"Kesederhanaan yang ditampilkan hanya akan bertahan beberapa saat. Perubahan perilaku semacam itu hanya semu karena tidak muncul dari kesadaran sendiri. Pemikiran tentang hedonisme masih tetap ada sehingga orang akan tetap berperilaku hedonis. Sebab, kapitalisme sekularisme yang jadi akarnya tidak dibasmi."
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Assalamualaikum, Sob! Bagaimana kabarnya? Masih lancar puasanya ‘kan? Semoga sehat jiwa dan raga supaya bisa finish dengan husnul khatimah, ya!
BTW, tahukah kamu kalau di Ramadan kali ini ada aturan baru lho! Aturan ini cukup bikin polemik. Iya, beberapa hari sebelum Ramadan, pemerintah mengeluarkan larangan buka bersama (bukber).
What! Why? Apa karena Covid-19? Bukannya sekarang sudah diperbolehkan berkegiatan seperti biasanya?! Pemerintah juga telah mencabut PPKM. Aktivitas masyarakat sudah normal kembali. Terus kenapa enggak boleh bukber?
Transisi dan Sorotan
Jadi, Bapak Presiden RI telah melarang penyelenggaraan buka bersama selama Ramadan tahun 2023 ini. Perintah itu tertuang dalam Surat Kabinet Nomor 38/Sekab/DKK/2023 tentang arahan terkait penyelenggaraan buka puasa bersama yang ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan kepala badan/lembaga. Di dalam surat tersebut juga memuat tiga arahan Presiden Jokowi mengenai buka bersama bagi pejabat dan ASN.
Pertama, penanganan Covid-19 berada dalam transisi menuju endemi sehingga masih harus berhati-hati.
Kedua, karena itulah, pelaksanaan buka puasa bersama pada Ramadan 1444 H ditiadakan.
Ketiga, Mendagri segera menindaklanjuti arahan tersebut kepada para gubernur, bupati, dan wali kota. Ditekankan pula agar para menteri, kepala instansi, kepala lembaga, dan kepala daerah untuk mematuhi dan meneruskannya kepada seluruh pegawai di instansi masing-masing. (nasional.kompas.com, 24/3/2023)
Kalau pakai alasan masa transisi ke endemi sehingga masih harus hati-hati, ya, harusnya konsisten dari awal. Enggak boleh ada konser yang penontonnya sampai ribuan orang. Enggak boleh ada hajatan besar yang mengundang tamu-tamu dari berbagai tempat. Begitu pula dengan pertandingan olahraga yang melibatkan banyak orang juga mestinya tak dibolehkan.
Memangnya saat pertandingan olahraga, pesta-pesta dan konser musik itu enggak ada kerumunan? Ini tuh kesannya kayak bukber yang identik sama Ramadannya umat Islam dianggap lebih berpotensi menyebarkan virus penyakit. Padahal konser, hajatan, pertandingan olahraga ataupun bukber sama-sama dihadiri banyak orang.
Khusus Pejabat Saja?
Tenang, Sob! Kalian masih bisa bikin bukber kok! Soalnya larangan bukber itu cuma ditujukan buat pejabat dan ASN doang. Itu seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, bahwa larangan buka bersama hanya berlaku untuk pejabat dan ASN. Katanya karena saat ini para pejabat dan ASN sedang mendapat sorotan tajam akibat kerap pamer kekayaan dan kemewahan. Itu pula yang diminta oleh Presiden Jokowi kepada jajarannya untuk berbuka puasa dengan pola hidup yang sederhana. (tempo.co, 24/3/2023)
Bagi masyarakat umum yang ingin mengadakan bukber, ya, silakan saja! Misalnya kalian mau mengadakan bukber dengan mengundang pejabat, artis, publik figur atau siapa pun boleh-boleh saja. Pokoknya kalian bukan pejabat atau ASN, ya!
