"Kenestapaan yang dialami oleh perempuan hari ini telah merata dirasakan di seluruh belahan dunia. Betapa tindak, kekerasan seksual, pelecehan, eksploitasi, kemiskinan, dan penindasan, senantiasa menghimpit kaum perempuan di mana pun ia berada. Sistem kapitalisme yang menjadi pijakan dalam mengatur kebijakan mayoritas negara dunia termasuk di negeri kaum muslimin, telah nyata gagal dalam merealisasikan perlindungan hak-hak perempuan. Berbagai solusi yang ditawarkan pihak pegiat gender-feminis maupun kebijakan yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme, nyatanya tak pernah tuntas mengakhiri problematika perempuan, yang ada malah semakin menyuburkannya."
Oleh.Renita
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Korea Selatan baru saja menggelar pemilihan presiden dalam rangka menggantikan pucuk kepemimpinan Moon Jae In. Masyarakat Negeri Ginseng pun telah melabuhkan pilihannya pada sosok Yoon Suk Yeol selaku presiden terpilih Korea Selatan. Dukungan terhadap Yoon banyak didapatkan dari kalangan pria muda antifeminisme, lantaran janji-janji kampanyenya yang mengusung isu kesetaraan gender. Naiknya Yoon Suk Yeol menuju tahta kepemimpinan Negeri Ginseng ditengarai akan memberikan warna baru bagi pemerintahan Korea. Sosok Yoon yang antifeminis disebut-sebut bakal menjalankan pemerintahan lebih konservatif, terutama menyangkut masalah gender.
Sebagaimana dikutip dari _Vice World News_, (11/3/22), Yoon Suk Yeol dinobatkan sebagai presiden Korsel pada (10/3) setelah menyingkirkan rivalnya Lee Jae Myung dengan perolehan suara sebesar 48,56 persen dari total 34 juta pemilih. Gelaran pesta demokrasi kali ini merupakan pemilihan terketat di negara tersebut sejak 1987, karena Yoon berhasil menang dengan agregat hanya sebesar 0,73 poin dari suara yang dikantongi pesaingnya. Melalui berbagai kesempatan, dirinya berjanji akan menghapuskan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga yang selama ini dianggap memperlakukan pria layaknya “calon penjahat”. Yoon juga menganggap feminisme merupakan biang kerok rendahnya angka kelahiran di Korea. Menurutnya, kesetaraan hanya dapat diraih ketika jenis kelamin tidak lagi menjadi pemisah antara pria dan wanita.
Kemenangan Yoon dalam kontestasi pemilu Korsel tak bisa dilepaskan dari senjata politiknya yang membubuhkan kata antifeminisme serta pembelaannya terhadap para pria muda di Korsel. Sebagaimana diketahui, gerakan feminisme yang dipayungi Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga di negeri tersebut tengah menjadi isu seksi dan membuat kebanyakan pria muda Korsel merasa terancam eksistensinya. Hal ini juga memantik kebangkitan gerakan antifeminisme yang sempat padam di masa pemerintahan sebelumnya. Lantas, bagaimanakah sepak terjang Yoon Suk Yeol selama ini? Akankah kebijakan barunya dapat merealisasikan perlindungan terhadap hak-hak wanita di Negeri Ginseng?
Sosok Presiden Antikorupsi dan Antifeminis
Selama ini, Yoon dikenal karena sikap tegasnya melawan korupsi saat menyandang status jaksa penuntut negara. Bahkan, The Korea Herald mendaulat Yoon sebagai tokoh antikorupsi yang terkenal agresif dan keras kepala. Dirinya merupakan dalang di balik penangkapan mantan Presiden, Park Geun Hye, dalam kasus korupsi pada periode sebelumnya. Hingga akhirnya Yoon dipinang menjadi Jaksa Agung di masa Presiden Moon. Namun, pedang hukum Yoon yang tanpa pandang bulu membuatnya tak gentar mengusut kasus-kasus hukum dan korupsi orang-orang di lingkaran Presiden Moon. Hal inilah yang membuatnya berseteru dengan Presiden Moon hingga berujung pada pengunduran dirinya sebagai Jaksa Agung.
Tak lama berselang, Yoon kemudian tampil sebagai calon presiden dari Partai Kekuatan Rakyat yang dikenal melalui kebijakan fiskal dan keamanan lebih konservatif. Selama masa kampanye, Yoon menjanjikan tersedianya jutaan rumah bagi rakyat Korsel dengan harga terjangkau. Programnya tersebut diprediksi mampu menyolusi problem besar kaum muda yang saat ini dihadapkan dengan melambungnya harga rumah, ketimpangan sosial, serta meningkatnya angka pengangguran. Alhasil, popularitas Yoon pun makin meroket.
Yoon juga berhasil menggaet dukungan terbesar dari para pria muda lewat senjata politiknya membangun narasi antifeminisme. Dirinya juga menolak fakta adanya “diskriminasi gender sistemis”, menyalahkan feminisme atas merosotnya tingkat kelahiran di Korsel, dan yang paling kontroversial adalah pernyataannya untuk membubarkan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Yoon pun berjanji akan memberlakukan hukuman keras bagi pelaku kasus kekerasan seksual palsu.
Dengan rekam jejaknya yang begitu garang terhadap korupsi, Yoon dianggap mampu membawa angin segar bagi pemerintahan Korea yang selama ini kental dengan nuansa pejabat korup di masa Presiden Moon. Ditambah dengan janji-janji kampanye serta branding antifeminisnya, membuat Yoon mudah mendapat dukungan serta basis penggemar di kalangan pria muda Korsel. Tak pelak, hal inilah yang mengantarkannya pada kemenangan pemilu tersengit kali ini.
Niat ‘Kebiri’ Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga
Bak gayung bersambut, terpilihnya sosok antifeminis, Yoon Suk Yeol, seolah menjadi jawaban atas keresahan pemuda Korea Selatan terhadap aktivitas para feminis selama beberapa tahun ini. Meskipun feminisme awalnya merupakan upaya memberdayakan perempuan agar setara dengan laki-laki dalam ranah apa pun, namun beberapa pihak di Korsel justru menilai feminisme sebagai gerakan kebablasan dan membahayakan. Apalagi semenjak Presiden Moon Jae In menjabat di tahun 2017, banyak kebijakannya yang begitu masif mempromosikan gender equality. Tak heran, banyak kalangan pria Korsel merasa termarjinalkan.
Melansir dari media Foreign Policy, pria muda Korea Selatan cenderung berperilaku seksis dan misoginis karena merasa sebagai korban dari feminisme. Perlakuan istimewa yang sering didapatkan oleh perempuan dipandang sebagai ancaman bagi laki-laki. Belum lagi, terkait isu wajib militer yang hanya dibebankan kepada laki-laki juga diklaim telah menghambat karier mereka.
Janji Yoon Suk Yeol untuk menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, tentu menjadi sesuatu yang sangat diharapkan pihak pembenci feminisme ini. Yoon pun beralasan, Kementerian tersebut hanya menguntungkan perempuan dan menambah ketegangan antargender. Selain itu, Yoon juga menuding gerakan feminisme merupakan dalang di balik fenomena depopulasi yang dialami Korea saat ini. Mengutip dari BBC, selama tahun 2020 bayi yang lahir di Korea Selatan hanya berkisar 275.800, jumlah ini menurun sebanyak 10 persen dibanding tahun 2019. Sementara angka kematian mencapai 307.764 pada tahun yang sama. Jelas, ini merupakan ancaman nyata bagi sebuah negara. Bayangkan saja, ketika populasi generasi muda menyusut, otomatis akan terjadi penurunan sumber daya manusia yang berimbas pada perekonomian. Pada gilirannya, ini semua akan menguncang eksistensi negara tersebut. Maka dari itu, Yoon berambisi memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk bertumbuh. Sehingga, tak ada lagi jurang pemisah yang memperuncing ketegangan antargender serta diskriminasi terhadap satu pihak. Yoon juga berujar akan membentuk kementerian baru yang akan menangani masalah sosial berkaitan dengan anak-anak, keluarga dan masyarakat secara komprehensif.
Feminisme Tak Melindungi Perempuan
Sikap antifeminis yang menjangkiti anak muda Korea Selatan seolah terlihat absurd, sebab pada faktanya perempuan di Korsel masih terpinggirkan meskipun gerakan feminisme begitu gencar dipromosikan. Lihat saja, bagaimana tingginya kesenjangan upah yang berbasis gender di Korea. Di sana perempuan memperoleh gaji 31,5 persen lebih rendah dari laki-laki. Bahkan, dalam beberapa tahun belakangan, tren bunuh diri di kalangan wanita muda malah semakin meningkat. Para pakar pun mengaitkannya dengan tekanan sosial yang dihadapi para wanita, mulai dari persaingan akademik dengan laki-laki, diskriminasi di tempat kerja, standar kecantikan yang cenderung seksis, hingga tuntutan untuk menikah dan memiliki anak.
Ditambah lagi, perempuan Korea juga masih rentan menjadi objek pelecehan seksual. Apalagi saat ini marak terjadi kasus &
spy cam di mana para perempuan direkam secara sembunyi-sembunyi di toilet umum, jalanan, kamar ganti, hingga ke dalam gedung apartemen untuk kemudian disebarluaskan di internet. Semua ini jelas menunjukkan bahwa adanya gerakan feminisme sama sekali tidak menjamin perlindungan hak-hak wanita di Negeri Ginseng.
Jika demikian kondisinya, benarkah menurunnya angka kelahiran di Korea hanya diakibatkan oleh eksisnya gerakan feminisme? Faktanya, faktor terbesar rendahnya jumlah kelahiran di Korea dipicu oleh adanya kesenjangan antara pekerjaan dan tuntutan hidup yang dialami para wanita. Alhasil, banyak di antara mereka yang menunda untuk menikah dan punya anak, bahkan memilih untuk tidak memiliki anak. Selain itu, mahalnya harga properti dan biaya pendidikan yang tinggi juga semakin menambah pelik persoalan, apalagi di tengah ketimpangan sosio-ekonomi seperti saat ini. Tak ketinggalan, para wanita juga merasa kesulitan untuk kembali berkarier ketika mereka telah memiliki anak. Oleh karena itu, menyusutnya tingkat kelahiran di Korea Selatan bukan semata disebabkan oleh feminisme, tetapi merupakan konsekuensi ketika orientasi hidup manusianya hanya memprioritaskan asas manfaat serta miskin visi kehidupan.
Kapitalisasi Industri Mengancam Eksistensi Manusia
Sejatinya, inilah harga mahal yang harus dibayar ketika sebuah negara melandaskan aturan kehidupannya berdasarkan platform kapitalisme. Kapitalisasi industri yang terjadi di Korea Selatan tidak hanya menjadikan manusia sebagai objek industrialisasinya, tetapi juga minim visi dalam membangun peradaban. Gemerlapnya kehidupan industri di Korea Selatan seiring dengan gencarnya arus kebebasan individu, serta materialisme yang terpaut dalam digitalisasi ekonomi kapitalistik dan globalisasi, membuat nasib perempuan dan generasi kian suram, bahkan menjadi ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri.
Sungguh, depopulasi manusia merupakan alarm keras bagi peradaban. Maka, penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga yang digadang-gadang hanya akan menjadi solusi tambal sulam bagi perlindungan hak-hak perempuan. Karena, sumber petakanya adalah sistem kapitalis liberal yang terbukti tak pernah memberikan perlindungan dan penjagaan terhadap kemuliaan perempuan, yang ada malah mengeksploitasi sekaligus mengebiri fitrah wanita sebagai pencetak generasi.
Maka, benarlah firman Allah Swt. yang termaktub dalam QS. Al-Isra ayat 16, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
Kenestapaan yang dialami oleh perempuan hari ini telah merata dirasakan di seluruh belahan dunia. Betapa tindak, kekerasan seksual, pelecehan, eksploitasi, kemiskinan, dan penindasan, senantiasa menghimpit kaum perempuan di mana pun ia berada. Sistem kapitalisme yang menjadi pijakan dalam mengatur kebijakan mayoritas negara dunia termasuk di negeri kaum muslimin, telah nyata gagal dalam merealisasikan perlindungan hak-hak perempuan. Berbagai solusi yang ditawarkan pihak pegiat gender-feminis maupun kebijakan yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme, nyatanya tak pernah tuntas mengakhiri problematika perempuan, yang ada malah semakin menyuburkannya.
Perempuan Butuh Sistem Islam
Kondisi perempuan akan sangat berbeda dalam naungan sistem Islam. Islam hadir ke dunia ini untuk menciptakan kebaikan bagi seluruh alam, termasuk perempuan. Islam dengan seperangkat aturannya, terbukti mampu mewujudkan pelindungan terhadap perempuan yang termanifestasikan dalam institusi Khilafah. Islam memandang perempuan sebagai sosok yang wajib dijaga dan dimuliakan. Maka, supremasi Islam akan sepenuh hati dalam memuliakan dan melindungi perempuan.
Adapun larangan-larangan yang ditetapkan dalam Islam semata-mata untuk membentengi perempuan dari kehinaan. Selain itu, tidak ada perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan di mata Allah Swt., kecuali ketakwaannya. Adanya perbedaan peran dan kewajiban laki-laki dan perempuan bukan merupakan bentuk kesenjangan gender dan ketidaksetaraan. Akan tetapi, hal itu merupakan wujud sinegisitas antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan perannya sesuai dengan fitrah yang Allah tetapkan. Oleh karena itu, untuk menyudahi problem pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan secara sistemik. Ada upaya preventif dan kuratif yang dilakukan oleh sebuah negara. Upaya preventif yang dilakukan di antaranya dengan memberlakukan sistem pergaulan dalam Islam, seperti kewajiban menutup aurat dengan sempurna menggunakan jilbab dan kerudung, kewajiban menjaga kemaluan baik itu laki-laki maupun perempuan, larangan ikhtilat, khalwat dan tabaruj, interaksi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan hanya diperbolehkan dalam perkara muamalah, larangan berzina dan sebagainya.
Selain itu, negara akan menutup celah-celah yang dapat memunculkan naluri jinsiyah, seperti tayangan porno atau pun konten lain yang dapat membangkitkan naluri seksual. Negara juga akan melakukan upaya kuratif ketika terjadi pelanggaran dengan melakukan penindakan secara adil dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku kejahatan seksual dan tindak kriminal lainnya. Adapun sanksi yang diterapkan meliputi hukum cambuk 100 kali bagi pezina ghairu muhsan, hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah, hukuman mati bagi pelaku homoseksual dan lainnya.
Khatimah
Rentannya pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan hari ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kaum muslimin. Betapa kenestapaan akan selalu dialami tatkala menyandarkan kehidupan pada paradigma Kapitalisme. Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini merupakan sistem cacat yang bersumber dari akal manusia. Wajar, produk hukumnya akan senantiasa menghasilkan kerusakan serta penuh kepentingan. Pada akhirnya hanya akan menyebabkan kaum perempuan semakin terjauhkan dari fitrah dan kemuliaannya.
Sungguh, dunia hari ini membutuhkan solusi cerdas dan tuntas untuk mengakhiri derita perempuan. Satu-satunya solusi yang terbukti ampuh melindungi hak-hak perempuan hanyalah Khilafah. Ketangguhan Khilafah sudah mahsyur tercatat dalam bait-bait sejarah kegemilangan Islam selama 13 abad lamanya. Maka, kebutuhan umat saat ini adalah hidup dalam sistem Khilafah yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Sehingga, kehidupan akan dinaungi keberkahan dan perempuan akan terhindar dari kekerasan dan pelecehan.Wa’allahu A’lam Bish Shawwab[]