"Enggak ada sedikit ruang pun bagi militer untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Kalaupun diperlukan pendapatnya dalam menentukan kebijakan politik, hanya sebatas nasihat. Enggak lebih. Hanya kepala negara yang berhak untuk mengambil atau tidak nasihat tersebut."
Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hai, Guys! Apa kabar nih? Baru-baru ini ada kabar yang menghebohkan dari militer kita. Ada wacana akan direvisinya Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diusulkan oleh Markas Besar (Mabes) TNI yang kemudian menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pasal yang dikritisi antara lain adanya jabatan wakil panglima TNI yang sebelumnya tidak ada (pasal 13 ayat (3)), diperpanjangnya masa dinas keprajuritan hingga usia 60 tahun (pasal 53).
Ada lagi nih pasal yang banyak banget mendapat kritik yaitu usulan prajurit TNI aktif agar bisa menduduki jabatan sipil lebih banyak di kementerian atau lembaga. Sebelumnya, Pasal 47 UU TNI mengatur, prajurit TNI bisa menduduki jabatan di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Sedangkan dalam usulan perubahan UU, wewenang prajurit TNI aktif bisa lebih luas lagi karena bisa menjabat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, BNPT, BNPB, Badan Nasional Pengamanan Perbatasan, Kejaksaan Agung, dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden (Kompas.com, 13/5/2023). Wow banget 'kan!
Penuh Kontroversi
Draf usulan perubahan Undang-undang No. 34 Tahun 2004 yang sedang digodok oleh Mabes TNI akhirnya menuai kontroversi. Beberapa pengamat menolak usulan ini, bahkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saja tidak menyambut baik usulan ini. Menurutnya, undang-undang yang saat ini berjalan sudah bagus kok, jadi enggak perlu diubah lagi.
Revisi undang-undang ini dinilai mencederai nilai reformasi bahkan dikhawatirkan akan kembali menghidupkan dwifungsi ABRI. Itu lo, Guys, gagasan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru yang menyebutkan kalau TNI terutama TNI Angkatan Darat punya dua peran, yaitu pertama, menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua, memegang kekuasaan dan mengatur negara. Nah, kondisi inilah yang dikhawatirkan oleh Wapres KH. Ma'ruf Amin. Jadi, kalau perwira TNI aktif merangkap dua posisi, yaitu sebagai perwira dan mengisi jabatan sipil, maka sama saja TNI dan pemerintahan negeri ini akan kembali kepada masa orde baru. Iya enggak sih?
Efisiensi tubuh TNI pun dipertanyakan terutama tentang adanya jabatan wakil panglima dan diperpanjangnya masa jabatan perwira aktif hingga usia 60 tahun. Enggak terbayang 'kan kalau ada prajurit TNI yang sudah sepuh tapi masih aktif bertugas. Kondisi ini yang dipertanyakan oleh Pengamat Militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas. Dia juga menilai kalau revisi undang-undang ini berpotensi adanya overlap atau tumpang tindih dengan tugas Polri.
Militer sebagai Penjaga Negeri
Guys, kontroversi revisi Undang-undang No. 34 Tahun 2004 ini sebenarnya enggak perlu terjadi lo, asalkan negara menempatkan militer pada posisi yang benar dan dinaungi oleh aturan yang benar, yaitu yang berasal dari Zat yang Maha Benar. Ketika sistem kapitalisme demokrasi dijadikan sebagai asas dibuatnya aturan perundang-undangan negeri ini, wajar sih kalau akhirnya posisi militer jadi enggak tepat. Dalam sistem demokrasi, militer diberikan ruang untuk berperan dalam pemerintahan selama jabatan tersebut sesuai dengan keahlian dan kebijakan pemimpin negara.
Berbeda dengan sistem Islam lo, Guys. Sistem Islam memberikan perhatian yang sangat istimewa kepada militer (asykar). Ia ditempatkan pada posisi penting dalam negara, yaitu sebagai ujung tombak yang langsung menusuk jantung musuh saat jihad dan sebagai garda terdepan penjaga keamanan negara dan rakyat saat musuh datang menyerang. So, khalifah dan umat Islam wajib menjaga kekuatan militer.
Karena posisinya ini, negara hanya memfokuskan tugas militer dan tentaranya pada kegiatan jihad dan persiapannya. Negara akan memfasilitasi segala keperluan yang dibutuhkannya, seperti perbekalan makanan yang cukup dengan gizi yang baik, persenjataan dan alutsista canggih, perekrutan dan pelatihan prajurit, dll., yang dengan persiapan ini bisa menggentarkan musuh.
Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 60:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)."
Enggak ada sedikit ruang pun bagi militer untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Kalaupun diperlukan pendapatnya dalam menentukan kebijakan politik, hanya sebatas nasihat. Enggak lebih. Hanya kepala negara yang berhak untuk mengambil atau tidak nasihat tersebut.
Tahu enggak, Guys, ternyata memberikan peran sekecil apa pun kepada militer dalam kekuasaan itu bahaya banget lo! Syaikh Taqiyuddin an- Nabhani dalam kitab Asy- Syakhshiyah Al Islamiyah jilid 2 menjabarkan, ada tiga bahaya ketika militer diberi peran dalam kekuasaan.
Pertama, bahaya bagi pemerintahan. Kekuatan pemerintahan ada pada kesadaran kepentingan manusia dan pemeliharaannya. Pemimpin negara akan mencurahkan segenap perhatiannya untuk kepentingan rakyat didasari rasa kasih sayang. Nah, ketika ada kekuatan militer di dalamnya, yang terjadi adalah pemerintahan yang bersifat tirani yang selalu mengandalkan kekuatan militer untuk menghadapi permasalahan umat. Kita bisa lihat kasus perang di Sudan sebagai contohnya.
Kedua, bahaya terhadap penguasa. Secara fitrah, manusia punya naluri mempertahankan eksistensi dirinya (gharizah baqa). Salah satu bentuknya adalah ingin berkuasa. Kalau militer merasa punya kemampuan untuk menjaga penguasa dan kekuasaannya, mereka juga mampu lo untuk menghancurkannya. Jadi enggak menutup kemungkinan terjadilah kudeta alias pengambilalihan kekuasaan dengan paksa. Masih ingat enggak kudeta yang dilakukan oleh Jendral Abdul Fatah Al Sisi terhadap Presiden Mursi di Mesir tahun 2013 silam? Nah, itulah contoh real-nya.
Ketiga, bahaya terhadap eksistensi umat dan negara. Guys, kita harus memahami bahwa secara hukum syarak seluruh dunia terdiri dari Darul Kufur dan Darul Islam. Negara yang menerapkan aturan Islam adalah Darul Islam sementara selainnya adalah Darul Kufur. Berarti, secara alamiah Daulah Islam selalu dikelilingi musuh, Guys. Ketika militer punya peran dalam pemerintahan, mereka bisa saja terbujuk atau teperdaya dengan siasat licik musuh. Lo, kok bisa? Ya bisa, karena militer hanya paham taktik dan strategi perang yang terlihat. Mereka enggak paham berbagai manuver politik musuh yang disembunyikan. Bahaya 'kan?
Guys, sejarah telah mencatat peristiwa paling kelam di sepanjang kehidupan umat Islam. Peran Mustafa Kemal yang berkonspirasi dengan Inggris untuk menghancurkan Negara Utsmaniyah. Mustafa Kemal adalah orang militer yang diberi peran oleh khalifah untuk urusan politik luar negeri. Karena penghianatannya, kita enggak punya lagi negara Islam sampai hari ini. Sedih, ya.
Makanya, Guys, militansi militer memang harus ditempatkan sesuai posisinya yaitu sebagai alat penjaga negara dan penyebar dakwah melalui futuhat. Kamu mau dong punya tentara yang kuat, tangguh, dan ditakuti musuh, seperti karakter pasukan Islam masa kekhilafahan? Karakter ini hanya bisa terwujud dengan perjuangan untuk mendirikan dahulu institusinya. Insyaallah ia akan terwujud segera, alias GPL ya, Guys. Enggak pake lama! Wallahu a'lam bishawab.[]