Pengusaha akan terus menggelontorkan modalnya untuk mampu menguasai pasar tanpa memedulikan keberadaan UMKM.
Oleh. Ananda, S.T.P
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hai, Gengs! Kamu penduduk sosmed yang mana, nih? IG? Twittter atau TikTok? Apa pun sosmed favorit yang kamu scroll setiap hari, tetap gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, ya. Ngomongin soal sosmed nih, kamu pasti udah nggak asing ‘kan? dengan penjualan online via sosmed? Contohnya seperti TikTok Shop. Dulu kalau pengun belanja online di e-commerce pilihannya yang paling sering kalau nggak toko oren ya ijo. Kalau sekarang udah ada alternatif platform lain buat cari barang di wishlist kita. Makin semangat ya, Gengs, belanja-belanjanya, hehehe. Selain punya alternatif lain buat belanja online, harga barang yang dijual di TikTok Shop ini ternyata juga lebih murah, loh. Nggak heran kalau penjualan lewat aplikasi dari Cina ini makin deras perkembangannya, karena ada “simbiosis mutualisme” di sini. Olshop di TikTok dapat untung dalam waktu singkat, penduduk TikTok pun bisa dapat barang incaran dengan harga yang miring.
Hmm … tapi ada yang bikin sedih nih, Gengs. Di balik euforia penggunaan TikTok Shop yang mengasyikkan, ada penjual di offline store yang cuma bisa gigit jari. Contohnya aja kayak para penjual baju yang ada di Pasar Tanah Abang. Dilansir CNBC Indonesia (19/9/2023) kondisi pasar Tanah Abang akhir-akhir ini semakin hari semakin sepi pembeli. Meskipun ada beberapa pengunjung yang berlalu lalang, tapi tingkat keramaiannya lebih sepi dibandingkan dengan Pasar Tanah Abang pada umumnya, Gengs. Lantai LG, G, SLG Blok A dan Blok B yang biasanya jadi area paling banyak dikunjungi pengunjung malah lengang banget, Gengs. Para pedagang yang biasanya kewalahan ngelayanin pelanggan, sekarang mereka cuma bisa diam sambil meratapi sepinya pusat grosir yang terkenal legendaris itu. Sedih banget ya, Gengs.
Dengan adanya problem ini, pemerintah akhirnya melarang penggunaan TikTok Shop di Indonesia. Pelarangan ini dilatarbelakangi oleh terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 yang mengatur tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, pengawasan, dan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik. Pemerintah resmi melarang aktivitas jual beli (e-commerce) melalui platform sosial media seperti TikTok dan memberikan instruksi agar terdapat pemisahan antara sosial media dan e-commerce, Gengs. (eraspace.com, 28/09/2023)
Menanggapi hal tersebut, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan bahwa pelarangan TikTok yang menyediakan fitur belanja online justru tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat. Pasalnya, para penjual e-commerce maupun konsumen masih mempunyai banyak alternatif untuk bertransaksi melalui platform e-commerce lainnya, Gengs. Esther mengatakan pelarangan social commerce melakukan transaksi jual beli malah berpotensi meningkatkan transaksi dan pengguna e-commerce. Padahal berdasarkan data Bank Indonesia pada 2022, nilai transaksi e-commerce di Indonesia sudah mencapai hampir Rp500 triliun (bisnis.com, 03/10/2023).
Di sisi lain, dari pihak TikTok Indonesia sendiri menyatakan bahwa pelarangan TikTok Shop ini akan menimbulkan dampak buruk terhadap pelaku UMKM yang sudah terlanjur beradaptasi dengan platform TikTok. Menurut Anggini terdapat hampir dua juta bisnis lokal di Indonesia yang menggunakan TikTok sebagai tempat social commerce. Oleh karena itu, Anggini mengatakan keputusan pemerintah untuk memisahkan media sosial dengan e-commerce di TikTok akan menghambat inovasi UMKM yang ada di Indonesia, Gengs. Selain itu, menurut Anggini, larangan tersebut juga akan merugikan banyak pedagang dan konsumen di Indonesia karena akan kehilangan platform penjualan dan marketplace. Hmm, melalui hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah ini sebenarnya belum tuntas untuk menyelesaikan masalah nggak sih, Gengs?
