Hey, Apa Cita-citamu?

"Kalau iya, maka tak ada salahnya kita dengar penjelasan Imam As-Sa'di rahimahullah berikut, "Jadikanlah berdakwah dan menyeru kepada Rabbmu puncak dan ambisi, cita-cita, serta amalan tertinggimu." Mengapa? Karena, di bidang inilah manusia-manusia terbaik itu ada."

Oleh. Bedoon Essem
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hey, Teman. Setiap orang pasti punya cita-cita. Dan pastinya kita sepakat dong, ketika seseorang mencintai suatu bidang, mereka pasti ingin mencapai level yang paling tinggi. Dan hal yang paling tinggi itu akan menjadi cita-cita mereka. Mereka akan berjuang meraihnya, menggenggamnya, dan mempertahankannya.

Coba deh, tanya pada setiap pesepak bola, apa cita-cita tertinggi mereka? Pasti nih, jawaban mereka adalah menjadi yang terbaik. Kalau level klub, pasti mereka ingin menjuarai Liga Champions, atau kalau level negara, pasti mereka ingin menjuarai World Cup, perhelatan yang baru saja usai. Mengapa? Karena, level itulah berkumpulnya pesepak bola-pesepak bola terbaik. Juga jika kita bertanya pada para pembalap mobil gocar, pasti mimpi terbesar mereka bisa berkompetisi di level F1. Mengapa? Karena F1 puncaknya level pembalap mobil. Dan juga bidang-bidang lainnya yang mereka cintai, mereka ingin mencapai level yang paling tinggi.

Nah, bagaimana dengan kita seorang muslim? Apakah kita sama? Ingin menjadi atlet terbaik level dunia? Artis sukses internasional? Atau menjadi konten kreator paling top dengan jumlah subscriber paling banyak sedunia? Kalau iya, maka tak ada salahnya kita dengar penjelasan Imam As-Sa'di rahimahullah berikut, "Jadikanlah berdakwah dan menyeru kepada Rabbmu puncak dan ambisi, cita-cita, serta amalan tertinggimu." Mengapa? Karena, di bidang inilah manusia-manusia terbaik itu ada. Mereka berjuang, berkompetisi, tentunya dengan cara yang sehat.

Manusia-manusia terbaik itu siapa saja mereka? Mereka adalah para nabi dan rasul, lalu para ulama. Apa pun keahlian mereka yang lain, tapi mereka punya kesamaan. Iya mereka ada yang kaya, juga ada yang miskin. Para nabi itu ada yang menjadi raja, ada yang tidak. Tapi mereka sama-sama ada di dunia yang sama, yaitu dunia dakwah. Mereka sama-sama ingin dan terus melakukan yang terbaik di dalam dakwah. Nah, bagaimana dengan kita? Orang-orang yang mengaku beriman, para pemuda Islam, dan para penerus estafet kepemimpinan Islam?

"Tapi, aku tuh enggak bisa ngomong. Aku enggak pandai bicara!" Yang menyuruh kita jadi khatib Jumat itu siapa? Yang menyuruh jadi pembicara di acara-acara dakwah itu siapa? Tidak harus jadi khatib Jumat, atau pembicara bukan? Tapi jadilah bagian dari dakwah. Dan jadikan dakwah itu sebagai puncak dari cita-cita kita.

Mungkin kita pernah bertanya-tanya di dalam hati, "Apakah saya layak menjadi pengemban dakwah? Apakah saya pantas menjadi penerus perjuangan Rasulullah? Apakah saya ini pantas menjadi manusia pilihan Allah? Padahal saya ini orang bodoh, tidak berpendidikan tinggi, banyak dosa, hanya orang biasa yang tidak mempunyai kemampuan sedikit pun!"

Tidak dapat dimungkiri, kadang pertanyaan-pertanyaan itu ada di dalam benak para pengemban dakwah. Maka, jawabannya adalah bahwa merekalah yang paling layak untuk melanjutkan risalah yang dibawa oleh Rasulullah. Dan sebaliknya, bahwa orang yang merasa paling pandai, paling suci, paling kaya, dan orang yang merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi, merekalah yang justru tidak layak mengemban risalah Islam.

Orang yang sombong, besar kepala, merasa paling suci dan merasa serba bisa, tidak layak mengemban perjuangan suci. Allahlah yang paling memahami tentang kita. Dialah yang paling tahu siapa di antara hamba-Nya yang layak untuk mengemban tugas besar dakwah Islam, dan siapa yang tidak layak. Sebagaimana firman-Nya dalam surah An-Najm ayat 32,

{ فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ }

"Maka janganlah kamu, menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."

Untuk berdakwah melanjutkan misi suci Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, tidak ada syarat harus hafal Al-Qur'an seluruhnya, atau menguasai berbagai kitab hadis, bukan? Kita tak harus menjadi malaikat yang tanpa dosa terlebih dahulu untuk berjuang. Jika yang boleh berdakwah harus menunggu menjadi malaikat dulu, maka tak ada satu pun orang yang akan berdakwah. Karena, tak akan pernah ada manusia yang akan menjadi malaikat atau sebaliknya.

Sudah sifat manusia yang sering lupa dan berbuat dosa. Sudah fitrah manusia memiliki sifat serba kurang. Akan tetapi, semua itu harusnya tidak menghalanginya untuk berdakwah dan beramal saleh. Untuk melanjutkan misi dan perjuangan Rasulullah tak harus sarjana dulu, atau gelar akademik lainnya terlebih dulu. Atau disyaratkan harus lulusan pondok pesantren atau sekolah Islam yang lainnya. Coba perhatikan para sahabat Rasulullah, tak satu pun yang sarjana, bergelar doktor, lulusan pesantren,sekolah Islam, dan lainnya bukan? Bukankah Bilal bin Rabah hanya seorang budak?

Untuk berjuang memperbaiki keadaan masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islami pun, tak harus menjadi orang yang sudah mapan. Bahkan, biasanya orang yang sudah mapan, sering takut dengan hal-hal besar yang mengandung resiko. Mereka biasanya hanya menjalani rutinitas dan mengulang-ulang aktivitas rendahan. Mereka biasanya malas berpikir keras dan kreatif. Meski tak jarang juga orang-orang mapan yang mau ikut bergabung dalam perjuangan dakwah Islam tanpa takut. Dan memang sudah seharusnya seperti itu.

Kemapanan harusnya tak menjadi penghalang kita dalam berjuang. Bahkan, harusnya menjadi pendorong untuk berbuat lebih banyak dalam dakwah. Maka, siapa pun yang ingin melanjutkan perjuangan Rasulullah, harus terus yakin, bahwa ia mampu melakukannya. Dan yang dibutuhkan untuk berjuang melanjutkan perjuangan Rasulullah hanyalah kemauan, bukan yang lain.

Layaknya ketika manusia mempunyai mimpi dan cita-cita, ia harus mempunyai kemauan dan tekat untuk meraihnya. Jika untuk menjadi seorang dokter sukses, vlogger terkenal, atlet terbaik, kita mau, yakin, dan bersedia bersusah-susah, maka seharusnya seorang muslim harus melakukan usaha terbaiknya agar bisa menjadi bagian dan bertahan dalam dunia dakwah kebangkitan Islam. Menjadikannya aktivitas tertinggi, dan puncak pencapaian hidupnya.

Wallahu a'lam[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Bedoon Essem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kolaborasi Musik Natal, Bukti Toleransi Salah Arah
Next
Salmon dan Segudang Kebaikannya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram