Duet Anies-Ahok, Mungkinkah Terwujud?

Duet Anies Ahok, mungkinkah terwujud?

Meski banyak pendapat menyatakan bahwa duet Anies-Ahok sulit terwujud, tetapi mungkin terjadi. Hal itu karena kawan dan lawan dalam sistem demokrasi seperti urat nadi.

Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Adagium ini sangat populer di dunia politik. Namun, apakah hal ini juga berlaku jika dua orang yang pernah menjadi rival dipersatukan?

Pilkada Serentak 2024 akan segera dilaksanakan. Partai-partai politik pun mulai melakukan penyaringan terhadap calon-calon yang akan mereka jagokan sebagai kepala daerah. Salah satu yang menarik adalah adanya wacana untuk memasangkan Anies Baswedan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2024 ini. (tempo.co, 08/05/2024)

Duet Mungkinkah Terwujud?

Saat ditanya tentang kebenaran isu ini, Anies Baswedan pun menjawab bahwa ia belum menentukan langkah politik apa pun. Untuk saat ini, ia sedang berusaha untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan Pemilu 2024 lalu. Anies juga sedang memastikan apakah pilkada yang akan dilaksanakan secara serentak itu berjalan dengan adil. (kompas.com, 08/05/2024)

Wacana tentang duet Anies-Ahok memang tengah santer berkembang di tengah masyarakat. Berbagai analisis tentang hal ini pun banyak dikemukakan oleh para pengamat politik. Ada yang menganalisis dari sisi terwujudnya duet tersebut. Ada pula yang menganalisis peluang pasangan tersebut dalam memenangkan pemilihan kursi orang nomor satu di DKI Jakarta tersebut.

Jamiluddin Ritonga, pengamat politik Universitas Esa Unggul menilai bahwa pasangan Anies-Ahok dapat memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Alasannya, karena kedua mantan gubernur DKI Jakarta itu masih memiliki elektabilitas tinggi. Selain itu, duet kedua tokoh tersebut dapat mengurangi polarisasi masyarakat yang sangat tajam, seperti yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.

Namun, pendapat yang berbeda disampaikan oleh Ujang Komarudin. Pengamat politik yang menjadi Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini mengatakan bahwa duet tokoh tersebut akan sulit terwujud. Menurut Ujang, fakta bahwa Ahok pernah melakukan tindak pidana kasus penghinaan agama tidak dapat dihapus begitu saja. Terlebih, hal itu didasarkan pada keputusan pengadilan yang inkrah, sehingga melekat sebagai masa lalunya.

Selain itu, partai pengusung Anies dan Ahok sulit melakukan koalisi. Demikian pula, basis masyarakat yang mendukung mereka juga berseberangan. Oleh karena itu, Ujang berpendapat bahwa wacana itu hanya gimik karena secara ideologis dan sosiologis tidak dapat direalisasikan.

Terlebih, aturan yang ada juga melarang seorang mantan gubernur menjadi calon wakil gubernur di daerah yang sama. Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2015. (tempo.co, 08/05/2024)

Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Adi Prayitno, pengamat politik dan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia. Kunto Adi Wibowo, pakar Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran pun menyampaikan hal yang sama.

Ada tiga hal yang menyebabkan sulitnya duet Anies-Ahok diwujudkan.

Pertama, Anies dan Ahok adalah mantan gubernur, sehingga sulit jika salah satu mau berada di posisi wakil gubernur. Kedua, perbedaan ideologi partai. Ketiga, perbedaan karakter pendukung keduanya. (katadata.co.id, 08/05/2024)

Kawan dan Lawan dalam Sistem Demokrasi

Meskipun banyak pendapat yang menyatakan bahwa duet Anies-Ahok sulit terwujud, tetapi masih mungkin terjadi. Hal itu karena kawan dan lawan dalam sistem demokrasi memang sangat dekat jaraknya. Mereka yang awalnya tampak berseberangan dan saling menyerang, tiba-tiba saja berangkulan dan bekerja sama. Mereka yang sebelumnya saling mengkritik, bisa berubah menjadi saling memuji.

Hal itu karena dalam sistem demokrasi, halal dan haram bukanlah standar yang harus selalu digunakan. Standar yang baku adalah kepentingan untuk meraih kekuasaan. Tidak ada penganut ideologi yang kaku. Yang ada adalah penganut ideologi yang sangat cair, yang dengan mudah berkolaborasi dengan pengusung ideologi lain.

Dalam sistem demokrasi, isu agama hanya digunakan untuk meraih suara umat Islam. Setelah suara mereka berhasil diraih, umat Islam pun ditinggalkan. Banyak fakta yang menunjukkan hal ini.

Pada Pemilu 2024 yang baru saja berlangsung, kubu 01 yang mencalonkan Anies Baswedan didukung oleh dua partai nasionalis dan satu partai islamis. Sebelumnya, ketiga partai itu tampak sering berseberangan. Karena adanya kepentingan yang sama untuk meraih kekuasaan, mereka pun dapat bekerja sama.

Namun, tampaknya kerja sama itu akan segera berakhir. Setelah mendapatkan keuntungan dengan naiknya suara partai, kedua partai nasionalis itu sudah menunjukkan tanda-tanda akan merapat ke kubu 02. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan kursi kekuasaan.

Politik dalam Islam

Demikianlah seluk-beluk politik dalam sistem demokrasi. Duet mungkin saja terjadi. Kawan bisa menjadi lawan. Namun, dalam sekejap bisa kembali berangkulan. Mereka kembali bersatu karena adanya kepentingan yang sama, yaitu meraih kekuasaan.

Saat mereka telah berangkulan, para pendukung mereka masih terus bermusuhan. Namun, mereka tidak peduli dengan hal itu karena tujuan mereka telah tercapai. Hal itu terjadi karena politik dalam sistem demokrasi hanya bertujuan untuk meraih kekuasaan.

Kekuasaan yang berhasil diraih, bukan untuk menyejahterakan rakyat secara umum. Akan tetapi, kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan segelintir orang yang telah mendukung mereka dalam meraih kekuasaan. Mereka adalah para konglomerat yang telah mendanai para penguasa sejak awal pencalonan.

Ketika mereka telah berhasil menjadi penguasa, saatnya membalas jasa kepada pengusaha yang menjadi penyandang dana. Berbagai proyek serta tender pun diberikan kepada mereka. Dengan demikian, dana yang dikeluarkan pun tidak sia-sia, bahkan dapat menambah pundi-pundi uang mereka.

Hal itu sangat jauh berbeda dari sistem politik Islam. Dalam Islam, politik adalah pemeliharaan urusan umat. Yakni, bagaimana negara mewujudkan kesejahteraan rakyatnya secara keseluruhan. Tidak dibedakan antara orang biasa dengan pengusaha, bahkan antara muslim nonmuslim. Selama mereka menjadi warga negara, mereka berhak mendapatkan hak-hak mereka.

Para penguasa memahami bahwa kekuasaan adalah amanah yang dibebankan di atas pundak mereka. Mereka memahami bahwa Allah Swt. kelak akan meminta pertanggungjawaban atas kekuasaan itu. Rasulullah saw. menyampaikan hal ini dalam hadis riwayat Imam Bukhari.

فَالْإمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Imam adalah pemimpin atas rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Para penguasa pun berupaya untuk melaksanakan amanah tersebut sebaik-baiknya. Mereka melakukan hal itu karena hendak menggapai rida Allah Swt. Mereka pun berusaha untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik di dalam maupun di luar negeri dengan standar Islam.

Khalifah Umar bin Khaththab adalah contoh terbaik penguasa di sepanjang zaman, setelah Rasulullah saw. Beliau sangat takut akan dituntut oleh rakyat jika berlaku zalim kepada mereka. Itulah sebabnya, ketika mengetahui ada keluarga yang kelaparan karena tidak memiliki bahan pangan, beliau pun bersegera memberikan bantuan. Beliau memanggul sendiri bahan pangan itu, kemudian memasaknya, dan memberikannya kepada mereka.

https://narasipost.com/opini/03/2023/mampukah-mewujudkan-indonesia-emas-dalam-sistem-demokrasi/

Sikap seperti itu muncul dari ketakwaan terhadap Allah Swt. Ketakwaan yang muncul dari akidah yang kuat dan lurus, yang membentuk pola pikir dan pola sikap. Hal itu mendorong beliau untuk hanya mencari rida Allah Swt., bukan rida manusia.

Khatimah

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa duet antarcalon penguasa dalam sistem demokrasi mungkin saja terjadi. Dan penguasa yang benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat adalah mereka yang menjadikan akidah Islam sebagai standar hidup. Dengan menjadikan Islam sebagai standar, berbagai perbuatan mereka akan dilandaskan pada akidah tersebut. Dengan demikian, mereka akan menjadikan halal dan haram sebagai pedoman. Namun, hal ini hanya dapat diwujudkan dalam sistem yang menerapkan Islam secara kaffah.

Wallaahu a’lam bi ash-shawaab []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Kecelakaan Maut, Cermin Tata Kelola Transportasi Semrawut
Next
All Eyes on Rafah, Palestina Butuh Junnah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
4 months ago

Ya ya ... begitulah karakter yang menonjol dalam sistem demokrasi, bertemu dan berpisah karena ada atau tidak ada kepentingan. Miris sih, tapi realitasnya memang begitu.

angesti widadi
5 months ago

Sesuai kepentingan yaa jadi tidak heran~~

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
5 months ago

Demokrasi sistem buatan manusia yang membuat sengsara rakyat, dan memuliakan pejabat.

Netty al Kayyisa
Netty al Kayyisa
5 months ago

Apapun bisa terjadi di sistem demokrasi. Sesuatu yabg di luar nurul aja bisa terjadi dengan kekuatan sim salabim. He he

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram