Memanfaatkan ODGJ sebagai pemilih merupakan standar ganda dalam sistem kapitalisme yang kental dalam mencari celah untuk memperbanyak dukungan.
Oleh. Firda Umayah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sobat, suasana perpolitikan di Indonesia makin lama makin terasa panas. Para calon presiden bahkan telah memulai debat yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Atribut kampanye pun bertebaran di mana-mana. Nah, di tengah-tengah kondisi panas ini, rupanya ada kabar dari KPU DKI Jakarta yang mencatat dan menetapkan bahwa sebanyak 22.871 di antara Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk pemilu 2024 adalah penyandang disabilitas mental alias Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Hem, kira-kira, wajar enggak ya?
Yup, dalam laman idntimes.com (19/12/2024) menyebutkan, berkaca pada pemilu 2019 lalu, para penyandang disabilitas mental dapat menggunakan hak suaranya dengan syarat membawa surat keterangan sehat dari dokter. Enggak cuma itu, KPU juga menyatakan untuk siap menjadi pendamping bagi mereka. Nah lo, memangnya sepenting itukah pelibatan disabilitas mental dalam pemilu?
Standar Ganda Pelibatan ODGJ
Sebenarnya, enggak wajar banget kalau ODGJ diberikan hak suara dalam pengambilan suara atau keputusan tertentu. Bagaimana tidak? Untuk berpikir dan mengurusi diri saja mereka masih kesulitan lalu mengapa harus mendapatkan beban dalam pengambilan suara? Padahal, dalam kasus hukum, ODGJ ini termasuk orang yang bebas hukum. Buktinya, saat terjadi kasus kriminalisasi ulama yang pelakunya dianggap ODGJ, yang terjadi justru pelaku ini bebas dari tuduhan dan sanksi. Lo, kelihatan sekali standar gandanya, bukan?
Memang ya, Sob. Dalam sistem hukum demokrasi yang berasal dari sistem sekularisme dan melahirkan ideologi kapitalisme, semua kebijakan yang diambil disesuaikan dengan kebutuhan para kapitalis. Hem, kok bisa?
Saat pemilu yang mengutamakan jumlah suara sebagai penentunya, maka semua celah untuk memperbanyak mendapatkan suara dilakukan. Enggak peduli kalau harus mengambil data dari orang-orang yang terganggu mentalnya. Apalagi, jumlah penyandang disabilitas makin tahun makin banyak. Alasannya, semua orang memiliki hak untuk bersuara. Padahal, ujung-ujungnya hanya untuk membuka peluang terpilihnya para calon legislatif atau pemimpin. Para pemimpin yang terpilih nanti jelas akan digandeng para kapitalis untuk memuluskan segala kepentingan mereka.
Namun, dalam ranah hukum yang notabene ODGJ merupakan orang yang harus diurus dengan baik, justru mereka kebal hukum. Alasannya, karena akal mereka tak sempurna, mereka enggak bisa mempertanggungjawabkan tindakannya. Maka tak heran, dalam beberapa kasus tindak kriminal, sebagian pelaku "berpura-pura" menjadi ODGJ. Astagfirullah.
Islam Memfungsikan Akal sesuai Tujuan
Standar ganda sistem kapitalisme dalam memandang ODGJ enggak akan ditemukan jika negeri ini menggunakan Islam sebagai landasan aturan kehidupan. Sebab, Islam memfungsikan akal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan Allah Swt. Akal merupakan bekal dasar bagi manusia khususnya muslim dalam menentukan mana yang benar dan salah. Mana yang baik dan buruk. Akal juga digunakan untuk menimbang dan memutuskan segala perkara apakah sesuai dengan perintah Allah atau tidak. Maka dari itu, Allah Swt. akan meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatan manusia yang memiliki akal sempurna.
Sedangkan untuk para penyandang disabilitas mental, Islam memandang bahwa mereka adalah orang yang harus dipenuhi kebutuhannya sebagaimana manusia pada umumnya. Hanya saja, karena keterbatasan akal yang dimiliki, maka ia tidak mendapatkan beban amanah bahkan bisa jadi mereka tidak mendapatkan beban hukum syarak, tergantung dari gangguan mental yang diderita. Dalam hadis riwayat Ahmad, dari Aisyah binti Abu Bakar, Rasulullah saw. bersabda,
"Diangkatnya pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal."
Adapun dalam mekanisme pemilihan pemimpin, pejabat, dan wakil dari masyarakat, Islam telah memiliki mekanisme yang sederhana dan jelas, yang tentu saja masuk akal. Islam telah menentukan bahwa orang-orang yang memilih adalah warga negara yang telah balig dan sempurna akalnya. Mereka memilih pemimpin sebagai sarana untuk menegakkan hukum Allah. Pemimpin yang dipilih pun harus memenuhi kualifikasi dasar yang telah ditentukan oleh nas-nas syarak, seperti laki-laki, beragama Islam, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu.
Aturan dan program kerja yang ditawarkan juga harus sesuai dengan syariat Islam. Sebab tujuan mereka menjadi pemimpin adalah untuk menegakkan semua hukum Islam sebagai bagian dari bukti keimanan mereka kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 208, Allah Swt. berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia (setan) adalah musuh nyata bagimu."
Lebih dari itu, amanah menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah amanah yang main-main. Sebab pemimpin adalah pengurus rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
So, menjadi pemimpin atau pejabat dalam Islam memang dilakukan dengan landasan keimanan dan untuk mendapatkan rida Allah semata. Enggak seperti dalam sistem kapitalisme yang menjadikan kekuasaan sebagai sumber mencari keuntungan bahkan berbisnis. Na'uzu billah.
Penutup
Terdaftarnya ODGJ dalam DPT jelas enggak bisa diterima akal. Sebab mereka sejatinya adalah orang yang harus mendapatkan perawatan dan kepengurusan yang baik serta tidak mendapatkan beban amanah. Memanfaatkan ODGJ sebagai pemilih merupakan standar ganda dalam sistem kapitalisme yang kental dalam mencari celah untuk memperbanyak dukungan. Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan akal sempurna sebagai landasan pemberian beban amanah kepada seseorang. Sebab semua perbuatan manusia adalah hal yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Rakyat hanya dibutuhkan suaranya saja. Nanti kalau sudah jadi, rakyat pasti ditinggalkan.. biasanya seperti itu..
Tandanya sistemnya adalah SDGJ. Ambyaar
Inilah dagelan politik. Lelucon yang tidak lucu. Dalam sistem Demokrasi tidak ada standar yang jelas dalam menilai perbuatan seseorang. Kacau dan membingungkan. Wajar karena manusia tidak lagi berpegang pada standar dari Allah Swt. Yakni hukum syarak.
Wkwkw... ku kira hanya di negeri wakanda, orang gila bisa memilih pemimpin.. upps
Demokrasi memang memprihatinkan ya. Segala cara ditempuh demi menambah jumlah suara. ODGJ pun jadi korban keserakahan politisi.
Astaghfirullah. Kok bisa? Benar-benar sistem demokrasi hanya mencari keuntungan untuk memuluskan ambisi kekuasaan. ODGJ juga dimanfaatkan.
Barakallah mba@Firda, Semoga setelah ini banyak yang tersadarkan
Waduh, dalam demokrasi orang waras dan orang sableng punya kedudukan yang sama guys, ngeri.
Ya, sama dalam memilih pemimpin tapi tak sama dalam ranah hukum.
Astaghfirullah banyak ODGJ di DPT
Bagaimana jadinya nanti?
Semoga banyak yang terbuka dengan membawa naskah ini
Aamiin...
Jazakumullah ahsanal jaza' kepada Mom Andrea dan tim redaksi NP