Salah satu naskah Challenge NarasiPost.Com yang bertemakan :
Refleksi tahun 2020 dalam pandangan Islam
Persepsi Islam dalam tahun 2021.
Naskah tanpa editan Tim NP(asli karya penulisnya sdr)
Oleh: Nurjamilah S.Pd.I
NarasiPost.Com-Tahun 2020 telah usai, kini saatnya menghadapi 2021. Awan mendung menggelayut, hujan air mata dan penderitaan mengisi hari-hari jagad dunia khususnya Indonesia. Krisis multidimensi yang semakin akut ditambah hantaman pandemi yang berkepanjangan. Menambah suram jejak rekam tahun 2020. Lantas bagaimana kelak kita menghadapi tahun 2021? Masihkah kita betah dengan kondisi negeri yang sakit parah ataukah ingin berjuang menyehatkan negeri ini dengan gebrakan resolusi baru yang out of the box? Islam dengan sejuta pesonanya akankah menjadi resolusi dan tempat berlabuhnya rakyat yang sudah terlanjur muak dengan janji manis demokrasi yang tidak pernah terealisasi?
Aktivis HAM Haris Azhar memberikan nilai tiga pada rapor Jokowi di tahun 2020. Karena ada 4 hal dominan selama pemerintahannya yaitu tata kelola dan koordinasi yang tidak berjalan selama pandemi, represifitas atas nama pandemi, bencana Omnibus Law dan kondisi Papua yang semakin memprihatinkan (media umat.news, 29/12).
Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera menyebut rezim Jokowi terkesan semakin seenaknya mengeluarkan kebijakan berpolemik. Apalagi hampir tidak ada oposisi dalam badan legislatif, sehingga fungsi check and balance nyaris hilang. Tren keotoritarian mulai nampak (alinea.id, 28/5).
Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., AK menilai selama sistem ekonomi Kapitalis yang menjadi dasar dalam mengambil kebijakan ekonomi, maka selama itu juga, rapornya akan selamanya merah. Karena sistem ekonomi kapitalis tidak pernah berpihak kepada kepentingan rakyat (mediaumat.news, 29/12).
Prof. Dr. Pierre Suteki, SH, MH mengatakan ancaman kematian demokrasi sangat besar ketika penguasa (pemerintah dan DPR) berlaku semakin otoritarian menghadapi rakyat dalam menuntut kebenaran dan keadilan. Sehingga memungkinkan munculnya civil war (perang sipil) (djakartatoday.com, 15/12).
Demikian kiranya pendapat para pakar dan tokoh menanggapi kinerja pemerintahan Jokowi selama 2020.
Lonceng Kematian Demokrasi
Demokrasi sedang menghampiri ajalnya. Siapa pembunuh demokrasi itu? Bukan para Jenderal, tiran, diktator, tetapi penguasa yang terpilih dalam demokrasi itu sendiri. Tidak semua pemimpin terpilih tadi memiliki track record represif dan otoriter seperti Hitler dan Chavez. Tapi banyak pula yang awalnya berwajah polos dan lugu, pelan tapi pasti lalu menjadi otoriter demi mempertahankan kekuasaannya. Demikian sekelumit pernyataan dalam buku yang sedang viral "How Democracies Die" karya Steven Levitsky dan Daniel Zibblat, keduanya ilmuwan politik dari Harvard University.
Sepertinya analisis buku itu terbukti di negeri ini. Sepanjang tahun ini wajah asli demokrasi terkuak dan busuknya amat tajam terendus. Demokrasi yang diagungkan dan mampu membius semua orang. Sejatinya menjadi biang kerok dari setiap permasalahan yang merundung kita.
Demokrasi yang berasal dari Yunani dan diadopsi Barat. Menjadikan sekularisme sebagai akidahnya yakni memisahkan agama dari kehidupan. Terpancar darinya liberalisme (kebebasan) yang kebablasan yaitu kebebasan beragama, berpendapat, berekspresi dan kepemilikan. Yang paling menonjol adalah sisi ekonomi yang bernafaskan kapitalisme, yaitu menjadikan pemilik modal sebagai pengendali kekuasaan dan berbagai kebijakan. Lihat saja bagaimana pengaturan di negeri ini berjalan? Nuansa kapitalisme kental mendominasi berbagai kebijakan publik. Politik, pendidikan, sosial, hukum bahkan penanganan pandemi saat ini tidak lepas dari komersialisasi.
Wajar saja, mengingat demokrasi ini menjadikan kedaulatan ada di tangan rakyat (wakil rakyat menggantikan posisi Tuhan dalam membuat aturan). Sehingga melahirkan ketimpangan dalam banyak hal, karena kepentingan penguasa dan pengusaha sebagai pemilik modal yang jadi prioritas. Rakyat terpinggirkan. Keinginan rakyat agar bisa hidup sejahtera, damai dan bahagia akan menjadi ilusi demokrasi semata.
Menaruh harapan pada demokrasi itu sia-sia. Bagai pungguk merindukan bulan. Mustahil terwujud, karena demokrasi mempunyai cacat bawaan. Terlebih demokrasi bertentangan dengan prinsip Islam. Kedaulatan di tangan syara (Allah sebagai pembuat aturan) dan kekuasaan di tangan rakyat (rakyat boleh memilih siapapun menjadi pemimpin/penguasa selama dia mau menerapkan aturan Allah). Allah yang menciptakan manusia maka Allah pula yang berhak menetapkan aturan yang sesuai dengan fitrah penciptaannya. Karena aturan Allah mengandung maslahat bagi seluruh makhluk-Nya. Bahkan bisa menghantarkan pada keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bukankah itu yang selama ini kita pinta? Jika iya, maka sudah saatnya menyelaraskan antara doa dan ikhtiar kita. Segera campakkan demokrasi dan berjuanglah demi tegaknya aturan Allah di muka bumi ini.
Menyongsong Abad Khilafah
Islam bukan sekedar agama, tapi juga ideologi yang memancarkan aturan kehidupan yang selaras dengan akidahnya. Allah membuat aturan yaitu syariat Islam sebagai petunjuk bagi manusia bagaimana menjalankan kehidupan di dunia ini agar berakhir dengan bahagia di surga-Nya. Sebaik-baik tempat yang abadi di akhirat kelak.
Mengapa syariat Islam wajib diterapkan? Setidaknya ada 3 alasan:
Pertama karena menerapkan syariat Islam adalah sebuah konsekuensi iman kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S An-Nisa: 75 yang berbunyi:
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
" Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Kedua, syariat Islam adalah solusi bagi seluruh permasalahan manusia. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan sang Khalik (akidah dan ibadah), dirinya sendiri (makanan, minuman, pakaian dan akhlak) serta sesama manusia dan alam semesta (persanksian dan muamalah mencakup aspek politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, militer dll). Sebagaimana firman Allah:
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
" Dan Kami turunkan kepadamu al-kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (Q.S An-Nahl: 89)
Ketiga, syariat Islam membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia berikut alam semesta. Dimana ada syariat, maka di sana ada maslahat. Firman Allah swt:
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين
" Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam ." (Q.S Al-Anbiyaa: 107)
Penerapan syariat Islam ini mustahil dalam demokrasi, karena haram hukumnya mencampuradukkan antara yang haq dengan batil. Islam itu supremasi hukum yang benar (haq), sebaliknya demokrasi itu secara konsep dan praktik terbukti salah (batil). Oleh karena itu dibutuhkan metode yang tepat dalam menerapkan syariat Islam. Apa itu? Khilafah jawabannya. Mengapa? Karena metode ini yang pernah dicontohkan Rasulullah saw berabad silam dan terbukti berhasil. Mungkinkah Rasulullah memberikan contoh yang keliru bagi umatnya? Khilafah wajib ada demi syariat. Karena tanpa Khilafah, syariat tidak akan dapat terlaksana dengan utuh dan sempurna.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, menyatukan umat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukmi di al-Islam, hal 34)
Khilafah menjalankan 3 misi yaitu: mewujudkan Ukhuwah Islamiyyah (penyatuan umat Islam sedunia), penerapan syariat Islam dan melaksanakan dakwah (menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, menjaga kehormatan Islam dan kaum muslimin dan menghadapi adikuasa jahiliyah).
Kaum muslimin wajib menegakkan Khilafah dan membaiat seorang Khalifah. Sebagaimana firman Allah:
وإذ قال ربك للملاءكة اني جاعل في الأرض خليفة...
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, "Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah... (Q.S Al-Baqarah: 30)
Demikian pula Rasulullah saw pernah bersabda:
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلة
" Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah), maka matinya mati jahiliyah."
(HR. Muslim, no.1851)
Perjuangan Rasulullah selama 13 tahun di Mekah sebenarnya demi mencapai target diterapkannya Islam secara kaffah dalam aturan kenegaraan. Namun para tokoh pembesar Mekah menolak dan selalu menghadang. Padahal jumlah orang beriman sudah cukup banyak di sana. Sebaliknya Madinah yang hanya dalam kurun waktu setahun didakwahi oleh Mus'ab bin Umair, berhasil menghimpun para tokoh pembesar Madinah untuk menerima tawaran Rasulullah menjadikan Beliau sebagai kepala negara dan syariat Islam sebagai aturan kenegaraan. Padahal jumlah orang yang beriman di Madinah lebih sedikit dibanding di Mekah.
Proses baiat Aqabah pertama mengikrarkan keimanan para tokoh Madinah kepada Allah dan Rasulnya. Sementara baiat Aqabah kedua menyerahkan kekuasaan dan pengurusan negara kepada Rasulullah dengan menerapkan Islam kaffah. Di momen itulah Rasulullah resmi menjadi kepala negara di Daulah Islam pertama yang terletak di Madinah Al-Munawwaroh, selama 10 tahun. Setelah Rasulullah wafat, tampuk pemerintahan dilanjutkan oleh para sahabat dalam Daulah Khilafah berdasarkan metode kenabian. Maksudnya melanjutkan kepemimpinan umat, bukan kenabian. Karena secara jelas Rasulullah adalah khatam an-nabiyyin (penutup para nabi). Masa kenabian berakhir pada masa Rasulullah sedangkan kepemimpinan umat dengan Islam dan Khilafah berlanjut hingga akhir zaman.
Sejarah menorehkan bahwa Khilafah telah memimpin dunia selama 13 abad. Bermula dari Khulafaur Rosyidin, Umayyah, Abbasiyah hingga Ustmaniyah di Turki. Runtuh tahun 1924 M oleh Mustafa Kemal Attaturk. Sejak saat itu hingga kini umat kehilangan pelindung sekaligus perisai yaitu Khilafah, hampir satu abad lamanya. Dunia ditimpa kemalangan.
Khilafah bukan hanya kewajiban tetapi juga kebutuhan mendesak dunia saat ini. Ketimpangan yang besar diakibatkan penerapan sistem demokrasi kapitalisme juga ketidakmampuan menangani pandemi menambah parah sakitnya negeri ini. Sudah saatnya mengakhiri kepedihan ini, kembalilah pada koridor yang benar dan sesuai fitrah.
Khilafah merupakan kewajiban umat sekaligus janji Allah. Allah telah menjanjikan kemenangan bagi kaum muslimin bahkan Rasulullah telah memberikan kabar gembira akan datangnya masa Kekhilafahan yang kedua setelah keruntuhannya tahun 1924 M. Tepat setelah masa kediktatoran dilalui. Berarti tidak lama lagi Insyaa Allah. Semakin pekat malam, semakin dekat akan terbitnya fajar.
Lantas apa yang harus kita lakukan? Ikutlah berjuang demi tegaknya Khilafah. Jadilah pemain, karena piala hanya akan diberikan pada pemain, bukan penonton. Kemenangan adalah sebuah keniscayaan. Tinggal mengoptimalkan ikhtiar dan menderaskan doa.
Siapakah yang harus berjuang? Semua orang. Karena setiap orang memegang peranan masing-masing. Siapa sajakah mereka?
Pertama, pengemban dakwah harus semakin gencar melakukan dakwah pemikiran tanpa kekerasan, menyadarkan dan membina masyarakat agar peka dan melek politik. Di tengah fitnah dan kriminalisasi yang mendera jangan sampai menghentikan langkah. Tetap istiqomah hingga garis finish.
Kedua, umat harus giat menuntut ilmu dan mengikuti kajian-kajian ideologis dan politis. Menyadari bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Butuh perubahan. Bukan hanya mengubah dirinya sendiri menjadi solih tapi juga mengubah sistem menjadi sohih. Juga terjun dalam dakwah jamaah, karena sendirian itu berat dan rapuh. Urgensi dakwah jamaah agar perubahan terorganisir, terukur dan tepat sasaran.
Ketiga, tokoh harus menjadi memimpin umat dalam menyuarakan kebenaran, mengoreksi penguasa dan siap memberikan pertolongan dan perlindungan pada pelaku dan penyeru kebenaran.
Empat, ormas Islam harus menyamakan persepsi, visi dan misi dalam perjuangan ini. Menyelaraskan metode dakwah masa kini dengan metode dakwah Rasulullah yang telah terbukti keberhasilannya. Memaklumi dan menerima perbedaan (khilafiyah) pada masalah cabang. Melakukan konsolidasi antar ormas agar terbentuk kerjasama dalam mencapai tujuan yang sama yaitu, melanjutkan kembali kehidupan Islam.
Semoga dengan sinergitas penuh dari semua pihak dapat mempercepat turunnya Nasrullah (pertolongan Allah). Khilafah segera bangkit sehingga pandemi segera teratasi dan semua permasalahan terselesaikan. Kehidupan yang sejahtera, damai dan berkah terealisasi. Kami ingin kehidupan yang normal, bukan new normal apalagi abnormal. Wallahu 'alam bi ash-shawwab.[]