Berhijab = Manusia Gurun? Fix, Ini Rasis!

"Sekularisme yang menjadi ruh ideologi kapitalisme, sukses merusak mental kaum intelektual menjadi jauh dari ketaatan kepada Sang Pencipta. Polarisasi pendidikan yang ditanamkan saat ini semakin menguatkan persepsi bahwa ilmu dunia tidak boleh disatukan dengan ilmu langit. Kamu merasa juga kan, Guys? Akibatnya, muncul deh intelektual berotak brilian tapi tidak berorientasi akhirat."

Oleh. Irma Sari Rahayu

NarasiPost.Com-Hai Guys! Sudah masuk bulan Syawal nih. Tetap semangat meraih takwa ya. By the way, tahu enggak apa yang sedang jadi perbincangan panas saat ini? Dunia maya digemparkan dengan pernyataan seorang akademisi yang menyamakan perempuan berhijab layaknya manusia gurun. Sontak dong netizen ramai mengkritik pernyataan tersebut yang terkesan melecehkan.

Adalah Prof. Budi Santosa Purwokartiko, seorang Rektor dari Institut Teknologi Kalimantan, yang menuai kontroversi setelah status facebooknya yang diunggah pada 27 April 2022, dianggap mengandung unsur SARA dan kebencian. Dalam statusnya, beliau menceritakan pengalamannya saat wawancara beasiswa LPDP, dan menuliskan dari 12 mahasiswi yang diwawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun (Detik.com, 1/5/2022)

Status ini pun menuai kegeraman. Apalagi dalam tulisan tersebut, sang rektor menyinggung kata-kata yang biasa dipakai dalam ajaran Islam, seperti inshaallah, barakallah dan qadarullah. Para tokoh akhirnya angkat bicara menyikapi kejadian ini, Guys. Salah satunya adalah Prof. Mahfud MD yang menyatakan, menuduh orang yang menutup kepala sebagai orang gurun adalah sebuah kesalahan, dan memuji sebagai mahasiswa hebat hanya karena mereka enggak memakai kata-kata agamis juga eggak bijaksana (Detik.com, 1/5/2022)

Dikutip dari Fajar.co.id (1/5/2022), Founder of Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi bahkan mengatakan, tulisan rektor ITK tersebut termasuk kategori rasis (pembedaan berdasarkan ras yaitu manusia gurun yang identik dengan bangsa Arab) dan xenofobia (benci kepada orang asing). Astagfirullah!

Karena kontroversi yang berkembang, akhirnya guru besar Institut Teknologi Surabaya ini, mengklarifikasi tulisannya dan mengatakan enggak ada maksud menyinggung masalah SARA dan menganggap sebagai konsekuensi bahasa tulisan yang persepsinya bisa berbeda-beda. Tapi tetap saja sih, tulisan tersebut sudah terlanjur menyakiti umat Islam. Sakitnya tuh di sini, Pak!

Islamofobia dan Sekularisme Menjangkiti Kaum Intelektual

Tulisan Prof. Budi Santosa Purwokartiko ini memang menarik untuk dicermati. Selain "menyentil" masalah SARA karena dianggap menyinggung ajaran agama Islam, virus sekularisme juga terdeteksi di dalamnya, bahkan sudah masuk stadium mengkhawatirkan. Bagaimana enggak, ada kesan angkuh yang ditunjukkan dengan menafikan peran agama dan Tuhan dalam proses mencari ilmu. Seakan-akan ilmu hanyalah bekal untuk mencari kehidupan dunia bukan untuk kehidupan sesudah mati.

Belum lagi ada kesan bangga seolah-olah manusia yang cerdas dan open minded adalah hasil dari mencari Tuhan di negara-negara maju seperti Korea Selatan, Eropa Barat dan Amerika. Ukuran keberhasilan dan terbentuknya peradaban manusia dilihat dari kemajuan teknologi, kecanggihan perangkat yang membantu manusia, rapinya sistem tata kota, dan kedisiplinan masyarakatnya. Padahal kehidupan masyarakat di sana justru jauh dari ajaran Tuhan dan perilakunya lebih buruk dari binatang. Sex bebas dan menyukai sesama jenis justru menjadi gaya hidup yang di-Tuhankan saat ini. Apa yang harus dibanggakan?

Nah, banyak nih di antara para intelektual yang masuk dalam jebakan batman dan silau dengan kemegahan negara maju. Kesannya keren banget kalau berhasil lulus dari universitas ternama di Amerika, Inggris, Prancis atau negara Eropa lainnya dibandingkan kalau lulus dari negara di Timur Tengah. Padahal enggak jarang lho dari mereka yang membawa pemikiran toxic jauh dari pemahaman Islam setelah menimba ilmu di sana, terus disampaikan lagi kepada masyarakat kita. Duh, apa enggak jadi tambah rusak ya pemahaman umat.

Sekularisme yang menjadi ruh ideologi kapitalisme, sukses merusak mental kaum intelektual menjadi jauh dari ketaatan kepada Sang Pencipta. Polarisasi pendidikan yang ditanamkan saat ini semakin menguatkan persepsi bahwa ilmu dunia tidak boleh disatukan dengan ilmu langit. Kamu merasa juga kan, Guys? Akibatnya, muncul deh intelektual berotak brilian tapi tidak berorientasi akhirat. Miris banget. Belum lagi demokrasi menjamin kebebasan tiap individu sehingga ujaran bernada rasis gampang banget diucapkan.

Harmonisasi Ilmu Bumi dan Langit dalam Islam

Sebagai agama yang sempurna, Islam enggak mengenal istilah sekularisme atau memisahkan agama dari kehidupan, justru keduanya harus berjalan beriringan dan enggak boleh dipisahkan. Begitu pun antara ilmu bumi berupa sains dan teknologi, dengan ilmu langit berupa tsaqofah, harus dipelajari secara bersamaan. Al-Qur'an sendiri enggak berisi ajaran yang berorientasi akhirat saja lho, tapi juga sains. Enggak percaya?

Misalnya peristiwa terbentuknya air hujan. Sebelum para ilmuwan mengemukakan teori bagaimana air hujan terbentuk, Al-Qur'an telah menjelaskannya berabad-abad silam seperti tercantum dalam surah Ar-Rum ayat 48-49.

"Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira. Dan Sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa."

Para ilmuwan muslim pun enggak hanya cerdas dan ahli dalam bidang sains yang mereka geluti, tapi juga faqih fiddin alias mahir juga dalam ilmu agama. Sebut saja Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, Al Khawarizmi dll. Mereka adalah intelektual muslim yang mempersembahkan hasil pemikirannya tak hanya untuk kemaslahatan umat Islam, tapi juga bermanfaat untuk seluruh umat manusia. Semua itu sebagai wujud ketaatan mereka kepada Allah Swt. dan bekal pertanggungjawaban di akhirat. Keren kan?

Hanya saja, hidup di alam demokrasi saat ini membuat ajaran Islam dan umatnya selalu diremehkan, dipandang sebelah mata bahkan dihinakan. Sedih banget. Jadi tugas kita sekarang nih Guys untuk menyudahi sistem yang berlangsung saat ini, dan mewujudkan episode baru hidup di bawah naungan Khilafah Islam. Beware! buat perilaku dan pelaku rasis. Lo pasti end![]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Irma Sari rahayu Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bedah Naskah (Syiar)
Next
Rindu untuk Ayah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram