”Nah, mekanisme politik yang sarat untung rugi inilah yang memicu pejabat korupsi, demi balik modal biaya kampanye yang fantastis.”
Oleh. Yana Sofia
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap lima tahun sekali pemerintah mengadakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Mereka yang terpilih akan dipercayakan mengurus bangsa mewakili rakyat. Namun, belakangan ini kasus korupsi di tubuh pemerintahan marak terjadi. Pejabat berulah jadi "tikus berdasi", yang makan uang rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya sendiri.
Inilah yang kita sesalkan, Bestie! Para koruptor ini ada di seluruh lini pemerintahan di jajaran DPR, Mahkamah Agung (MA), bahkan birokrat. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menko Polhukam Mahfud Md, yang juga menyesalkan banyaknya transaksi haram yang terjadi di DPR dan MA. "Di DPR ada conflict of interest. Pekerjaan anggota DPR, tapi punya konsultan hukum. Nanti kalau ada masalah, 'tolong dibantu ini, itu'. Dibawa ke pengadilan, pengadilannya korupsi lagi. Sampai hakimnya ditangkap, jaksa ditangkap, polisi ditangkap dan seterusnya," tutur Mahfud. (Detik.com, 11/06/2023)
Astagfirullah! Para pejabat ini, bukannya sudah ada gaji sendiri? Lantas, kenapa korupsi? Adakah sistem sanksi yang bisa membasmi korupsi sampai ke akar?
Akibat Sistem Sekuler
Jika kita telusuri faktor yang mendorong perilaku korupsi, kita akan menemukan sumber masalah mengerucut jadi satu, Bestie. Tidak lain karena diterapkannya sistem sekuler kapitalisme dalam kehidupan bernegara, yang mendorong perilaku politik yang berorientasikan bisnis untung dan rugi. Karena dalam sistem kapitalisme standar kebahagiaan adalah materi. Jika seseorang ingin bahagia maka raihlah materi sebanyak-banyaknya. Dari sini, lahirlah pejabat yang tamak, demi mencapai keuntungan materi, mereka pun korupsi.
Nah, ini tadi faktor internal, Bestie, yang berasal dari pribadi pejabat itu sendiri. Faktor internal ini, gak akan muncul dengan sendirinya jika tidak didorong oleh sistem berbasis kapitalisme yang tercermin lewat praktik bagi-bagi "kursi" dalam pesta demokrasi. Setiap parpol gak akan mungkin eksis tanpa kerja sama antara pejabat dan pengusaha. Pasalnya, biaya politik itu mahal, Bestie. Parpol butuh dana yang besar untuk membiayai berbagai kegiatan politik, salah satunya kampanye menjelang pemilu.
Ya tentu saja, korporat dan pemilik modal gak akan memberikan dana kampanye politik secara cuma-cuma, Bestie. Jangan lupakan, bahwa dalam dunia kapitalis “tidak akan pernah ada makan siang gratis". Nah, mekanisme politik yang sarat untung rugi inilah yang memicu pejabat korupsi, demi balik modal biaya kampanye yang fantastis.
Selanjutnya, kebobrokan yang dihasilkan paham sekuler juga berimbas pada sistem sanksi. Keberadaan sanksi yang tebang pilih dan identik dengan praktik hukum yang tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah, juga kerap kita jumpai di alam demokrasi. Jika rakyat bersalah, hukum tajam, tak kenal ampun. Sementara bagi pejabat yang korupsi malah dihukum ringan, bahkan diberikan remisi. Pantas saja, korupsi sulit dibasmi. Selama negara berhukum dengan sistem sekuler kapitalisme, maka selamanya korupsi akan menjadi tradisi.
Merugikan Rakyat
Jelas, keberadaan "tikus berdasi" di tubuh pejabat sangat merugikan rakyat dan menambah beban umat. Pasalnya, rakyat sudah sangat menderita diimpit kemiskinan dan problem sosial lainnya. Karena itu, rakyat merindukan hidup sejahtera bebas dari belenggu kemiskinan. Sayangnya, cita-cita itu harus pupus oleh pengkhianatan penguasa korup yang serakah dan tidak amanah.
Menurut data dari KPK, ada lebih dari 1.300 kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat publik rentang waktu 2004-2022. Di mana kasus yang paling banyak ada di wilayah pemerintah pusat yakni sebanyak 430 kasus, Jawa 410, Sumatra 311, Kalimantan 69, Sulawesi 51, Papua 32, Kepulauan Nusa Tenggara 17, Maluku 15, dan Bali 8 kasus. (Cnbcindonesia.com, 06/04/2023)
Innalillahi, ternyata selama ini kita dikelilingi oleh pejabat yang korup jelmaan "tikus berdasi", Bestie. Mereka memakan uang rakyat, sehingga negara mengalami kerugian yang amat besar. Menurut data yang dirilis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah, dari hasil penanganan korupsi sepanjang 2022, tercatat kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp144,2 triliun dan USD61.948.551. Angka ini mewakili kerugian keuangan negara sebesar Rp34,6 triliun dan USD61.948.551, juga kerugian perekonomian negara sebesar Rp109,5 triliun. (Merdeka.com, 07/01/2023)
Coba bayangkan, Bestie! Jika uang yang begitu banyak itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program-program sosial, tentu akan berdampak positif bagi kemajuan bangsa. Sayangnya, jumlah dana yang begitu besar itu, malah dikorupsi oleh pejabat yang khianat. Ya, untuk apa lagi, selain untuk memperkaya diri dan kelompok mereka.
Inilah wajah pemerintahan ala sekuler demokrasi, Bestie. Jangan heran jika sistem ini melahirkan pejabat yang korup. Sebanyak apa pun rezim diganti, selama sistemnya masih sama, maka bisa dipastikan korupsi akan terus langgeng. Karena demokrasi yang slogannya, "Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" adalah instrumen para kapitalis untuk menipu rakyat. Mereka mengatakan bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan", padahal Tuhan yang dimaksud adalah para pemilik modal dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Nah, bagaimana, Bestie, masih betah hidup di bawah sistem sekuler kapitalisme? Atau kita sudahi saja, detik ini?
Solusi Hakiki
Mekanisme "bagi-bagi kursi" di ajang pesta demokrasi, tidak akan kita temukan dalam sistem pemerintahan Islam, Bestie. Sebab, dalam Islam pemimpin dipilih bukan untuk menjadi pembuat hukum (legislatif), tetapi untuk menjamin penerapan syariat Islam kaffah dalam kehidupan negara.
Pejabat hanya perlu menjalankan kepemimpinannya dengan sikap amanah, penuh tanggung jawab melayani rakyatnya dengan pelayanan terbaik. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Lantas, bagaimana jika dalam sistem Islam terjadi korupsi? Apakah akan terjadi tebang pilih juga, sebagaimana sistem sekuler hari ini?
Jawabannya, tentu saja tidak! Sebab, solusi yang ditawarkan Islam bersumber dari wahyu yang tidak pernah berubah-ubah, bukan lewat RUU yang disahkan di DPR. DPR itu adalah lembaga yang terdiri dari manusia yang akalnya terbatas, serba kurang, dan lemah. Hukum yang dihasilkan oleh akal yang terbatas bisa menimbulkan perpecahan, pertentangan, perselisihan, serta ketidakadilan. Karena itu, Bestie, kita butuh aturan yang menyatukan perbedaan, adil, dan membawa kemaslahatan. Aturan itu wajib bersumber dari Allah Swt. Yang Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk hamba-Nya.
Terkait korupsi, Allah Swt. dan Rasul-Nya melarang keras bagi pejabat untuk mengambil hak orang lain, menyuap dan disuap, serta berkhianat atas kepemimpinannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
Selain itu, Rasulullah saw. juga pernah berpesan agar pejabat menjauhkan diri dari aktivitas suap-menyuap, korupsi, juga gratifikasi dalam sebuah hadis yang berbunyi, "Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan." (HR. Abu Dawud)
Lantas, bagaimana jika ternyata negara mendapati pejabatnya memakan harta rakyat dan menerima suap? Islam akan menindaknya dengan tegas, Bestie, dengan ketentuan sanksi penjara, bahkan hukuman mati yang disesuaikan dengan keputusan kadi sebagai takzir yang berefek jawabir (menghilangkan dosa) si koruptor di akhirat kelak. Selain itu, sanksi Islam juga mengandung efek zawajir (efek jera) agar pejabat lain tidak mengulangi hal yang sama.
Khatimah
Bagaimana Bestie? Keren, 'kan, pemerintahan dalam Islam? Itu karena landasan kehidupan bernegara dalam Islam hanya bersumber dari syariat Islam yakni Al-Qur'an dan sunah, yang bersifat universal berlaku untuk seluruh manusia, sehingga mampu menghasilkan solusi menyeluruh dan sistematis untuk menghilangkan korupsi dari akar.
Karena itu, yuk bersegera campakkan sistem bobrok sekularisme, beserta rezim korupnya. Lalu kita gantikan dengan sistem Islam, yang merepresentasikan kepemimpinan yang amanah, yang karenanya pemimpin dicintai rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah,
"Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintaimu." (HR. Muslim)[]
inilah jika terlalu cinta dunia.. tidak akan pernah puas, selalu merasa kurang dan kurang..
Selama sistemnya Kapitalisme, negeri ini akan terus berternak tikus berdasi..wkwkwk
Memang orang yang korupsi itu seperti orang yang minum air laut. Merasa haus terus. Plus berada dalam habitat yang nyaman. Yakni sistem Demokrasi yang fakta aslinya adalah dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki.
Korupsi itu terjadi karena bawaan sistem yang sudah cacat sejak awal. Maka, benarlah kata salah seorang budayawan, kenapa kita selalu mempromisikan batik, reog? Kok bukan korupsi? Padahal, korupsilah budaya kita yang paling mahal. Ngerinya negeri ini!
Korupsi yang dulu dibenci banyak orang sekarang banyak dijalanin orang. Ini tuh bukti kalau korupsi enggak cuma lahir dari orang-orang yang enggak amanah, tapi juga karena sistem yang diterapkan juga sistem yang enggak bener.
Heran tapi mau bagaimana lagi. Yang katanya gaji berpuluh-puluh juta namun tetap saja korupsi yang utama. Dilakukan para pejabat dewan rakyat tapi mungut uang rakyat, hadehh tak akan ada habisnya jika bukan peraturan Islam yang diutamakan pemerintah maka yang berkuasa tetap berkuasa yang dibawah menjadi injakannya.