Keberadaan G7 nyatanya telah menjadi spion para kapitalis global dalam memetakan pengaruh hegemoni kapitalismenya pada negeri-negeri muslim
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Salah satu poin penting dari hasil pertemuan Group of Seven (G7) di Borgo Egnazia, Italia adalah adanya kesepakatan untuk menghadapi ancaman keamanan ekonomi yang menurut mereka ditimbulkan oleh Cina terhadap perekonomian global. Sebagaimana diketahui G7 merupakan sebuah kelompok negara-negara maju yang memainkan peran penting dalam ekonomi global. Anggota G7 terdiri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Kelompok ini dikenal karena pengaruhnya yang signifikan dalam isu-isu ekonomi, politik, dan sosial di seluruh dunia.
Menurut laporan voaindonesia.com (15/6/2024), isu yang dibahas pada pertemuan tahunan kali ini, lebih menitik tekankan pada ancaman Cina dalam hal over kapasitas kendaraan listrik, dukungan Cina terhadap perlengkapan perang Rusia, serta praktik perdagangan dan investasi Cina di negara-negara berkembang.
Asal-Usul G7
Pada saat berdirinya tahun 1975, kelompok negara kaya ini dikenal sebagai G6 karena hanya melibatkan enam negara, yaitu Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Kanada bergabung setahun kemudian, pada tahun 1976, menjadikan kelompok ini sebagai G7.
Adapun tujuan dibentuknya G7 sebagai respons terhadap krisis ekonomi global yang terjadi pada awal 1970-an, yang dipicu oleh krisis minyak dan stagnasi ekonomi di banyak negara industri. Pertemuan G7 pertama diadakan di Rambouillet, Prancis, di bawah prakarsa Presiden Prancis Valéry Giscard d'Estaing dan Kanselir Jerman Helmut Schmidt. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas masalah ekonomi internasional dan mencari solusi kolektif terhadap tantangan ekonomi global.
Pada perkembangan selanjutnya, G7 juga terlibat dalam mendorong reformasi ekonomi di negara-negara anggota dan di seluruh dunia. Ini termasuk dukungan untuk liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan reformasi struktural lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan memperkuat pertumbuhan. Selain ekonomi, G7 juga membahas isu-isu sosial dan politik yang penting, seperti perubahan iklim, keamanan global, dan pembangunan berkelanjutan. Misalnya, G7 sering kali mengeluarkan deklarasi bersama tentang pentingnya tindakan kolektif dalam memerangi perubahan iklim dan melindungi lingkungan.
G7 berfungsi sebagai forum bagi negara-negara anggotanya untuk berdiskusi dan berkoordinasi dalam isu-isu internasional yang penting. Ini mencakup kerja sama dalam masalah keamanan, hak asasi manusia, dan bantuan kemanusiaan. Namun, G7 juga sering mendapat sorotan karena dianggap tidak representatif dari ekonomi global saat ini, mengingat tidak adanya partisipasi dari negara-negara berkembang dan ekonomi besar lainnya seperti Cina, India, dan Brasil. Kritikus berargumen bahwa kelompok ini harus lebih inklusif untuk mencerminkan dinamika ekonomi global yang berubah.
Isu Utama Melawan Cina
Isu utama yang diangkat pada pertemuan tahunan G7 saat ini fokus pada pengaruh kebijakan perdagangan Cina. Ini termasuk penggunaan tarif, sanksi, dan tindakan hukum di organisasi internasional seperti WTO (World Trade Organization) untuk menantang praktik perdagangan yang dianggap merugikan negara-negara kapitalisme di bawah kendali Amerika Serikat tersebut. Selain internal koordinasi, G7 juga bekerja sama dengan mitra global lainnya untuk membentuk front yang lebih luas dalam menangani isu perdagangan dengan Cina. Ini termasuk kerja sama dengan Uni Eropa dan negara-negara Asia-Pasifik lainnya untuk memperkuat aturan perdagangan internasional.
Di sektor politik, G7 memainkan peran utama dalam merespons agresi militer Rusia, terutama terkait dengan aneksasi Krimea pada tahun 2014 dan konflik di Ukraina. G7 telah mengoordinasikan penerapan sanksi ekonomi yang berat terhadap Rusia, yang mencakup sektor keuangan, energi, dan pertahanan, untuk menekan ekonomi Rusia dan membatasi kemampuan militernya. G7 memberikan dukungan politik dan ekonomi yang signifikan untuk negara-negara Eropa Timur yang terancam oleh agresi Rusia. Ini termasuk bantuan ekonomi dan militer kepada Ukraina serta dukungan untuk inisiatif NATO yang bertujuan meningkatkan keamanan di wilayah tersebut.
https://narasipost.com/opini/05/2023/ilusi-kesetaraan-ekonomi-dalam-sistem-kapitalis/
G7 menggunakan pengaruh diplomatiknya untuk mengisolasi Rusia di forum internasional dan menekan Moskow agar mematuhi hukum internasional. Pertemuan G7 sering menghasilkan pernyataan bersama yang mengutuk tindakan Rusia dan menuntut penyelesaian damai atas konflik yang terjadi. Selain itu, negara-negara muslim terutama yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas, memiliki hubungan ekonomi yang signifikan dengan negara-negara G7. Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Indonesia adalah contoh negara yang memiliki hubungan dagang yang kuat dengan anggota G7, baik sebagai eksportir energi maupun sebagai pasar bagi produk industri dan teknologi.
Hubungan antara negara-negara G7 dan negara-negara muslim sering berpusat pada energi. Negara-negara G7 sangat bergantung pada impor energi dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Sebagai contoh, Arab Saudi dan anggota OPEC lainnya memainkan peran penting dalam stabilitas pasar energi global, yang secara langsung memengaruhi ekonomi negara-negara G7.
Negara-negara G7 sangat terlibat dalam isu keamanan di kawasan muslim, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara. Konflik di Suriah, Yaman, Libya, dan Irak sering menjadi agenda utama dalam pertemuan G7. Anggota G7 telah berperan dalam berbagai upaya diplomatik dan militer untuk menstabilkan wilayah tersebut, sering kali bekerja sama dengan organisasi internasional seperti PBB.
Dengan demikian, keberadaan G7 dalam konstelasi politik dunia telah menjadi spion para kapitalis global dalam memetakan pengaruh hegemoni kapitalismenya pada negeri-negeri muslim. Sungguh sebuah fakta yang menyedihkan karena kaum muslim dunia terjebak pada perangkap kerja sama dengan para kaum berduit yang dikuasai tujuh negara kaya tersebut.
Pentingnya Negara Global
Dari sini kaum muslim harusnya segera menyadari betapa pentingnya kehadiran negara yang berskala global untuk melawan hegemoni mereka. Oleh karena itu, konsep Khilafah yang sering kali dibicarakan dalam berbagai forum intelektual bisa menjadi solusi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menyatukan dunia muslim di bawah satu pemimpin, yaitu khalifah. Dalam visi idealnya, Khilafah tidak hanya berfungsi sebagai pusat kekuatan politik dan spiritual, tetapi juga sebagai entitas yang menjalin hubungan internasional yang damai dan konstruktif.
Sebagai sebuah negara adidaya, Khilafah diharapkan memiliki perekonomian yang kuat dan mandiri. Sumber daya alam yang melimpah, posisi geografis yang strategis, dan populasi yang besar dapat menjadi dasar kekuatan ekonomi Khilafah. Kebijakan ekonomi yang adil dan inklusif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam, akan memastikan distribusi kekayaan yang merata dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Khilafah dengan potensi kekuatan militernya yang kuat dapat melindungi wilayah dan rakyatnya dari ancaman eksternal. Namun, kekuatan militer ini akan digunakan dengan bijak dan etis, mengikuti prinsip-prinsip Islam tentang perang dan perdamaian. Militer Khilafah akan fokus pada perannya untuk melindungi kaum muslim di berbagai belahan dunia, bukan agresi atau ekspansi.
Dalam visi Khilafah, hubungan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip perdamaian, keadilan, dan saling menghormati. Negara-negara sahabat, yang bukan kafir harbi (yang tidak memusuhi Islam), akan diperlakukan sebagai mitra dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan makmur. Kerja sama dalam berbagai bidang seperti ekonomi, budaya, dan teknologi akan diperkuat. Intinya bahwa nonmuslim diperhatikan dan terlindungi, sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Siapa saja yang membunuh kafir mu’ahad (yang terikat kerja sama), tentu tidak akan mencium aroma surga, padahal sungguh wangi surga dapat tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Bukhari)
Khilafah akan menjalin kerja sama ekonomi yang erat dengan negara-negara sahabat. Ini termasuk perdagangan yang adil, investasi bersama, dan proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan kedua belah pihak. Kebijakan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan akan memastikan bahwa manfaat dari kerja sama ini dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Namun, respons sebaliknya akan dilakukan Khilafah bila berhadapan dengan negara kafir harbi yang memusuhinya. Jihad dalam rangka menyelamatkan akidah Islam, menjaga persatuan dan kehormatan umat Islam akan menjadi solusi akhir ketika jalan diplomasi internasional tidak membuahkan hasil. Konsep jihad di jalan Allah Swt. tidak sama dengan imperialisme gaya kapitalisme yang menjajah bangsa-bangsa di dunia.
Khilafah dengan jihadnya akan menebarkan kasih sayang dan cahaya keagungan Islam. Sementara itu, kapitalisme hanya mengeruk kekayaan alam dan menanamkan nilai-nilai sekularisme pada negara yang menjadi jajahannya. Mereka hanya akan menjauhkan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk Allah Swt. Wallahu a'lam bishawab.[]
Betul sekaliii, jadi tercerahkan hanya negara islam global yang menjadi solusi haqiqi hari ini
Adanya forum pertemuan negara-negara maju tak lain hanya untuk mengukuhkan hegemoni mereka dalam kepentingan global.
Setelah sejauh ini Indonesia dan negara-negara muslim lainnya bekerja sama dengan negara-negara G7, mestinya dievaluasi apakah menguntungkan atau tidak? Semua kerjasama antar negara saat itu, tidak ada batasan waktu. Padahal dalam Islam, ada batasan waktu karena hubungan dengan luar negeri dalam rangka dakwah dan jihad. Jazaakallohu khoiron, Pak atas tulisannya.