"Sebagai hamba Allah yang merindukan surga, alangkah indahnya jika naluri eksistensi kita, kita kendalikan dalam rangka berlomba pada kebaikan. Mari kita tiru semangat Abdullah bin Amr, ketika menggebu terhadap label "penghuni surga" yang disematkan rasul pada seseorang. Alih-alih iri, Abdullah malah menggali dalam rangka hendak imitasi."
Oleh. Keni Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com dan Penulis Buku Sebab Perasaan bukan Tuhan)
NarasiPost.Com-Kamu pernah enggak dengar kalimat begini? Ketika kita berada di satu pencapaian hidup, misalkan kita lulus sekolah, atau berhasil bikin karya tertentu, eh tiba-tiba ada yang nyeletuk, "Enak ya jadi kamu". Kita jadi bertanya-tanya dong. Memang iya?
Atau jangan-jangan, malah kita sendiri yang ucap? "Andai aku jadi dia, pasti hidupku lebih mudah".
Slow down, Gaes. Sabar, jangan-jangan ada yang enggak beres di hati kita sampai pemikiran ini hadir di kepala. Kalau sudah begini, langsung istigfar ya!
Jangan Cuma Lihat Rumput, Main ke Dapurnya
Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau. Padahal, dalam rumahnya ya sama, berantakan juga. Jangan lupa mampir ke dapurnya, pasti ada sampah dan cucian piring. Atau mampirlah ke gudangnya, ya ada aja barang enggak berguna di sana.
Begitulah kira-kira hidup manusia. Bisa jadi yang tampak hanya keteraturan hidup seseorang yang (mungkin) bikin kita iri. Padahal, ya dia punya masalah juga. Hebatnya dia tidak mengeluh, kita saja yang selalu tebar peluh.
Naluriah Manusia
Kamu pernah dengarkah bahwa manusia punya naluri eksistensi diri? Kita bisa sebut dengan garizatul baqa'. Sungguh mulia dan agung Penciptanya, Allah subhanahu wa taala. Diciptakan naluri ini agar manusia bisa bertahan hidup (survive), baik fisik atau nonfisik.
Contoh, ketika manusia hendak menyeberang jalan, ia akan menoleh kiri kanan. Ia memastikan tidak ada kendaraan, barulah dia jalan. Atau ketika kita berada di suatu tempat, tiba-tiba ada binatang buas. Refleks kita adalah lari dan sembunyi dalam rangka mempertahankan diri. Kita enggak akan berdiam dan menyerahkan diri kita hidup-hidup. Itu gambaran survive dalam hal fisik.
Hikmah lain adalah dalam aspek nonfisik. Inilah bahasan kita kali ini. Ketika kita mendapati kebaikan pada teman kita, layaknya saudara, kita turut bahagia. Sayangnya, iri dan dengki lebih besar. Lalu setan membakar gharizah baqa' kita. Jadilah kalimat sejenis "Enak ya, jadi kamu!" muncul. Padahal, yang Allah mau adalah kita belajar dari kesuksesan seseorang dan menirunya. Kita cari pola keberhasilannya apa, kita upayakan.
Maka, kalimat yang seharusnya muncul jika kita seorang beriman adalah "Kalau dia bisa, aku juga bisa atas izin Allah". Insyaallah, akan lahir suasana berlomba dalam kebaikan dan ketaatan (fastabiqul khayrat). Sungguh manis hawa yang muncul di antara orang-orang saleh. Bisakah kita berlaku demikian?
Teladan
Manusiawi banget sih, buat kita merasa bahwa ada rasa penasaran di balik bahagia seseorang memanggul kesuksesan. "Gimana ya, dia bisa berhasil?" Yang kayak gini, keren nih. Tandanya kita ingin mengupayakan hal serupa. Ini persis dengan kisah seorang sahabat nabi. Ialah Abdullah bin Amr bin Ash, putra sahabat rasul yang istimewa, Amr bin Ash.
Suatu ketika, para sahabat sedang bercengkerama dengan Rasul salallahu alaihi wasallam. Rasul berkata bahwa sesaat lagi akan ada ahli surga yang lewat ke hadapan mereka. Datanglah seorang pria dari kalangan Ansar. Para sahabat melihatnya dengan kagum, meski seseorang tersebut tidak menyadari. Di hari berikutnya, rasul mengatakan hal serupa, bahkan di hari ketiga pun.
Sebagai orang yang memiliki semangat ibadah tinggi, Abdullah bin Amr kepo dong. Ia terpantik untuk mencari tahu amalan istimewa apa yang dimiliki orang Ansar tersebut sampai disebut rasul masuk surga. Datanglah Abdullah ke rumahnya dan izin menginap. Ia berpura-pura sedang berkelahi dengan ayahnya, sehingga ia enggan pulang. Pria Ansar itu mengizinkan.
Sehari, dua hari berlalu, Abdullah tidak menemukan amalan khusus pada diri orang itu. Tahajudnya sama dengan orang kebanyakan, puasa, dan lain-lainnya sama. Sampai pada hari ketiga, Abdullah tak sabar dan bertanya terus terang. Pria Ansar menjawab "Ketahuilah, amalanku adalah seperti yang kamu lihat. Tapi, aku tidak pernah merasa iri atau dengki pada siapa pun atas kebaikan atau kenikmatan yang didapatkannya dari Allah subhanahu wa taala."
Khatimah
Sebagai hamba Allah yang merindukan surga, alangkah indahnya jika naluri eksistensi kita, kita kendalikan dalam rangka berlomba pada kebaikan. Mari kita tiru semangat Abdullah bin Amr, ketika menggebu terhadap label "penghuni surga" yang disematkan rasul pada seseorang. Alih-alih iri, Abdullah malah menggali dalam rangka hendak imitasi. Lagian, siapa sih yang enggak mau masuk surga? Mental inilah yang hendaknya kita miliki.
Lebih mind blowing, ternyata jawaban pria Ansar tersebut bisa jadi iming-iming bagi kita, bahwa salah satu sifat penghuni surga adalah tidak iri terhadap kenikmatan yang Allah beri pada seseorang.
Wallahua’lam bishowab[]