Memutus Gurita Korupsi di Tubuh Pejabat Negeri

"Wacana menindak tegas para koruptor hanya akan tetap menjadi wacana selama hukum ini masih berada di lingkaran sistem demokrasi. Oleh karena itu, kita butuh sistem yang tegas, yang benar-benar tak pandang bulu dan tebang pilih dalam menindak, menyidik, dan memberantas berbagai skandal kasus korupsi maupun suap-menyuap di tubuh pejabat negeri."

Oleh. Miladiah al-Qibthiyah
( RedPel NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-Halo, Guys! Tahu gak penggalan lirik lagu karya Mas Iwan Fals di bawah ini?

Tikus-tikus tak kenal kenyang
Rakus, rakus, bukan kepalang
Otak tikus memang bukan otak udang
Kucing datang tikus menghilang

Sungguh sangat disayangkan ya, Guys, ya. Kasus korupsi, suap di negeri tercinta kita, khususnya yang melilit pejabat negeri sampai hari ini sepertinya sangat sulit untuk diberantas. Memang benar kata orang-orang semakin tinggi jabatan, semakin tidak puas dengan pencapaian. Rasa untuk memiliki sesuatu yang lebih dan lebih lagi selalu ada. Jika melihat rentetan kekayaan para pejabat negeri terkadang bikin hati meringis ketika di saat yang sama tiba-tiba keadaan rakyat terlintas di benak kita.

Kalian pasti pada tahu 'kan Gubernur Lukas Enembe, Papua, yang saat ini tengah menjadi sorotan sebab deretan skandal yang menerpa dirinya. Mulai dari dugaan korupsi hingga kegiatan judi di luar negeri. Sang gubernur telah resmi ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua serta dugaan gratifikasi sebesar Rp1 miliar pada 5 September 2022 lalu. Kebayang gak, Guys? Duit 1 miliar itu nilainya besar, lho.

Ini yang aku maksud tadi tentang rasa tidak puas yang dirasakan oleh pejabat negeri. Jadi timbul pertanyaan 'kan, kok bisa? Bukannya mereka sudah bergelimang harta? Bukannya gaji dan tunjangan mereka besar? Adakah yang salah dengan dunia politik di dalam negeri ini? Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita intip dulu, yuk skandal doi!

Skandal Kasus sang Gubernur

Jadi, Guys, sudah banyak portal berita yang mengabarkan skandal kasus korupsi Lukas Enembe. Seperti yang dikabarkan media Kompas.com pada 26 September 2022 lalu, Mahfud MD selaku (Menko Polhukam), memaparkan hasil rapat koordinasi terkait persoalan hukum yang menjeratnya. Apa sajakah itu? Ratusan miliar dana operasional pimpinan, dana pengelolaan PON, kemudian adanya manajer pencucian uang yang dilakukan atau dimiliki Lukas Enembe. Bahkan saat ini katanya sih ada blokir rekening atas rekening Lukas Enembe sebesar Rp71 miliar. Oh, my God!

Belum lagi dengan berita skandal judinya yang mengalir ke kasino senilai Rp560 miliar. Demi apa yaa Rabb! Ini bukan aku yang ngadi-ngadi ya, Guys, ya! Tetapi ini sudah diberitakan di berbagai media mainstream nasional. Nih, menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mereka rupanya menemukan kejanggalan dan akhirnya membongkar dugaan penyimpanan dan pengelolaan uang Lukas Enembe yang dinilai tak wajar. Salah satunya adalah adanya transaksi setoran tunai yang mengalir ke kasino itu.

Hadeuh… Skandal judi, Guys. Rupanya sang gubernur gemar berjudi di luar negeri. Jadi tergelitik nih sebenarnya gimana sih praktik politik di negeri ini? Kenapa pejabatnya gak kapok bikin skandal? Ataukah memang politik dalam negara demokrasi itu jauh dari kata bersih?

Praktik Politik Demokrasi

Sebenarnya kita sudah bisa baca dan menilai, ketika sebuah negara membentuk lembaga pemberantasan korupsi, maka tak dimungkiri ada praktik-praktik kotor yang membelit negara tersebut. Praktik suap-menyuap maupun korupsi dalam sistem politik demokrasi rupanya telah lumrah terjadi, Guys. Bagaimana tidak, jika sedari awal hak membuat hukum secara penuh diserahkan pada rakyat, maka itu pertanda kalau demokrasi adalah produk gagal sebab memercayakan hukum pada akal manusia yang terbatas, alhasil akan menghasilkan individu-individu gagal yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Bisa dibilang ini adalah salah satu kecacatan yang dimiliki sistem ini.

Yang paling miris adalah pejabat negeri yang notabene wakil rakyat yang diklaim sebagai representasi umat, rupanya merekalah yang menumbuhsuburkan praktik kotor tersebut. Memang seperti inilah wajah suram demokrasi. Sistem ini akan membentuk sifat rakus, Guys. Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan mengguritanya korupsi di tubuh pejabat negeri. Salah satunya adalah mahalnya biaya politik demokrasi. Demi mengembalikan modal mereka yang terkuras akibat biaya politik tadi, maka mereka mengambil jalan pintas dengan 'memakan' hak rakyat melalui praktik suap ataupun korupsi.

Lebih jelasnya, Guys, demokrasi itu bukan anak kandung Islam, sama sekali gak ada hubungan 'sedarah' dengan Islam. Melainkan merupakan anak kandung kapitalisme yang sangat kokoh dengan landasan sekularismenya. Kalian tahu 'kan makna hakiki sekularisme? Yah, sebuah asas yang mencampakkan Islam untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Asas ini benar-benar mencampakkan aturan Tuhan dalam mengurusi urusan manusia di dunia ini. Seolah-olah agama Islam itu membawa penyakit alergi bagi pemuja sistem demokrasi ini. Sampai di sini kalian paham 'kan kalau sistem ini amat mustahil mewujudkan pemimpin dan pejabat yang takut pada Sang Pencipta manusia, yakni Allah Swt.

Lemahnya Hukum Demokrasi

Sudah jadi jadi rahasia umum ya, Guys, ya kalau hukum dalam sistem demokrasi tampak tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Akan halnya yang terjadi pada kasus pemberantasan korupsi. Seolah lembaga KPK begitu sulit mengungkap, menyidik, bahkan proses hukum terhadap pelaku koruptor terkesan panjang berliku. Apatah lagi jika kasus tersebut besar dan yang terlibat adalah para pejabat penting yang punya akses kekuasaan dan modal (keuangan).

Belum lagi dengan pelemahan KPK melalui revisi UU No. 30 Tahun 2002 menjadi UU No. 19 Tahun 2019, dengan sejumlah kewenangan yang telah dihilangkan atau direduksi, Guys. Jadi lembaga KPK yang seharusnya independen malah kewenangannya dilemahkan melalui poin-poin revisi UU tersebut. Di antaranya: 1) pelemahan independensi KPK; 2) pembentukan Dewan Pengawas dengan sejumlah kewenangan yang membatasi kewenangan Pimpinan KPK; 3) kewenangan untuk menerbitkan SP3 dan penghentian penuntutan; dan 4) alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Otomatis pegawai KPK harus mengikuti aturan pedoman perilaku dan kode etik ASN, dong!

So, Guys, wacana menindak tegas para koruptor hanya akan tetap menjadi wacana selama hukum ini masih berada di lingkaran sistem demokrasi. Oleh karena itu, kita butuh sistem yang tegas, yang benar-benar tak pandang bulu dan tebang pilih dalam menindak, menyidik, dan memberantas berbagai skandal kasus korupsi maupun suap-menyuap di tubuh pejabat negeri.

Khilafah Solusi Tuntas

To the point aja ya, Guys. Sistem tegas, tak pandang bulu dan tebang pilih yang aku maksud di atas tadi adalah sistem Islam yakni Khilafah yang merupakan bentuk sistem pemerintahan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Dalam pemerintahan Islam (Khilafah) sangat dilarang keras menerima harta ghulul. Harta ghulul itu apa? Yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan pegawai negara dengan cara yang gak _syar’i alias melalui jalan yang tidak halal. Mereka memanfaatkan kekuasaan dan jabatannya untuk melakukan tindak-tindak korupsi maupun suap. Padahal jelas-jelas hal itu termasuk kategori curang. (Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Al-Amwal fiy daulah Khilafah).

Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan hukumnya haram, Guys.

وَمَن يَغْلُلْ { من الغنائم شيئاً يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ القيامة } حاملاً له على عنقه { ثُمَّ توفى } توفر { كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ } بما عملت من الغلول وغيره { وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ } لا ينقص من حسناتهم ولا يزاد على سيئاتهم

“Barang siapa yang berkhianat dari harta ghanimah sedikit pun, maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya.” (Tafsir Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I).

Lalu, bagaimana strategi Khilafah dalam memberantas kasus-kasus korupsi?

Pertama, para pemimpin yang lahir dari sistem Islam akan senantiasa bervisi akhirat. Akhirat akan dikejarnya demi mendapat kemuliaan hakiki di kehidupan yang sebenarnya. Mereka yang lahir dari sistem Islam sudah dipastikan memiliki karakter manusia yang bertakwa, amanah, jujur, bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Karakter seperti ini insyaallah akan mencegah terjadinya tindakan curang dalam merampok uang rakyat melalui korupsi, Guys. Sebab mereka senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt.

Kedua, sistem Khilafah memiliki Badan Pengawasan Keuangan. Syekh Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal, menyebutkan bahwa badan pengawasan/pemeriksaan keuangan diadakan untuk mengetahui apakah pejabat tersebut melakukan kecurangan atau tidak, Guys. So, akan ada yang ditunjuk atau diangkat sebagai pihak yang mengawasi kekayaan para pejabat. Ini pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khatthab ra.

Ketiga, Negara Khilafah akan memberikan gaji yang cukup kepada para pejabatnya. Seluruh kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya akan dipenuhi sehingga menutup peluang terjadinya korupsi. Asal kalian tahu, Guys, gaji pejabat dalam Khilafah dipastikan cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya.

Keempat, Khilafah akan menerapkan aturan dan sanksi yang tegas terhadap keharaman praktik korupsi. Tak segan-segan pelaku koruptor akan diberi hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, bahkan dicambuk sampai mati, Guys. Ngeri, gak? Gak dong! Justru hukum yang tegas ini memberi efek jera dan membuat pejabat yang lain enggan untuk melakukan korupsi. Ini juga pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab ra.

Jauh amat ya perbedaan Islam (Khilafah) dengan demokrasi dalam memberantas korupsi. Demokrasi selain hukumnya yang lemah, bisa saja menjadi lahan subur tumbuhnya praktik-praktik kotor tersebut. Sedangkan Islam sangat tegas hukumnya dalam mengadili segala bentuk kejahatan, apalagi kejahatan yang merugikan rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kita butuh Khilafah, Guys. Yuk, ikut andil dalam memperjuangkan penegakannya!

Closing

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ

"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah: 49)

Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Miladiah al-Qibthiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
"Kesaktian" Syariat Islam
Next
Hijrah Bareng Lebih Mudah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram