Seandainya hubungan Iran dan Amerika Serikat makin memanas, apakah ini akan berpotensi memicu terjadinya Perang Dunia Ketiga?
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tewasnya Presiden Iran Ebrahim Raisi dalam kecelakaan helikopter (19-05-2024) masih menyisakan persoalan politik di Iran, bahkan disinyalir dapat meningkatkan konstelasi politik secara global. Sekalipun Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei mengumumkan masa berkabung selama lima hari, faktanya sebagian rakyat Iran justru merasa gembira dengan telah berpulangnya presiden mereka.
Sebabnya, ternyata di mata sebagian rakyat Iran, Presiden Raisi dianggap sebagai sosok yang dimusuhi. Bahkan menurut Mehrdad Darvishpour, profesor di Universitas Malardalen di Swedia, Raisi merupakan figur paling kriminal di rezim tersebut dan dianggap akan menjadi calon kuat pengganti Khamenei sebagai Pemimpin Tertinggi Iran. (Kompas.com, 24-5-2024)
Secara politis akan banyak kepentingan sepeninggal Raisi, terlebih lagi laporan media Politico.com (20/5/2024) menyebutkan bahwa peristiwa jatuhnya helikopter memunculkan banyak persepsi, termasuk dugaan adanya sabotase terhadap alat transportasi yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel.
Sebagaimana diketahui, hubungan Iran dan Amerika Serikat saat ini tampak disharmoni karena tidak sejalannya sikap politik Iran dengan Amerika terhadap isu Palestina. Sikap kedua negara yang sebenarnya masih sekutu ini makin meruncing usai pasukan Zionis melancarkan agresi ke Palestina.
Seandainya hubungan Iran dan Amerika Serikat makin memanas, apakah ini akan berpotensi memicu terjadinya Perang Dunia Ketiga? Dugaan ini beralasan karena kedua negara tersebut dianggap memiliki posisi strategis dalam peta perpolitikan dunia. Menarik juga bagi kita untuk memperhatikan hal-hal yang potensial menyebabkan terjadinya Perang Dunia Ketiga.
Potensi Perang Dunia Ketiga
Potensi konflik besar antara negara-negara besar tetap menjadi ancaman nyata. Persaingan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia merupakan salah satu faktor utama yang dapat memicu Perang Dunia Ketiga. Masing-masing negara ini memiliki kepentingan geopolitik yang saling bertabrakan, baik di Asia, Eropa, maupun kawasan lainnya. Misalnya, ketegangan di Laut Cina Selatan, dukungan Rusia terhadap separatis di Ukraina, dan kebijakan luar negeri AS yang sering dianggap provokatif oleh lawan-lawannya.
Selain itu, keberadaan aliansi militer seperti NATO dan CSTO (Collective Security Treaty Organization) juga memperumit dinamika global. Ketika satu anggota aliansi diserang atau merasa terancam, anggota lain diwajibkan untuk ikut campur sehingga dapat memperluas konflik regional menjadi perang skala besar.
Hal yang tak kalah mengerikan adalah adanya perlombaan senjata nuklir. Proliferasi senjata nuklir menambah dimensi baru dalam potensi PD III. Negara-negara seperti Korea Utara dan Iran telah mengembangkan program nuklir yang menyebabkan ketegangan internasional. Selain itu, modernisasi persenjataan nuklir oleh kekuatan besar menambah ketidakstabilan global.
Hal lainnya yang potensial memicu Perang Dunia Ketiga adalah adanya perang dagang dan sanksi ekonomi. Hal ini dapat memicu ketegangan yang berujung pada konflik militer. Contoh nyata adalah perang dagang antara AS dan Cina yang tidak hanya berdampak pada ekonomi kedua negara, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian global.
Banyak hal lainnya, semisal perkembangan teknologi militer seperti senjata hipersonik, drone, dan kecerdasan buatan mengubah cara perang. Teknologi ini akan menjadi pemicu meningkatkan kemampuan negara untuk menyerang secara cepat dan efisien sehingga bisa mempercepat eskalasi konflik.
Adanya serangan siber terhadap infrastruktur kritis juga dapat menjadi pemicu perang besar. Dengan meningkatnya ketergantungan pada teknologi digital, serangan siber bisa melumpuhkan ekonomi dan militer sebuah negara yang kemudian bisa memicu respons militer.
Dengan demikian, potensi Perang Dunia Ketiga ditentukan oleh berbagai faktor kompleks yang saling berinteraksi. Persaingan kekuatan global, aliansi militer, proliferasi senjata nuklir, dan konflik ekonomi menjadi akar masalah utama. Sementara itu, perkembangan teknologi militer, serangan siber, dan dinamika politik memperkuat potensi konflik.
Kekuatan Negara Adidaya
Kekuatan politik dunia saat ini sangat memengaruhi kepentingan AS, mulai dari persaingan dengan Cina dan Rusia hingga kerjasama dengan Uni Eropa dan negara-negara di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Amerika Serikat terus berusaha mempertahankan posisinya sebagai kekuatan global utama. Keamanan nasional, ekonomi, promosi demokrasi, dan perubahan iklim adalah beberapa kepentingan utama yang mendorong kebijakan luar negeri AS dalam menghadapi dinamika politik global saat ini.
Sejak berakhirnya Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) telah memegang status sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia. Namun, dengan dinamika geopolitik dan ekonomi yang terus berubah, pertanyaan tentang kemungkinan munculnya negara adidaya baru yang dapat menggantikan AS menjadi makin relevan.
Beberapa negara yang berpotensi menjadi kekuatan baru yang dapat menggeser dominasi AS di antaranya adalah Cina. Selama ini Cina sering dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menggantikan AS sebagai negara adidaya berikutnya. Pasalnya, Cina memiliki tingkat ekonomi terbesar kedua di dunia dan terus tumbuh dengan cepat. Investasi besar-besaran dalam infrastruktur, teknologi, dan inovasi memperkuat posisinya di pasar global.
Selain itu, modernisasi militer Cina telah meningkatkan kemampuannya, termasuk pengembangan angkatan laut yang kuat dan teknologi senjata canggih. Secara diplomasi, strategi Belt and Road Initiative (BRI) menunjukkan ambisi global Cina dengan membangun koneksi ekonomi dan infrastruktur di Asia, Afrika, dan Eropa.
Selain Cina, ada Rusia yang telah menjadi kekuatan global dengan beberapa elemen yang mendukung statusnya sebagai calon negara adidaya. Rusia memiliki salah satu angkatan bersenjata terkuat di dunia dan arsenal nuklir terbesar. Selain itu, Rusia adalah salah satu produsen energi terbesar di dunia dengan cadangan minyak dan gas alam yang melimpah.
Posisi Iran sebagai negara satelit dari Amerika Serikat sebenarnya berada di bawah bayang-bayang ketiga kekuatan negara besar tersebut. Hanya saja ada karakteristik Islam yang masih kental di negara tersebut sehingga seolah-olah Iran ingin menjadi kekuatan baru sebagai negara dengan identitas tersendiri, padahal Iran masih menjadi negara di bawah bayang-bayang AS.
Negara Adidaya Sesungguhnya
Melihat fakta negara bangsa (nation state) yang ada seperti sekarang ini, kekuatan negara adidaya seperti Amerika Serikat tidak terlepas dari masih adanya ambisi ideologi kapitalisme yang diembannya. Amerika adalah negara ideologis yang memiliki garis besar politik (khiththah siyasi) yang membuatnya masih punya taji dan disegani.
https://narasipost.com/world-news/04/2024/peran-iran-dalam-isu-palestina/
Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah bahwa sebuah negara dikatakan adidaya atau negara utama ketika ia menjadi negara ideologis yang selalu memperjuangkan ideologinya dan dijaga dalam penerapannya.
Jika berbicara tentang ideologi sebuah negara, di dunia ini hanya ada tiga ideologi, yaitu sosialisme, kapitalisme, dan Islam. Ideologi sosialisme pernah diterapkan Uni Soviet, meskipun telah tumbang . Namun, sosialisme telah bermutasi kepada Rusia, Korea Utara, dan Cina. Sementara itu, ideologi kapitalisme saat ini masih diemban oleh Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Iran.
Sejatinya Iran merupakan salah satu negara yang mewarisi peradaban besar yang pernah ada, yaitu Islam. Iran merupakan negeri muslim yang menjadi wilayah Kekhalifahan Islam yang pada masanya menguasai lebih dari separuh dunia. Hanya saja, negara adidaya tersebut runtuh pada tahun 1924 karena banyak kemunduran taraf berpikir umat Islam dan nasionalisme yang membuat negeri-negeri kaum muslim terpecah belah.
Khilafah Islamiah merupakan satu-satunya negara adidaya yang menerapkan ideologi Islam dan terbukti pernah menjadi negara adidaya. Dengan demikian, hanya negara yang menerapkan ideologi Islam sajalah yang dapat menandingi hegemoni kapitalisme saat ini dan akan merebut kembali takhta negara adidaya seperti pada masa jayanya. Sabda Rasulullah saw. nan mulia, "Dan akan ada masa Kekhalifahan Islam kembali sebagaimana sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah saw."(HR. Ahmad).
Wallahua'lam bishawab.[]
#MerakiLiterasiBatch1
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah
Pentingnya kita membaca sebuah musibah dan peristiwa politik