Polemik Kuota Haji dan Kapitalisasi

Polemik

Polemik penyelenggaraan haji dalam sistem kapitalisme lumrah terjadi, bahkan rentan dikapitalisasi dikarenakan masalah dana yang cukup banyak yang disetorkan oleh para jemaah ke pemerintah maupun ke pihak travel.

Oleh. Sulastri Abduh
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pada tahun 2023 lalu sebelum pelaksanaan ibadah haji tahun 2024 dilaksanakan, kabar baik datang untuk para calon jemaah haji di tanah air. Otoritas Arab Saudi melalui sistem E-Hajj menambah kuota haji di Indonesia untuk tahun 2024 sebanyak 20.000 kuota. Yang tadinya hanya 221.000 kuota kini menjadi 241.000 kuota.

Tentu kabar ini disambut gembira dan menjadi harapan besar bagi para calon jemaah yang telah sekian lama menantikan panggilan untuk berhaji ke Baitullah. Apalagi mengingat para calon jemaah haji ini memang banyak yang telah berusia lanjut dengan masa antrean yang harus menunggu hingga belasan tahun lamanya.

Selanjutnya, dalam rapat Panitia Kerja (PANJA) Haji terkait penetapan Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) pada tanggal 27 November 2023 lalu, pun telah disepakati antara pemerintah dan DPR bahwa kuota haji Indonesia tahun 1445 H/2023 M sebanyak 241.000 orang jemaah dengan rincian kuota yakni Haji Reguler sebanyak 221.720 orang dan jemaah haji khusus atau yang lebih sering disebut Ongkos Naik Haji khusus (ONH Plus) sebanyak 19.280 orang.

Polemik muncul manakala pada Rapat Dengar Pendapat komisi VIII DPR bersama Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama pada tanggal 20 Mei 2024, tiba-tiba Kementerian Agama telah mengubah secara sepihak alokasi kuota yang sudah disepakati sebelumnya, yakni kuota haji reguler berkurang menjadi 213.320 dan kuota haji khusus (ONH Plus) bertambah menjadi 27.680. Alasannya karena hal tersebut merupakan kebijakan otoritas Arab Saudi.

"Meskipun kebijakan itu disebut atas dasar kebijakan otoritas Arab Saudi melalui sistem E-Hajj, Kementerian Agama seolah tidak mengindahkan hasil rapat PANJA dengan tetap menekan MoU dengan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi pada Januari 2024," kata Wisnu Wijaya, anggota komisi VIII DPR RI yang juga ditunjuk menjadi Tim Pengawas Haji DPR.

Alokasi kuota yang ditetapkan oleh Kementerian Agama juga dianggap melanggar Undang-undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada pasal 64 ayat (2) yang mengatur kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8% dari jatah kuota haji Indonesia. Ini berarti, ada 8.400 kuota hak jemaah Haji Reguler yang dialihkan untuk jemaah haji khusus. Inilah pemicu awal terjadinya polemik kuota haji, hingga rawan dikapitalisasi.

Penyelenggaraan Haji Rawan Kapitalisasi

Perlu dipahami, haji reguler adalah adalah kelompok haji yang diberangkatkan sendiri oleh pihak pemerintah, sementara Haji khusus (ONH Plus) adalah kelompok haji yang diberikan kuota khusus oleh pemerintah kepada jemaah yang ingin berangkat dengan travel tersendiri.

Kelebihan ONH Plus adalah masa tunggu/antrean yang lebih pendek dari haji reguler. Jika haji reguler masa tunggunya mencapai 10-18 tahun, maka ONH Plus hanya sekitaran 5-7 tahun. Fasilitasnya pun lebih baik dari hotel hingga transportasi. Hal ini dikarenakan calon jemaah haji melalui ONH Plus memang membayar lebih mahal hingga sampai dua kali lipat dari biaya Haji Reguler. Travel yang memberangkatkan mereka menyiapkan segala sesuatunya dengan sarana dan fasilitas yang jauh lebih baik.

Keberadaan travel sebagai pihak ketiga inilah yang disinyalir rawan kongkalikong dengan pihak pemerintah. Pihak travel bisa mendapat untung yang lebih banyak jika kuota jemaah haji ONH Plus juga bertambah. Bertambahnya jumlah kuota ONH Plus tentu kembali bergantung pada kebijakan pemerintah. Maka ketika pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama tiba-tiba menambah kuota jemaah ONH Plus di luar dari keputusan rapat yang telah disepakati, tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Apalagi ini menyangkut hak calon jemaah haji reguler.

Polemik Penyelenggaraan Haji

Kisruh polemik penyelenggaraan haji di Indonesia memang seolah tak pernah berhenti. Ini dikarenakan masalah penyelenggaran haji selain membahas pengaturan dan pengontrolan calon jemaah, kita juga sedang membahas dana yang cukup banyak yang disetorkan oleh para jemaah ke pemerintah maupun ke pihak travel.

Biaya penyelenggaran ibadah haji (reguler) yang disepakati pemerintah dan Komisi VIII DPR rerata sebesar Rp93,4 juta dan biaya perjalanan ibadah haji sebesar Rp56,4 juta, dengan setoran awal (pendaftaran) paling sedikit Rp25 juta (haji.kemenag.go.id).

Artinya, dari hitungan sekitar 5,2 juta calon jemaah haji yang telah mendaftar dikalikan dengan jumlah (minimal) setoran awal, paling sedikit dana jemaah yang tersimpan di Bank pemerintah sebanyak Rp1,3 trilyun. Dana yang cukup banyak memang.

https://narasipost.com/opini/02/2023/biaya-haji-melambung-tinggi-haruskah-keberangkatan-ditunda-lagi/

Tidak heran jika dana para calon jemaah haji ini juga sangat menggiurkan untuk dimanfaatkan, termasuk oleh pemerintah sendiri. Dari tahun 2014 sudah muncul wacana untuk memakai dana simpanan ini untuk pembangunan infrastruktur yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan proses penyelenggaraan haji, dengan alasan bahwa keuangan haji masuk dalam ranah keuangan negara.

"Dengan masuknya makna keuangan haji dalam ranah keuangan negara, maka harus ada konsekuensi logis di mana pengelolaan keuangan haji tentu harus disesuaikan dengan mekanisme keuangan negara," kata Lukman Hakim Saifuddin yang menjabat sebagai menteri agama saat itu (Rapat Kerja Menag dengan Komisi VIII DPR RI, Jakarta, Rabu, 02/09/2014).

Dari sini sudah terlihat jelas bagaimana penyelenggaraan haji itu rentan dimanfaatkan dan dananya rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Negara Islam dalam Mengelola Penyelenggaraan Haji

Tak bisa dimungkiri, semakin bertambahnya jumlah kaum muslim di dunia membuat penyelenggaraan haji memang seyogianya harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan polemik. Jemaah yang membludak tak terkendali bisa membahayakan keselamatan para jemaah. Untuk itulah di berbagai negara di tiap masa dibentuk panitia khusus penyelenggaraan haji.

Sebagaimana halnya yang ada di Indonesia hari ini, di masa diterapkannya aturan Islam dalam sebuah institusi bernama Khilafah, panitia penyelenggaraan haji pun tentu saja ada. Rasulullah dan para khalifah dalam masa pemerintahannya selalu mengangkat seorang Amirul Haj (pemimpin penyelenggaraan haji) yang merupakan figur-figur yang kompeten dan bertakwa. Selanjutnya Amirul Haj yang diangkat ini akan memilih pembantu dan orang-orangnya mulai dari urusan persuratan (Basy Katib), keamanan, penanggung jawab rombongan (Hamladar), pembawa bendera, dan genderang, hingga juru masak rombongan. Mereka berangkat bersama-sama layaknya muktamar Islam akbar. Atas dasar inilah dalam negara Khilafah tak dijumpai polemik penyelenggaraan haji.

Bedanya dengan sistem di Indonesia, tidak ada pembagian antara jemaah haji reguler dan haji khusus ONH yang didasarkan pada besaran biaya. Pertimbangan didasarkan pada segi usia dan kesehatan, sebab semua rakyat memiliki hak yang sama, kaya atau tidak, untuk menikmati ibadah yang segala sarana dan fasilitasnya ditanggung negara. Khalifah dalam negara Islam bertanggung jawab atas hak-hak rakyat semacam ini. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang artinya:

“Ibnu Umar ra. berkata, ‘Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan, seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungjawaban) dari hal hal yang dipimpinnya’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Melaksanakan ibadah haji kaum muslim hari ini juga semakin sulit dengan sekat-sekat nasionalisme yang ada. Karena dianggap berbeda negara dan bangsa, maka umat Islam yang tinggal di luar Arab Saudi diwajibkan mengurus surat-surat semacam visa dan paspor yang tentu membutuhkan waktu dan biaya. Wajar kemudian jika kebanyakan saudara kita yang bisa melaksanakan ibadah haji hanyalah mereka yang dilebihkan hartanya oleh Allah Swt.

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sulastri Abduh Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Terorisme Bukan Ajaran Islam
Next
Manusia Rebahan? Say No!
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
4 months ago

Ketika negara tidak mengatur penuh pelaksanaan ibadah haji, sejumlah masalah terus terjadi. Termasuk adanya travel nakal yang tidak menggunakan visa haji seperti yang diminta pemerintah Arab Saudi. Alhasil, sejumlah jemaah haji pun ada yang dipulangkan kembali ke tanah air.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram