Pewarisan dan Putra Mahkota, Legitimasi Takhta Diwarnai Darah Saudara

"Dalam pemerintahan Islam, tidak dikenal yang namanya sistem kerajaan. Islam bahkan tidak mengakui sistem kerajaan sebagai institusi untuk menjalankan roda pemerintahan. Karena itu, dalam Islam tidak ada istilahnya sistem putra mahkota dengan asas pewarisan, Guys!"

Oleh. Yana Sofia
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kondisi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat saat ini sedang memanas, Guys! Seperti yang kita ketahui, pada Jumat (23/12) lalu, terjadi bentrokan yang diduga karena konflik internal buntut penetapan Putra Mahkota yang ditentang Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta. Dikutip Cnn.indonesia.com, (24/12/2022).

Parahnya, akibat dari kericuhan ini diketahui sejumlah orang luka-luka hingga mengalami bocor di kepala. Seperti adegan dalam drama kerajaan saja ya, Guys! Di mana ada intrik politik di kalangan internal kerajaan, perebutan kekuasaan, hingga bentrok yang berujung tindak pidana. Itu 'kan, yang selalu menjadi bumbu di dalam drama para raja. Nah, bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah Islam mengakui sistem kerajaan dan pewarisan? Yuk, kita bahas!

Takhta dan Kepentingan

Mungkin kita tidak asing ya, dengan istilah "harta, takhta, dan wanita." Istilah ini pernah digonta-ganti loh, sesuai tren pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti ungkapan yang populer banget di tahun 2020, yakni "harta, takhta, dan cinta," ada juga "harta, takhta, dan nilai A." Yang jelas, konotasinya enggak jauh-jauh dari materi. Harta merujuk pada kekayaan, takhta merujuk pada singgasana dan kedudukan, sedang wanita merujuk pada pasangan.

Ya, privilege inilah yang melatarbelakangi pewarisan kekuasaan di dalam kerajaan, Guys! Harta yang melimpah, wanita yang cantik, dan takhta tertinggi semua orang berlomba-lomba mengejarnya. Termasuk para pangeran di sebuah kerajaan. Seperti halnya kisah Raja Ashoka yang memimpin kerajaan Maghada (India) pada tahun 272-232 SM. Menurut legenda nih, Guys, Ashoka pernah membunuh 99 orang saudaranya demi mewarisi takhta dan menguasai sebagian besar anak benua India, yakni Afghanistan sampai Bangladesh. Nah, sadis enggak, tuh?

Tak jauh berbeda dengan Kerajaan Arab Saudi yang diwarnai konflik internal dalam kerajaan. Masih ingat 'kan, bagaimana kisah Raja Saud bin Abdulaziz Al Saud, digulingkan dari takhtanya sebagai raja Arab Saudi? Ia dilengserkan dari jabatan oleh pihak keluarga kerajaan, karena dituding menggelapkan uang negara dan memicu konflik. Tidak lama kemudian, Saud digantikan oleh saudara tirinya, Faisal bin Abdul Aziz Al Saud. Namun naasnya, pada tahun 1975 Raja Faisal pun harus meregang nyawa di tangan keponakannya sendiri, yakni Pangeran Faisal bin Musaid.

Begitulah, beberapa sejarah kepemimpinan dalam sistem kerajaan dengan metode putra mahkota dan pewarisan, Guys. Tak luput dari konflik internal antarkeluarga dan abdi dalam. Intrik politik yang terkadang berlumur darah saudara ini tak lepas dari politik kepentingan dan kekuasaan. Keinginan untuk menjadi yang terunggul dalam sebuah tampuk kepemimpinan itu tak lepas dari pengaruh "takhta dan mahkota" pun berbagai kemanfaatan.

Pandangan Islam

Tentu saja, hal ini berbeda dengan kepemimpinan ala Islam! Dalam pemerintahan Islam, tidak dikenal yang namanya sistem kerajaan. Islam bahkan tidak mengakui sistem kerajaan sebagai institusi untuk menjalankan roda pemerintahan. Karena itu, dalam Islam tidak ada istilahnya sistem putra mahkota dengan asas pewarisan, Guys!

Satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui oleh Islam, dan tentunya diwajibkan oleh Allah Swt. adalah sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah, pemimpinnya disebut khalifah, dan diangkat melalui baiat, bukan pewarisan. Untuk sebutan khalifah sendiri, berbeda dari masa ke masa. Ada periode Khalifah Abu Bakar, periode Amirul Mukminin (Umar bin Khattab), periode Imam Ali, ada juga Sultan Murad II pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah. Semua gelar dan sebutan itu sama, yakni pemimpin Daulah Islam, yaitu institusi yang segenap kebijakannya berasaskan Al-Qur'an dan sunah.

Ada yang menarik di sini Guys, ketika kita telusuri sejarah kekhilafahan dari sumber-sumber kafir. Mereka pasti akan mengatakan bahwa konsep sultan adalah sama dengan metode pewarisan. Hal ini, karena mereka melihat ada beberapa kepemimpinan yang 'diteruskan' oleh anak dari khalifah. Contohnya, nih Sultan Muhammad Al-Fatih yang merupakan anak dari Sultan Murad II. Keduanya adalah khalifah dalam Kekhilafan Utsmaniyah.

Pada kenyataannya, Al-Fatih yang nama aslinya Mehmed bin Murad ini, memang telah meneruskan kepemimpinan sang ayah. Hanya saja, proses pengangkatannya bukan dengan pewarisan, tapi karena baiat. Sekali lagi kita tekankan, bukan karena pewarisan, ya, Guys. Harap dicatat! Ia yang dijuluki Al-Fatih dipilih dan dibaiat oleh rakyat berdasarkan kemampuan dan kelayakannya untuk memimpin dan me- riayah umat, Guys. Rakyat sendiri yang membaiatnya karena rakyat melihat pada pribadi Al-Fatih ada kapabilitas seorang pemimpin.

Coba deh, buka lembaran sejarah! Kita akan melihat berbagai kontribusinya untuk umat dan agama yang sangat luar biasa. Sejak kecil Mehmed sudah hafiz 30 juz Al-Qur'an, menguasai ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu falaq, matematika, dan ilmu perang. Selama berkuasa Sultan Al-Fatih telah berhasil membangun 300 masjid lebih, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah.

Dan jangan lupa, peristiwa besar bagaimana Sultan Mehmed ini mengguncang Konstantinopel dan memenuhi bisyarah Rasulullah saw. Al-Fatih sendiri yang terjun sebagai pemimpin dari 4 juta pasukan, menyeberangi lautan dengan 70 kapal laut menaiki bukit yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Atas kemenangan yang besar inilah, Sultan Mehmed diberi gelar Al-Fatih yang berarti Sang Pembebas, dan tentunya membebaskan umat dari kejahiliahan.

Masyaallah! Jelas sekali, Guys! Sejarah membuktikan Al-Fatih adalah sosok pemimpin pilihan. Ia dipilih dan membaiat bukan karena ayahnya yang seorang pemimpin, atau kedudukannya sebagai putra khalifah. Melainkan karena tingginya keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang mendorong rakyat memilihnya sebagai pemimpin dengan kapasitas terbaik.

Sayangnya, saat ini kita tidak memiliki perisai itu (khalifah) dan institusi Islam yang berdaya, yakni Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah. Sehingga, ingatan umat kian kabur akan kepemimpinan Islam, dan menjadikan sistem kepemimpinan lain sebagai konsep pemerintahan. Maka lahirlah sistem demokrasi, parlementer, republik, federasi, bahkan sistem kerajaan. Sistem-sistem ini telah menafikan keberadaan Allah Swt. sebagai pembuat hukum dan menggantinya dengan hukum yang berasal dari akal manusia yang lemah, kurang, dan serba terbatas.

Berhukum dengan kebijakan yang tidak berdasarkan wahyu inilah faktor utama lahirnya berbagai masalah dalam kehidupan, Guys! Di antaranya kemiskinan, kebodohan, dan dekadensi moral. Kita menyebut masyarakat yang mengadopsi paham ini sebagai masyarakat sekuler, yakni masyakarat yang hidup jauh dari aturan agama. Kepada kaum sekuler, Allah Swt. sampaikan, "Mereka telah menjadikan para pembesar dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." (QS. At-Taubah: 31)

Lalu, Allah menjelaskan apa balasan bagi kita karena mengabaikan hukum Allah dan mengambil sekularisme sebagai landasan dalam kehidupan. Adalah firman Allah dalam surah Thaha ayat 124, "Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit."

Begitulah, Guys! Ternyata inilah faktor utama kenapa umat hidup berkubang masalah dan berbagai kesempitan hidup yang menimpanya. Masalah demi masalah tak kunjung teratasi. Sementara, pejabat yang terpilih malah sibuk korupsi dan berebut kursi demi mempertahankan 'mahkota' kekuasaan, yang notabene hanya untuk kepentingan diri dan golongan masing-masing.

Khatimah

Jika sistem pemerintahan ada, tentunya rakyat akan di riayah (diurus) dengan sempurna. Khilafah akan menghapus konsep kepemimpinan warisan atau bentuk apa pun yang bertentangan dengan Islam dan memungkinkan pihak berkuasa (kapital) menindas yang lemah. Sebaliknya, Islam akan menjamin hak-hak umat dengan periayahan yang seadil-adilnya, serta menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakatnya. Dengan begitu, rakyat akan hidup aman dan sentosa tanpa harus takut penguasa bertindak zalim kepadanya. Wallahu 'alam![]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim penulis Inti NarasiPost.Com
Yana Sofia Tim Penulis Inti NarasiPost.Com. Sangat piawai dalam menulis naskah-naskah bergenre teenager dan motivasi. Berasal dari Aceh dan senantiasa bergerak dalam dakwah bersama kaum remaja.
Previous
Menyikapi Lonjakan Penularan TBC dengan Perspektif Islam
Next
Hipokrit HAM di Balik Penembakan Suku Kurdi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram