Literasi rendah karena kurangnya support dari pemerintah dalam menyediakan fasilitas penunjang, seperti penyediaan perpustakaan di setiap kota yang dilengkapi berbagai buku, jurnal, dll.
Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com dan Penulis Get Up, Guys!)
NarasiPost.Com-Hai, Guys! Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB, UNESCO merilis 10 negara dengan tingkat literasi terendah di dunia. Institut Statistik UNESCO (UIS) mengatakan, tingkat literasi global pada orang dewasa di tahun 2021 adalah 86,3%, sedangkan kesepuluh negara yang disebutkan UNESCO memiliki tingkat literasi rata-rata 30% dan mayoritas berada di benua Afrika.
Kondisi ini sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa Utara seperti Finlandia dan Norwegia. Tingkat literasi mereka mencapai 100%. Wow! Lalu, bagaimana dengan negara kita? Masih menurut UIS, dari 208 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-100 dengan literasi 95,44%. Ternyata posisi Indonesia masih kalah dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina 96,62% di posisi ke-88, Brunei urutan ke-86 dengan 96,66% dan Singapura urutan ke-84 dengan 96,77% (detik.com, 16-07-2024).
Apa Itu Literasi?
Selama ini kita mengenal kata literasi selalu dikaitkan dengan dunia membaca, iya ‘kan? Ternyata pengertian literasi lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca, keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup, serta penggunaan huruf untuk merepresentasikan bunyi atau kata.
UNESCO memiliki definisi yang berbeda tentang literasi yang dimaknai sebagai keterampilan mendasar yang dimiliki individu dan masyarakat. Literasi dianggap penting agar seseorang bisa meningkatkan akses terhadap informasi, kesempatan kerja, dan mendorong inklusi sosial. Bisa dibayangkan, jika tingkat literasi seseorang rendah, maka kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan kerja yang memadai pun akan sulit. Benar, enggak?
Literasi dan Minat Membaca
Pada faktanya, faktor yang memengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat literasi tidak akan jauh dengan aktivitas membaca dan minat untuk membaca. Sebuah negara yang masyarakatnya memiliki minat membaca rendah, maka tingkat literasinya pun rendah.
Pada tahun 2016, riset tentang World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University menyatakan, Indonesia berada di posisi ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Padahal, dari sisi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, Indonesia berada di atas negara Eropa.
Di tahun 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaporkan, nilai budaya literasi Indonesia sebesar 57,4 poin, naik 5,7% dibandingkan tahun sebelumnya (boks.katadata.co.id, 4-10-2023). Meski demikian, nilai ini masih dinilai minim untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini dinyatakan oleh Kepala Badan Bahasa Kemendikbudristek Aminudin Aziz. Ia menjelaskan nilai budaya literasi Indonesia belum cukup memadai untuk kompetensi unggul dan berkualitas bagus.
Faktor Penyebab Rendahnya Literasi
Lalu, apa yang menyebabkan rendahnya tingkat literasi sebuah negara? Menurut laporan UIS 2021, beberapa faktor yang memengaruhi tingkat literasi, antara lain: akses terhadap pendidikan, kualitas pendidikan, kondisi sosial ekonomi, dan sikap budaya terhadap pendidikan. Jika diperhatikan, negara-negara dengan tingkat literasi rendah adalah negara yang memiliki persoalan serius dengan permasalahan ekonomi seperti kemiskinan dan kurangnya akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Sementara, negara dengan tingkat literasi tinggi memiliki infrastruktur pendidikan yang kuat dan kebijakan pemerintah yang mendorong literasi.
Tak jauh berbeda dengan negara kita. Rendahnya minat membaca pada masyarakat bisa disebabkan oleh beberapa faktor:
Pertama, terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber literasi seperti perpustakaan, buku, dan media cetak. Rendahnya tingkat ekonomi membuat masyarakat enggan untuk membeli buku yang harganya pun tidak murah. Jumlah perpustakaan pun sedikit dengan jam operasional yang terbatas dan suasana yang kaku, membuat masyarakat enggan membaca buku di sana. Bandingkan dengan perpustakaan yang ada di Jepang dan Finlandia, misalnya. Perpustakaan di sana dilengkapi dengan berbagai jenis buku, jurnal, CD, DVD untuk anak-anak dan dewasa. Desain interior yang menarik dan dilengkapi dengan berbagai program yang diselenggarakan perpustakaan, menjadi daya tarik sendiri dan membuat betah untuk berlama-lama “melahap” buku.
Kedua, kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan di negara kita belum merata. Tidak meratanya fasilitas penunjang pendidikan membuat minat membaca menjadi turun.
https://narasipost.com/opini/04/2021/budaya-malas-baca-cerminan-bangsa-yang-gagal/
Ketiga, penggunaan teknologi digital yang enggak terarah. Tak dapat dimungkiri bahwa zaman sekarang teknologi digital sudah menjadi sahabat masyarakat. Namun, penggunaan yang tidak tepat ikut memengaruhi minat membaca. Alih-alih digunakan untuk mencari informasi, teknologi digital lebih banyak digunakan untuk aktivitas nirfaedah.
Saatnya Berbenah!
Guys, sudah saatnya negara kita berbenah dan segera meningkatkan minat literasi. Dengan meningkatnya minat literasi, masyarakat akan mendapatkan pengetahuan, berpikir kritis, inovatif, selalu up date dengan perkembangan pengetahuan, dan yang lebih penting lagi bisa memperbaiki taraf kehidupan.
Support dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan minat literasi masyarakat. Dimulai dari penyediaan fasilitas penunjang, seperti penyediaan perpustakaan di setiap kota yang dilengkapi berbagai buku, jurnal, dll. Mutu pendidikan yang merata di setiap daerah harus menjadi perhatian utama. Tak kalah penting adalah dorongan agar masyarakat mau membaca dimulai dari para pemegang kekuasaan. Pemimpin negara, daerah, dan para pejabat lainnya harus memberikan contoh suka membaca. Kalau pemimpinnya enggak suka membaca, bagaimana rakyatnya mau membaca, iya enggak?
Aktivitas membaca sebenarnya sudah Allah Swt. perintahkan ribuan tahun yang lalu. Wahyu pertama yang turun dan disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. adalah perintah membaca. Seperti firman Allah Swt. dalam surah Al-Alaq ayat 1-5 yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (TQS. Al-Alaq: 1-5)
Guys, di masa Islamic golden age atau masa keemasan Islam antara 8-13 M tingkat literasi generasi muslim luar biasa, lo. Pada masa ini, ditandai dengan berdirinya Bait Al Hikmah di masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid. Bait Al Hikmah adalah perpustakaan terbesar di Irak dan di seluruh dunia pada masa itu. Kemudian dikembangkan oleh Khalifah Al Makmun yang menjadikannya sebagai pusat kajian keilmuan.
Ada lagi Perpustakaan Cordova di Andalusia yang didirikan tahun ke-10 M. Di sana terdapat 400.000 judul buku yang membuat kaum muslim saat itu bersemangat mengembangkan ilmu pengetahuan mereka hingga berhasil menjadi ilmuwan hebat yang mendunia. Siapa enggak kenal Ibnu Sina yang ahli di bidang kedokteran, Al Farabi ahli filsafat, Al Khawarizmi ahli di bidang matematika dll.
Belum lagi penghargaan terhadap buku. Kaum muslim berlomba-lomba menulis kitab atau buku sebagai bentuk kecintaan terhadap ilmu. Para penulisnya pun diberikan reward oleh khalifah. Di masa Khalifah Al Makmun, beliau pernah memberikan hadiah emas kepada Hunain bin Ishak seberat buku-buku yang ia tulis. Masyaallah.
Terbukti ‘kan kalau tingkat literasi ikut memengaruhi kemajuan peradaban sebuah negara? Belum terlambat, kok untuk negara kita berbenah.
Wallahu a'lam bishawab.[]