Flexing: Personal Branding or Life Style?

“Personal branding benar-benar hanya menampilkan apa yang dimiliki saja. Sedangkan flexing, berupaya menampilkan apa pun, meski barang tersebut bukan milik sendiri. Ya, ibaratnya seperti menipu orang lain dan diri sendiri.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hai…hai…hai Bestie, apakah kamu termasuk orang yang gemar berselancar di media sosial? Bila iya, pasti pernah dengar dong istilah flexing? Istilah ini ngehits gegara fenomena crazy rich yang demen pamer kekayaan. So, ramai deh digunakan di circle pertemanan juga lini sosial media.

Bestie, menurut kamu flexing ini bermanfaat atau justru menimbulkan mudarat? Coz, gak sedikit lho yang mengaitkannya dengan personal branding. Bahkan, saking booming -nya flexing ini sudah menjadi life style di kalangan netizen? Ehm…kayaknya kita mesti kepo nih bagaimana sih pandangan Islam tentang flexing ini?

All about Flexing

Bestie, istilah flexing itu aslinya diambil dari bahasa slang alias gaul, artinya pamer. Asal usulnya gini lho, dulu kata flex atau flexing itu biasa dipakai dalam dunia musik rap and hip hop, makin populer pada tahun 2015 setelah duo Rae Sremmurd merilis lagu berjudul “No Flex Zone”.

Nah, sekarang lumrah dipakai oleh netizen karena media sosial menjadi panggung buat gelagat pamernya. Misalnya, kelakuan influencer yang getol pamerin kekayaan kayak barang-barang branded gitu deh, Bestie. Kadang keki juga ya lihatnya.

Penasaran juga, kenapa sih influencer tuh demen banget flexing? Ayo, siapa yang tahu penyebabnya? Yuk, kita teropong dulu.

Pertama, mereka mengira orang lain bakal terkesan dengan pencapaiannya, khususnya kekayaan. Gak sedikit lho yang menyamakan flexing dengan bragging, alias membual. Tahu gak, Bestie? Menurut Australian Institute of Professional Counselors, membual itu sombong tingkat dewa. Orang yang doyan flexing akan merasa senang jika pamer dan sombong. Kesenangan itu serupa stimulus efek dopamin, itu..tuh semacam zat kimia di dalam tubuh manusia yang meningkatkan suasana hati. Bahkan, bisa jadi candu juga lho.

Kedua, mereka pengin eksis. Orang ini terobsesi banget ingin diterima dan diakui banyak orang. Caranya, dengan tunjukkan sesuatu yang ‘wah' ke khalayak ramai. Maksa banget ya?

Ketiga, mereka kurang empati. Ibaratnya bersenang-senang di atas penderitaan orang. Gak sedikit lho orang yang hidup susah, sampai makan saja sulit. Eh, si pengidap flexing malah watado (wajah tanpa dosa) enak-enak pamer. Emang gak ada akhlak ini orang. Auto ngeselin kan?

Keempat, modus untuk menutupi kelemahan yang bikin rendah diri. Aslinya si pengidap flexing ini tuh merasa gak aman dan minus pede. Nah, untuk meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja plus diakui orang lain dikeluarkan deh jurus pamer. Ngenes banget ya, Bestie?

Personal Branding

Bestie, kamu tahu kan apa itu personal branding? Yup, personal branding itu semacam strategi seseorang untuk membangun citra diri di mata orang lain. Kemampuan, prestasi, keunikan, dan ciri khas kamu bisa banget ditonjolkan dalam personal branding, gak melulu soal harta kekayaan lho.

Bestie, sebenarnya membangun citra diri alias personal branding itu sangat diperlukan lho dalam kehidupan sosial. Sebab, hal itu bisa menciptakan kepercayaan orang lain kepada kita; membangun kredibilitas; bikin kita pede; meluaskan koneksi; dan menunjukkan diri kita apa adanya. Keren kan, Bestie?

Jadi, kalau terkait personal branding itu ya sebenarnya boleh-boleh saja sih. Bahkan, untuk kepentingan tertentu itu memang diperlukan lho. Misalkan, kita ingin dikenal sebagai pengemban dakwah, maka strategi yang dapat dilakukan itu ya rajin posting segala sesuatu yang bernuansa ilmu dan dakwah. Atau ingin dikenal sebagai penulis, ya menulislah sebaik dan seproduktif mungkin.

So, upaya untuk membangun personal branding yang baik, tentu saja harus dengan cara yang baik pula. Ini menjadi salah satu teknik marketing di media sosial yang bisa dipraktikkan oleh siapa pun. Dari sini kita bisa lihat dong, bahwa flexing itu beda dengan personal branding.

Kalau personal branding itu terstruktur, bukan sekadar memamerkan tapi sudah membuat positioning, diferensiasi, dan planning yang telah ditetapkan sebelumnya. Apa yang ingin ditampilkan, itulah yang digarap secara serius. Selain itu, personal branding benar-benar hanya menampilkan apa yang dimiliki saja. Sedangkan flexing, berupaya menampilkan apa pun, meski barang tersebut bukan milik sendiri. Ya, ibaratnya seperti menipu orang lain dan diri sendiri.

Life Style

Bestie, masih lekat dalam ingatan kita fenomena crazy rich alias 'sultan' yang santer mempertontonkan kekayaannya di jejaring media sosial. Bayangkan saja, mereka dengan bangganya memamerkan saldo rekening, barang-barang branded, jet pribadi, rumah bak istana, bahkan gak tanggung-tanggung sawer give away pada netizen. Flexing banget kan, Bestie? Serasa dunia miliknya, yang lain numpang!