Lah, tetapi jatuhnya sama saja ‘kan memicu keramaian juga! Namanya bukber pastilah ramai karena banyak orang. Mana ada bukber sepi. Kalau sepi itu mah di kuburan. Jadi, alasan sebenarnya apa dong? Karena Covid-19 atau karena gaya hidup pejabatnya yang lagi disorot nih?!
Meredam Hedonisme?
Seperti yang ramai di pemberitaan, ya, Sob, kalau saat ini tuh sorotan tajam tengah mengarah pada pejabat dan ASN karena gaya hidup mewah. Karena itulah mereka diminta untuk tidak lagi menampilkan kemewahan. Harus tampilkan yang sederhana atau biasa saja supaya tidak makin dikritik masyarakat.
Oh, jadi hidup sederhana hanya saat mendapat sorotan saja? Kalau sudah tidak disorot boleh hedonisme lagi? Berarti, sederhananya enggak tulus dong! Pura-pura sederhana?!
Lagian, apakah pelarangan tersebut efektif menghentikan gaya hidup mewah para pejabat dan keluarganya? Apa iya setelah dilarang mengadakan bukber, mereka tidak lagi hedonis? Hmm… Enggak yakin deh sepertinya.
Bisa saja toh yang ditampilkan di hadapan publik adalah kesederhanaan, tetapi di belakang layar, hedonisme tetap jalan. Mungkin postingan di medsosnya biasa saja seperti masyarakat pada umumnya. Namun, di kehidupan nyatanya masih hedonis. Beli barang-barang branded, pelesiran ke luar negeri, makan makanan mahal, koleksi mobil mewah nan mahal, rumah megah, dan sederet kemewahan lainnya. Tidak ada jaminan aturan itu bisa mencegah hedonisme pejabat dan keluarganya.
Bisa juga nanti kalau sudah agak lama dan pemberitaan reda, mulai lagi deh pamer-pamer kemewahannya. Mereka yang sedang disorot itu kini tiarap sementara waktu. Cooling down dahulu biar enggak kena patroli netizen yang pintar banget mengulik siapa-siapa pejabat dan lingkarannya yang suka pamer kemewahan.
Kesederhanaan yang ditampilkan hanya akan bertahan beberapa saat. Perubahan perilaku semacam itu hanya semu karena tidak muncul dari kesadaran sendiri. Pemikiran tentang hedonisme masih tetap ada sehingga orang akan tetap berperilaku hedonis. Sebab, kapitalisme sekularisme yang jadi akarnya tidak dibasmi.
Kehidupan Kapitalistik
Kalau sudah kena pemikiran kapitalisme liberal itu susah lho! Tabiat materialistis dan hedonisme melekat pada manusianya! Jadi, ya, meski tampak ‘patuh’ dengan pelarangan bukber dan tidak flexing di medsos, orang akan mencari penyaluran lainnya. Yang penting gaya hidup mereka bisa tetap jalan, meskipun sembunyi-sembunyi.
Ini karena kehidupan masyarakat berada di bawah jaring-jaring kapitalisme sekuler yang menjadikan materi sebagai tujuan. Pemisahan agama dari kehidupan menyesatkan manusia kepada jalan kesenangan yang semu. Kebahagiaan dianggap ada pada materi yang dimiliki. Kemewahan dunia menjadi kebahagiaan yang dituju.
Standar kehidupan pada materi telah melekat di masyarakat. Kesuksesan dinilai dari capaian materi. Kekayaan dianggap sumber kebahagiaan sehingga orang akan berlomba untuk meraihnya sebanyak mungkin dengan cara apa saja. Pikirnya, makin kaya, makin bahagia. Padahal itu semua semu, Sob!
Kehidupan yang kapitalistik memunculkan dorongan dalam diri seseorang untuk bisa eksis. Pengakuan atas eksistensi diri menjadi begitu penting sehingga ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Maka, tak heran jika ada pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Itu semua demi mempertahankan posisinya. Yang penting bisa eksis, lainnya masa bodo.
Untuk itu, menghilangkan gaya hidup mewah para pejabat dan keluarganya serta masyarakat secara keseluruhan harus dari sistemnya. Kapitalisme sekularisme yang menjadi biang gaya hidup menyimpanglah yang harusnya dilarang.
Pejabat Amanah dan Taat
Hal berbeda terjadi dalam sistem yang berlandaskan Islam, Sob. Dalam Islam, pejabat merupakan pihak yang melayani rakyat. Karena itulah ia bekerja untuk rakyatnya. Ia bertanggung jawab atas setiap urusan rakyat. Enggak seperti di sistem sekarang yang malah menjadikan rakyat sebagai bawahan, ya, Sob!
Pejabat akan menjalankan amanah mengatur segala urusan umat dengan sungguh-sungguh. Ia mendedikasikan seluruh pikiran, tenaga, waktu, dan hartanya untuk memastikan rakyat mendapatkan hak-haknya. Sebab, ia paham bahwa amanah yang diembannya sangatlah berat pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.
Dengan aturan Islam, pejabat akan terjaga keimanan dan ketakwaannya. Ia menyandarkan seluruh aktivitasnya pada syarak. Ia taat pada syariat Allah dalam segala perbuatannya. Karena itulah, ia tidak akan main-main dengan amanahnya. Ia juga tidak akan berani memakai kekuasaannya demi kepentingan sendiri. Tidak pula ia bermewah-mewahan dalam gaya hidupnya sebagaimana larangan Allah yang dinyatakan dalam surah Al-Mukminun ayat 64:
“Sehingga apabila Kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewahan di antara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong.”
Menyadari beratnya amanah, seorang pejabat negara akan memilih hidup sederhana. Ia tak akan pernah berpikir untuk menikmati kekuasaan dan kemewahan dunia. Urusan rakyat sangat menyita perhatiannya dan itu lebih penting daripada dirinya sendiri. Enggak sempat, Sob, mau enak-enakan menikmati hidup sementara banyak urusan rakyat yang harus dikerjakannya.
Pejabat sekarang harusnya mencontoh bagaimana dedikasi dan kesederhanaan pejabat Islam di masa dahulu. Contohlah Khalifah Umar bin Khaththab yang tegas menolak diberi fasilitas dan pelayanan saat dalam perjalanan dinas. Beliau memanggul sendiri karung gandum untuk diberikan kepada rakyat yang kelaparan. Beliau juga makan sebagaimana rakyat pada umumnya. Pola konsumsi beliau seperti rakyat termiskin. Baju beliau penuh tambalan dan beliau pun tidur dengan beralaskan tikar semata. Namun, kualitas beliau sebagai pemimpin sangat luar biasa, Sob!
Begitu pula kisah kesederhanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau tinggalkan semua kemewahan hidup yang dimiliki sebelum menjabat sebagai khalifah. Beliau mencurahkan seluruh hidup untuk mengurus urusan umat dan menegakkan aturan Allah. Beliau juga menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang kepala negara dan memilih tinggal di rumah sempit di samping masjid. Seperti itulah Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu pemimpin terbaik umat Islam.
Kualitas pejabat dalam Islam memang tak perlu diragukan lagi, Sob. Mereka tidak sibuk mempertahankan eksistensi dengan bergaya hidup mewah. Melainkan mereka berlelah-lelah dalam melayani rakyatnya. Dengan menjadikan rida Allah sebagai tujuan. Ini baru keren!
Penutup
Pejabat hebat sesungguhnya hanya bisa terwujud dalam sebuah sistem yang hakiki, Islam. Sebab, hanya Islam yang mampu menuntun perilaku pejabat kepada kebaikan dan menjauhkan dari kesia-siaan dan keburukan. Untuk itu sangat penting keberadaan sebuah institusi negara bernama Daulah Khilafah Islamiah supaya Islam bisa diterapkan secara kaffah. So , ayo, Sob, berjuang agar sistem Islam ini bisa benar-benar terwujud sehingga kita kembali memiliki kehidupan yang baik dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bishshawwab[]