"Sungguh menghina fisik seseorang itu menggambarkan ketidakbahagiaan yang kita lalui. Menampakkan betapa tidak terdidiknya kita dengan mengeluarkan kalimat-kalimat celaan jauh dari adab. Semua itu pada akhirnya hanya menunjukkan betapa rendahnya kelas kita."
Oleh. Yana Sofia
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com -Geram enggak sih, kalau ketemu orang yang suka melakukan bullying? Kalimat jenis merendahkan apa pun itu, terlebih fisik dan urusan pribadi. Jujur, Guys! Akhir-akhir ini banyak banget manusia yang enggak bisa menjaga lisannya, ketikannya, dan sikapnya. Sehingga perilaku menghina itu semakin membudaya.
Ada yang menghina bentuk wajah, warna kulit, tinggi badan, hingga keputusan hidup orang lain. Melarang seseorang berkarya, terkenal, bahkan menikah. Menuduh orang lain menikah demi harta, uang, dan ketenaran. Menghina urusan rumah tangga orang, hingga ke ranah paling privat bagi pasangan yang halal.
Jujur, makin ke sini tingkah laku generasi makin terlihat rendahan. Kita pahami bersama, ya! Orang enggak akan merendahkan orang lain kecuali attitude-nya cukup rendah.
Lingkungan yang membiasakan aktivitas bullying adalah tempat terburuk untuk hidup. Tempat buruk inilah yang melahirkan generasi yang suka mengejek dan melakukan bullying. Tentu saja, perilaku ini pun menunjukkan kelas seseorang.
Kelas Manusia
Sebenarnya, tak ada rumus baku untuk menunjukkan kelas manusia. Kendati kapitalisme menampakkan kita bahwa kelas seseorang erat kaitannya dengan nasab, harta, tahta, hingga rupa. Tentu saja, itu pandangan yang dicontohkan dunia yang penuh tipu daya. Karenanya, demi meraih level tertinggi itu, manusia mau mengorbankan apa pun termasuk harga diri, menyakiti sesama, bahkan melanggar agama.
Yuk, belajar dari pencuri uang rakyat. Hampir semua korupsi itu terjadi karena mengejar level berada 'di kelas' tertinggi. Apa yang mereka korbankan untuk berada di posisi itu? Ya tentu saja harga dirinya, kerugian bagi orang banyak, dan melanggar syariat. Tentu saja, karena kita sama-sama percaya tak ada agama yang membenarkan perampokan atas uang rakyat, bukan? Dan begitulah koruptor ini menunjukkan kelasnya.
Kita katakan, orang-orang yang melanggar norma-norma yang berlaku sebagai pribadi yang tidak beretika. Maka dalam kehidupan ini, kita mengenal istilah etika sebagai landasan 'kelasnya' manusia. Walau bagaimanapun kita adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya di antara seluruh ciptaan-Nya. Makna 'tinggi' di sini tidak pernah diukur oleh nasab, tahta, harta, pun rupa. Melainkan seberapa beradab seseorang menjalani hidupnya, menghargai sesama sebagaimana ia menghargai dirinya.
Dan Islam memiliki gambaran paripurna untuk meraih level tertinggi 'kelas' manusia. Tinggi atau rendah kedudukan seseorang hanya bisa diukur oleh iman dan takwa-Nya. Realitas ini hanya pribadi tertentu dan Allahlah yang mampu mengukurnya. Di mana kelas manusia yang bertakwa tidak akan pernah sama dengan kelas orang-orang yang suka mencela ciptaan-Nya. Sebagaimana bunyi QS. Al-Hujurat ayat 11, "….Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk…,"
Masyarakat Sakit
Sebenarnya, nih! Lisan yang tak bisa direm untuk menghina, ketikan yang tanpa filter, dan sikap 'sok paling kece' semua lahir dari perilaku iri dan dengki. Dua penyakit hati ini tidak akan sulit terdeteksi dengan baik, karena ia lahir dari dalam dan menguasai seluruh pemikiran dan perasaan. Sehingga wajar si penderita merasa benar sendiri, merasa menjadi manusia paling suci.
Iri dan dengki ini lahir dari ketidakmampuan dan berbagai penolakan. Ketidakmampuan dalam memenuhi hajat hidup dan penolakan atas keadaan yang tidak diharapkan. Ya, sebenarnya pelaku bullying adalah korban dari ketidakbahagiaan dalam kehidupan yang ia lalui. Sehingga ia butuh pelampiasan untuk menyalurkan emosi. Sayangnya, karena ia salah dalam menyikapi emosi tadi, penyalurannya pun berakhir ke tempat yang salah. Tanpa sadar ia telah melakukan bullying terhadap orang lain yang lebih lemah darinya.
Jika kita benar-benar bahagia, tentunya kita akan merespons hal-hal yang penting dan genting saja. Orang yang cukup bahagia tidak punya waktu untuk mengurus hidup orang lain, khususnya yang berkaitan dengan fisik dan urusan pribadi. Jika ia melihat ketidakbenaran pada perilaku orang, maka ia akan mengaitkannya dengan lingkungan dan seterusnya kebijakan negara. Melihat setiap persoalan secara menyeluruh, baik itu besar atau kecil dengan sudut pandang Islam saja.
Namun sayangnya, masyarakat kita sedang sakit. Selama kapitalisme dijadikan sebagai tolok ukur dalam kehidupan, maka kebahagiaan hanya akan berorientasi pada untung dan rugi berdasarkan materi. Makin kaya seseorang, punya harta, dan rupa yang elok maka ia disebut bahagia. Sebaliknya, jika hidup susah, tak punya harta, dan enggak good looking maka siap-siap saja menjadi korban bullying orang yang tercemar hatinya dengan iri dan dengki.
Selama problem utama, yakni kapitalisme yang mendorong pandangan hidup berdasarkan materi ini tidak diakhiri, maka selama itu pula manusia akan 'tersesat' dalam mengejar kebahagiaannya. Manusia akan mengabaikan nilai-nilai yang ada pada diri mereka masing-masing berupa potensi dan keistimewaan yang Allah beri. Melupakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya dekat sekali. Yakni saat seseorang merasa bersyukur pada setiap nikmat yang Allah beri, bersabar saat musibah menghampiri, dengan senantiasa menambah iman dan ketakwaannya. Itulah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan hakiki.
Khatimah
Sungguh menghina fisik seseorang itu menggambarkan ketidakbahagiaan yang kita lalui. Menampakkan betapa tidak terdidiknya kita dengan mengeluarkan kalimat-kalimat celaan jauh dari adab. Semua itu pada akhirnya hanya menunjukkan betapa rendahnya kelas kita. Lebih dari itu, sikap menghina fisik seseorang adalah sikap paling hina di hadapan Tuhan semesta. Ya, jelas saja! Jika kita menghina ciptaan-Nya, maka apa bedanya kita dengan menghina Sang Pencipta, yakni Allah Swt.? Karena itu, banyak-banyak istigfar sebelum berbuat. Wallahu'alam[]