Nah, tanpa kita sadari flexing ini sudah menjadi life style alias gaya hidup influencer dan ditiru oleh netizen dari berbagai kalangan. Gak sedikit yang menjadikannya sebagai strategi marketing untuk gaet endorsement. Makin kelihatan tajir, makin melesat tuh rate atau nilai jualnya. Walhasil, privilege tercapai dan banyak orang yang terjerumus pada investasi bodong yang di- endorse-nya. Nahas!

Gayung bersambut, di berbagai platform media sosial konten flexing ini ‘laku keras’ bahkan jadi favorit netizen lho. Padahal, kekayaan crazy rich itu hasil tipu-tipu alias investasi bodong. Bahkan, gak sedikit yang kaya boong-boongan demi sebuah konten, aslinya kere.

Kadang mereka berdalih kalau aksi flexing ini tujuannya baik yaitu untuk memberikan inspirasi, membantu sesama, bahkan mengapresiasi suatu capaian tertentu. Ah itu mah ngasih harapan palsu, masa sukses bisa seinstan itu tanpa proses dan kerja keras? Mimpi kali yeeee.

Kapitalisme Biang Kerok

Bestie, ideologi kapitalisme yang menjadi landasan dalam globalisasi dan modernisasi saat ini, ternyata berperan penting dalam membentuk masyarakat yang elitis dan eksklusif. Kamu tahu gak? Ternyata fenomena munculnya OKB (orang kaya baru) dan gaya hidup konsumtif pada masyarakat, memang sengaja diproduksi demi meraup untung sebesar-besarnya. Memang siapa yang diuntungkan? Tentu saja para kapitalis (pemilik modal besar) yang mengendalikan media.

Bestie, media kini bukan sekadar sarana komunikasi lho. Tapi sudah menjadi industri, istilahnya industrialisasi media. Namanya juga industri, ya pasti menyelenggarakan rangkaian kegiatan seperti produksi, reproduksi, dan distribusi. Industri media itu berhubungan erat dengan industri pasar lho. Sebab, ada ketergantungan dari sisi imbalan kerja, teknologi, dan pembiayaan.

Kamu harus tahu, kalau kapitalisme itu berawal dari akidah sekularisme, yakni paham yang meminggirkan agama dalam kancah kehidupan atau ranah publik. Ketika agama dikerangkeng, maka kebebasan dibiarkan liar. Maka, muncullah liberalisme alias kebebasan. Ada empat macam kebebasan lho, apa saja itu? Ada kebebasan beragama, berpendapat, berekspresi, dan kepemilikan.

Nah, empat kebebasan inilah yang terus diproduksi media agar melebur ke tengah masyarakat menjadi gaya hidup. Jika telah menginfiltrasi, konten atau produksi apa pun yang dilempar oleh media, otomatis akan laku di pasaran. Sebab, masyarakat tak lagi memandang halal dan haram, yang penting viral dan ngetren maka dilakukan. Kalau sudah begini, media bakal untung besar dong, Bestie! Sampai sini, paham kan?

Oleh karena itu, flexing ini merupakan salah satu dampak buruk dari adanya industrialisasi media yang bernapaskan kapitalisme. So, menghindarkan diri dari terjangkit flexing ini gak cukup dilakukan individu dan masyarakat saja lho. Tapi negara juga sangat berperan penting. Masalahnya negara mau gak menghentikan laju kapitalisasi media ini?

Kacamata Islam

Bestie, sadar gak kalau ternyata Islam tuh agama yang paripurna lho. Perkara apa pun ada solusinya dalam Islam, termasuk masalah flexing ini. Gak percaya? Yuk ah, kita bahas dulu.

Begini lho, dalam kacamata Islam flexing itu termasuk kategori sombong dan hukumnya haram! Allah Swt. pernah berfirman dalam QS. Lukman ayat 18 yang artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Udah jelas kan, apa hukumnya flexing? Haram lho, so jangan coba-coba meniru aksi ini lagi ya, Bestie. Tapi, emang susah juga ya kalau kita sudah ngerem diri, tapi di masyarakat masih mewabah, apalagi negara juga merasa fine..fine saja dan malah membiarkannya. Ehm…kayaknya butuh aksi lebih selain cuma menahan diri agar tidak flexing deh. Apa ya, Bestie?

Dakwah! Nah, ini yang perlu kita gencarkan di masyarakat, pun kepada penguasa. Makna dakwah itu gak mesti bercuap-cuap di atas mimbar saja lho, Bestie. Dakwah itu sejatinya amar makruf nahi mungkar. Saling mengingatkan akan kebaikan dan saling mencegah dari melakukan kemungkaran.

Gencarkan opini tentang keharaman flexing berikut kapitalisme yang menjadi biang keroknya. Ajak masyarakat dan negara agar mau kembali kepada Islam, agama yang sesuai dengan fitrah sekaligus ideologi yang mampu solusikan masalah. Kapitalisme itu kuat karena diemban negara, nah Islam pun begitu, Islam akan bertaring jika diemban oleh negara pula.

Khatimah

Bestie, gaya hidup flexing ini akan bisa tercerabut hingga akar-akarnya, jika negara ini mau dan bernyali untuk menerapkan syariat Islam kaffah. Jika tidak, maka selamanya masyarakat tidak akan terbebas dari jeratan liberalisme dan kapitalisme. Jangan aneh, jika setelah flexing ini muncul budaya-budaya aneh lain yang merusak diri, masyarakat, dan negara.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Menanti R. I. P Eljibiti
Next
Berperan dalam Dunia Literasi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram