi sempurna dari Sang Maha Pencipta alam semesta, yakni Allah Swt.
Dalam syariat Islam, negara dalam bentuk Khilafah itu adalah pelayan bagi rakyatnya, sehingga pengelolaan lahan umum kenegaraan, baik yang berupa pertambangan, perhutanan, dan lain sebagainya haram untuk disewakan atau dijual pada seorang individu. Negara haruslah mengelolanya sendiri dengan para karyawan pekerja yang dipanggilnya dari kalangan penduduk dalam negeri.
Walhasil, lapangan kerja akan terus terbuka dan masyarakat pun tidak kehilangan hak untuk menikmati sumber daya alam yang ada di atas negaranya. Semua hasil pengelolaan sumber daya alam itu dapat dimasukkan dalam kas negara secara utuh untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, tanpa terpotong individu pengusaha yang menguasainya.
Sementara, andai kata aturan sempurna dalam syariat Islam itu tidak dijalankan oleh pemerintah negera, maka Islam juga memiliki suatu institusi hukum tegas dan adil yang disebut qadhi mazhalim.
Dalam institusi qadhi mazhalim yang terdiri dari para pria balig muslim saleh, yang merdeka, berakal dan mampu berijtihad sesuai petunjuk syar'i. Maka, tidak hanya sekadar agenda kritik opini yang berhak mereka hadirkan bagi para pejabat dan pemimpin negara yang berbuat zalim bagi para rakyatnya. Namun, mereka lebih berhak menggelar sidang formal yang berisi ikatan hukum adil dan kuat untuk menghentikan kejahatan yang terjadi, termasuk menghentikan pemimpin negara dari kursi jabatannya, sehingga rakyat pun akan merasa puas, tanpa tekanan lagi.
Kemudian, Islam pun juga memiliki teknik pembentukan karakter manusia yang cerdas, kuat dan bertakwa. Dalam mendidik pasukan tentara militer pun tidak hanya sekadar mengutamakan kekuatan fisik dan kecerdasannya. Namun, juga tidak lupa untuk selalu menguatkan keimanan pasukan, agar mereka menjadi sosok yang manusiawi dan penuh dengan kasih sayang.
Sebagaimana Salahuddin Al Ayyubi, seorang sultan pendiri Dinasti Ayyubiyah yang juga dikenal sebagai panglima perang pembebas kota Yerusalem, Palestina. Dalam catatan sejarah dunia, hasil pembentukan kehidupan islami membuat biografinya tidak hanya dikenal berkarakter cerdas dan bijaksana. Namun, dia juga baik hati, bukan pendendam pada para musuhnya.
Salahuddin pun dikenal ketika berhasil membebaskan kota suci di Palestina dari penjajahan pasukan salib yang seabad sebelumnya telah membunuh para muslim di sana, dia tidaklah membalas kejahatan atas pembunuhan tersebut. Namun, justru lebih berusaha mewujudkan perdamaian hidup dengan para kaum nonmuslim di atas tanah Palestina.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa teriakan masalah dalam Papua Barat pasti akan terselesaikan hanya apabila negara menganut dan menjalankan sistem Khilafah yang akan menjalankan semua petunjuk syar'i sempurna. Berkah kemakmuran diturunkan oleh Sang Maha Pencipta alam semesta dan keadilan dapat pula ditegakkan dengan hukum murni dari Sang Maha Adil dan Maha Kuasa atas segalanya.
Wallahu a'lam bishawab.[]