Pemerintah seharusnya mencari akar permasalahan yang ada di lapangan, karena ketika platform medsos yang bergabung dengan e-commerce sebenarnya bisa memudahkan pembeli dan penjual untuk bertransaksi. Persoalan yang sebenarnya terjadi adalah derasnya aliran barang impor sehingga UMKM lokal kalah dalam “persaingan”. Selama ini pemerintah kurang mampu melindungi keberadaan produk lokal. Misalnya seperti proteksi barang UMKM yang sangat minim sedangkan di saat yang bersamaan perjanjian dagang internasional baik bilateral maupun multilateral menetapkan tarif impor 0%. Kondisi ini menjadikan harga barang lokal babak belur. Produk lokal tetap dijual dengan harga yang diinginkan penjual tanpa ada potongan sedangkan produk impor memiliki harga yang murah karena tidak memiliki tarif impor.
Belum lagi jika kita membicarakan tentang akses modal usaha yang sangat sulit. UMKM kesulitan berkembang karena terhambat modal, sementara perusahaan besar terus “berkacak pinggang” karena dikuasai oleh pebisnis kakap. Kalaupun terdapat dana bantuan dari pemerintah untuk UMKM, besarannya pun sangat kecil, ditambah lagi dengan praktik KKN yang terus menjamur di negeri ini, semua ini menyebabkan penyaluran modal usaha mengalami kemacetan. Apalagi berbicara soal APBN yang semakin hari semakin mengalami defisit, sangat sulit untuk diandalkan sebagai penopang modal bagi bisnis UMKM. Bahkan, dengan adanya defisit APBN ini menjadikan pemerintah terus melakukan “babat alas” pendapatannya dari pajak. Sehingga tak heran jika banyak dari pelaku bisnis yang mengalami kesulitan untuk berkembang karena ketentuan pajak tersebut. Jika membayar dompet kempes, tak membayar mendapatkan hukuman.
Strategi TikTok untuk menjadi satu wadah antara media sosial dan e-commerce, sebenarnya hanyalah sebuah inovasi teknologi, Gengs. Adanya TikTok Shop seharusnya merangsang pebisnis untuk mampu beradaptasi dengan inovasi tersebut agar bisnis yang mereka jalankan lancar. Misalnya, terdapat para penjual baju di tanah abang yang sepi dari pengunjung, sekarang bisa terbantu dengan adanya penjualan online. Begitu pun yang seharusnya dilakukan pemerintah, mereka tidak boleh menutup telinga karena banyaknya pedagang yang justru merasa terbantu dengan adanya jual beli di TikTok. Pemerintah seharusnya mampu melihat akar persoalan lebih dalam sehingga kebijakan yang ditetapkan bisa tepat. Gempuran barang impor yang masuk mengalahkan produk lokal inilah yang seharusnya menjadi fokus.
Alih-alih melarang penggunaan TikTok Shop, seharusnya pemerintah segera memperbaiki ekosistem bisnis di tanah air demi melindungi produk lokal. Misalnya dengan mengatur kembali kebijakan transportasi yang dapat memudahkan distribusi barang, Gengs. Namun, saat ini yang terjadi malah sebaliknya, pencabutan subsidi BBM dan penguasaan transportasi oleh swasta terus digencarkan. Bukankah kebijakan ini membahayakan barang lokal? Begitu juga dengan sulitnya akses modal, tarif impor 0%, tarikan pajak tinggi, semua ini akan menambah beban UMKM. Seandainya pemerintah fokus pada akar masalah untuk memperbaiki ekosistem bisnis dalam negeri, apa pun inovasi teknologinya, bagaimanapun bentuknya kesejahteraan UMKM akan tetap terjamin.
Namun, hal ini sepertinya hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Harapan hanya akan menjadi angan. Hal ini dikarenakan ekosistem hidup yang ditumbuhkan pada negeri ini adalah kapitalisme. Kapitalisme memberikan jembatan antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha akan terus menggelontorkan modalnya untuk mampu menguasai pasar tanpa memedulikan keberadaan UMKM. Tak heran jika pemerintah menerapkan tarif 0% untuk setiap barang impor yang masuk, demi menuruti nafsu para tuan yang terus mengisi dompet-dompet mereka.
Berbeda dengan Islam. Negara yang menerapkan sistem Islam akan independen, bebas dari kepentingan lain selain kepentingan umat. Sistem politik yang dijalankan berdasarkan akidah islamiah yang akan melahirkan penguasa yang amanah dan tentunya taat terhadap syariat. Seluruh aturan yang diterapkan tidak akan pernah lepas dari yang pedoman Al-Qur’an dan As-Sunah. Begitu pun dengan dinamika ekonomi, semua akan diselesaikan dengan menggunakan sudut pandang Islam. Islam sangat mendukung adanya perkembangan teknologi dan kebijakannya sangat adaptif terhadap kemajuan teknologi. Jual beli online akan menjadi salah satu wasilah jual beli yang menyejahterakan penjual dan pembeli jika dijaga sesuai syariat.
Selain terdapat dukungan dalam perkembangan teknologi, kesejahteraan rakyat pun dijamin oleh negara. Jika terdapat kepala rumah tangga yang cacat atau sudah tidak sanggup lagi bekerja, maka negaralah yang akan terus bertanggung jawab menyantuni mereka. Kekuatan baitulmal juga ditunjang oleh adanya pengaturan kepemilikan. Misalnya, kepemilikan umum seperti barang tambang, haram hukumnya dikuasai oleh swasta. Negara berkewajiban mengelola dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat dalam berbagai bentuk kemaslahatan. Selain itu negara memiliki regulasi yang sesuai dengan syariat yang memihak kepentingan rakyat. Misalnya larangan ghabn fahisy, yaitu penipuan dengan cara menaikkan atau menurunkan harga barang secara keji (jauh dari harga pasar).
Khatimah
Pada intinya, kebijakan yang melarang TikTok Shop ini bisa dikatakan kurang efektif dalam melindungi UMKM. Pasar Tanah Abang tidak memerlukan regulasi tersebut, melainkan perlu adanya perbaikan ekosistem bisnis yang bebas dari jeratan para cukong pemilik modal. Semua itu sangatlah mustahil terjadi dalam sistem kapitalisme, tetapi akan menjadi sebuah keniscayaan di dalam sistem ekonomi Islam. Dengan mekanismenya yang sesuai dengan Illahi Rabbi, Islam akan mampu membawa umat pada kesejahteraan yang tak hanya sekadar menjadi mimpi. Wallahualam bi shawwab. []
Penutupan tik tok sebagai sarana perdagangan salah satunya adalah karena dari situ pemerintah tidak mendapatkan penerimaan pajak. Jelas dianggap merugikan negara. Itulah watak sistem kapitalisme yang mengenggam asas manfaat dalam setiap interaksinya.
Solusi fatamorgana bagi kebangkitan UMKM. Wes anggel pokoknya kalau bicara sama sistem saat ini. Solusinya hanya di bagian daun doang. Tapi akarnya masih hidup. Pasti nda akan tuntas masalahnya.
Sepakat sama Mbak Ananda
Ya mbak benar sekali, pemerintah lebih berpihak pada korporasi, yang sukanya impor ini dan itu, apalagi minus pajak tadi. Dan seratus juga untuk bu Ragil karena pemerintah kapitalisme itu sangat males ngurusi rakyat dan tidak kreatif
Betul Guys, penutupan TikTop Shop ini sebenarnya tidak akan menjadi solusi untuk melindungi produk lokal. Kalau memang pemerintah peduli dengan produk-produk lokal, ya harusnya merancang strategi biar produk lokal itu punya daya saing yang tinggi. Di situlah peran pemerintah ditunjukkan. Pertanyaannya, apa benar negara peduli?
Betul, dengan artikel ini. Karena harus ada peran pemerintah untuk memikirkan bagaimana perdagangan lewat media apa pun tidak ada yang dirugikan.
Konon, setelah TikTokShop dilarang, aktivitas belanja balik lagi ke Shopee, Lazada, dll. bukan ke belanja offline. Jadi disrupsi ini memang tidak terhindarkan. Sebenarnya bisa banget pemerintah membantu para pedagang agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Pemerintah harus mewujudkan swasembada penuh sehingga untuk komoditas strategis tidak boleh impor. Di sisi lain, kualitas produk dalam negeri ditingkatkan, dengan harga yang kompetitif. Masalahnya, negara kapitalis males banget mikirin rakyat sampai segitunya. Hanya Khilafah negara mukhlis yang mau susah payah meriayah warganya hingga sejahtera. Duh, makin rindu khilafah, ya, Gengs...