Bukan menjadi rahasia lagi, impor gula dan bisnis produk pangan bergula menjadi ladang emas bagi negeri kapitalis ini.
Oleh. Ananda, S.T.P
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Begitulah lagu yang dirilis oleh Koes Plus, band kebanggaan Indonesia di era tahun 70-an. Bagi anak generasi gen Z macam kita, band ini mungkin terasa asing di telinga ya, Gengs. Kita hanya tahu lagunya, tapi enggak mengenal siapa yang menyanyikannya, hehehe. Ngomongin soal lagu kolam susu nih, di dalam liriknya ‘kan ada kalimat “ikan dan udang menghampiri dirimu” dan “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. It means that, rakyat Indonesia tuh sebenernya kaya pake banget nggak sih?
Kaya Hanyalah Sebuah Cover
Bagaimana nggak kaya? Wong ikan dan udang sangat melimpah sampai seakan-akan kayak “menghampiri” kita dengan sendirinya. Tanam kayu dan batu saja, bisa bim salabim abrakadabra jadi tanaman, kalau ditanam di negeri kita ini. Jarjit kalau lihat Indonesia pasti bilang “Dua tiga ikan paus, Indonesia sangat marvelous”. Begitu juga dengan Mei Mei pasti bilang “Saya suka, saya suka, Indonesia kaya sangat ma …”
Hmm … tapi di balik itu semua, ada yang bikin sedih nih, Gengs. Meskipun Indonesia sumber daya alamnya melimpah banget, tetap aja sampai sekarang masalah gizi masih jadi PR. Di sekitar kita masih banyak orang yang susah cari makan, anak-anak yang kekurangan gizi, dan balita yang stunting. Ada juga yang mudah mendapatkan makanan tapi memiliki pola hidup yang tidak sehat. Akibatnya dengan mudah terkena penyakit degeneratif pada orang dewasa macam diabetes, strok, jantung yang hampir setiap hari mengalami peningkatan. Dilansir dari laman Kementerian Kesehatan RI (27/09/2021) penyakit seperti jantung, kanker, strok, gagal ginjal tiap tahun terus meningkat dan menempati peringkat tertinggi penyebab kematian di Indonesia, terutama pada usia-usia produktif. Data Riskesdas menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular seperti hipertensi meningkat dari 25,8% (2013) menjadi 34,1% (2018), strok 12,1 per mil (2013) menjadi 10,9 per mil (2018), penyakit jantung koroner tetap 1,5% (2013-2018), penyakit gagal ginjal kronis, dari 0,2% (2013) menjadi 0,38% (2018).
Bahkan yang begitu mengagetkan, di tahun 2023 ini banyak anak yang terkena diabetes, hepatitis, dan gagal ginjal. Padahal secara umum penyakit-penyakit ini diderita orang yang dewasa ‘kan, Gengs? Tapi di tahun ini, yang kena ternyata masih pada bocah. Anak-anak yang umurnya masih hitungan jari sudah kena aja, nggak habis thingking memang, benar-benar diluar nalar ….
Benang Ruwet Permasalahan Gizi di Indonesia
Pemerintah sebenarnya sudah coba bikin kebijakan ini dan itu sih, Gengs. Bulan ini “ngetok” peraturan A, bulan depannya “ngetok” peraturan B, sampe ada peraturan yang diketok tengah malam pula. Iya, waktu kita masih asyik berlibur ke pulau kapuk, ternyata ada kebijakan yang disahkan. Meskipun sudah banyak kebijakan, masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan. Misalnya saja untuk kasus diabetes anak, pemerintah menerbitkan aturan tentang perincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023, yang salah satunya berisi target penerimaan cukai dari plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Pemberlakuan kebijakan cukai tentu tidak cukup menangani maraknya penyakit diabetes, Gengs. Hal ini dikarenakan, diabetes muncul bukan semata-mata karena faktor keturunan, tetapi juga karena kesalahan pola makan. Seperti yang sudah kita tahu, anak-anak suka mengonsumsi makanan/minuman manis. Di samping itu, rendahnya pemahaman para ibu tentang gizi juga menjadi faktor pendukung penyakit ini begitu menjamur. Banyak ibu justru memilih memberikan krim kental manis dibandingkan susu formula, protein hewani, ataupun sayuran kepada anak-anaknya. Minimnya pemasukan dalam keluarga juga menjadikan ibu terpaksa membelikan anaknya makanan atau minuman yang kurang bergizi. Harga krim kental manis sudah pasti lebih terjangkau dibandingkan susu formula ‘kan, Gengs? Keluarga tidak memiliki cukup uang untuk membeli kebutuhan protein hewani dan sayur-sayuran yang semakin mahal.
Selain itu, minimnya pengetahuan gizi para penjual makanan/minuman seperti warung di pinggir jalan ataupun warteg juga turut serta menjadi faktor pendukung menjamurnya penyakit degeneratif lain seperti jantung. Penggorengan yang berulang sampai minyak menghitam, berbagai macam jenis minuman dengan kandungan gula yang sangat tinggi, sangat marak diperjualbelikan. Makanan yang digoreng berulang memicu penyumbatan pembuluh darah di jantung, minuman dengan gula yang tinggi memicu penyakit diabetes. Bagi konsumen yang juga memiliki pengetahuan gizi yang rendah, mulai dari anak-anak sampai dewasa menjadi pelaris makanan dan minuman tersebut. Kalaupun ada yang memiliki pengetahuan gizi, mereka juga tetap membeli makanan dan minuman tersebut. Asalkan perut terisi, urusan penyakit dipikir nanti.
Impor Gula, Memperparah Persoalan Gizi
Lebih parahnya, masalah ini semakin runyam karena derasnya impor gula yang masuk ke Indonesia. Per Januari 2023 saja, pemerintah memutuskan untuk mengimpor 4.641.000 ton gula, Gengs. Di mana 991.000 ton gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi; gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri makanan/minuman sebanyak 3,6 juta ton; dan 50.000 ton lagi gula untuk kebutuhan khusus. Bukan menjadi rahasia lagi, impor gula dan bisnis produk pangan bergula menjadi ladang emas bagi negeri kapitalis ini. Renten impor maupun laba penjualan produk pangan manis tentu saja terlalu sulit untuk diabaikan. Di mana ada cuan, di situlah ladang mencari keuntungan.
Dunia bagaikan hanya milik pengekspor dan pengimpor, yang lain hanya numpang saja. Di samping itu, jika keran impor dibuka lebar-lebar maka semakin lebar pula pajak yang diberlakukan. Pajak yang menjadi sumber pemasukan negeri ini (APBN) harus selalu digenjot, karena pajak menjadi sumber terbesar penopang APBN. Tidak peduli apa ada efek-efek lain yang ditimbulkan, asalkan ada cuan semua bisa terlaksanakan. Bagaimana anak-anak tidak terkena diabetes dini, Gengs? Jika para penguasa justru menggelar karpet merah untuk impor gula dan cukai minuman manis bahkan menjadikannya pos strategis bagi APBN? Sebagian besar produk makanan/minuman anak-anak rasanya manis. Secara fisiologis pun tubuh manusia khususnya anak-anak paling cepat dalam menyerap kadar glukosa. Semua ini jelas kontraproduktif karena aturan yang diberlakukan malah menyalahi efek yang timbul dari penerbitan aturan tersebut.
Solusi Illahi untuk Persoalan Gizi
Hmm … hmmm … macam mana penyakit nggak berdatangan kalau solusinya nggak menyelesaikan permasalahan, Gengs? Butuh segera nih solusi yang bukan hanya menyelesaikan permasalahan. Solusi itu hanya ada pada Islam, Gengs. Dalam Islam terdapat paradigma pangan tayib. Hal ini sebagaimana firman Allah Taala yang artinya, “Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik (tayib) dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).
Dalam Islam, industri minuman berjalan sesuai dengan aturan syariat, di mana wajib menggunakan bahan yang halal dan tayib, Gengs. Prosesnya juga harus mengikuti prosedur yang diperbolehkan dalam syariat, misalnya menggunakan bahan-bahan tambahan yang juga halal. Produk makanan minuman yang dibuat juga harus berupa produk halal dan tayib, tidak haram seperti khamar. Selain itu, produk-produk yang dihasilkan industri tidak menjadi inisiator maupun promotor munculnya berbagai penyakit degeneratif. Jadi selain halal, produk minuman maupun makanan harus benar-benar tayib, tidak menimbulkan penyakit, apalagi sampai toksik (beracun). Karena produk pangan yang mengarah pada zat yang toksik pasti akan menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang mengonsumsinya.
Rasulullah saw., bersabda “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah.” (HR Muslim).
Selain itu, dalam Islam bagi siapa saja yang mengemban amanah sebagai penguasa, mereka akan memberlakukan peraturan Islam secara sempurna dan melayani rakyatnya dengan baik serta menindak tegas bagi siapa saja yang melanggar peraturan yang tidak sesuai syariat. Berbeda dengan penguasa dalam sistem kapitalis yang hanya mengutamakan kepentingan industri apalagi perusahaan global. Padahal Rasulullah saw., pernah bersabda “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”
Hal ini seperti yang pernah terjadi di zaman kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Umar memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya dengan memberikan santunan yang cukup besar pada setiap anak baik yang masih menyusu maupun sudah selesai disapih sehingga para ibu merasa tenteram dan bahagia mengasuh anak-anak mereka. Negara juga memberikan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi kepala keluarga sehingga para istri tidak terbebani untuk bekerja.[]
kasihan nasib bangsa ini, bak anak ayam yang mati di lumbung padi. kekayaan negeri habis dijarah asing. negara hanya berpihak pada kapitalis. alhasil, rakyat dipaksa bertahan dengan kerasnya sistem negara yang tidak pernah berpihak pada mereka. yang kaya makin meraja, yang miskin makin merana.
Betul, diabetes memang bukan semata-mata keturunan. Ada banyak faktornya. Namun, kondisi ekonomi yang sulit memang membuat banyak rakyat yang tidak bisa memperhatikan kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsi. Harusnya ini jadi tanggung jawab negara. Inilah kesalahan tata kelola negara di bawah sistem kapitalisme yang tidak memprioritaskan urusan rakyat.