"Takdir yang telah Allah tetapkan saat ini, masa lalu yang telah terjadi, prasangka orang lain terhadap diri kita, komentar orang lain, kita tidak bisa mengendalikan itu semua. Terus kenapa harus kita pusingkan? Kenapa tidak berfokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan saja?"
Oleh. Dila Retta
NarasiPost.Com-“Dan terkadang, yang paling banyak tertawa adalah mereka yang menyimpan banyak duka. Karena sering kali, yang terbiasa menguatkan adalah mereka yang sebenarnya lebih butuh dikuatkan. Tapi sayangnya, tidak semua orang bisa memahami.”
Hey, pernahkah kalian berada di posisi yang cukup runyam? Saat pikiran dan nurani tidak lagi sejalan. Mungkin, karena sudah terlalu lelah dengan keadaan yang senantiasa mengajak kita menghadapi berbagai macam persoalan. Ingin sekali mengeluh, tapi percuma. Tidak akan ada satu orang pun yang bisa memahami. Dan akhirnya, hanya diri sendirilah yang mampu menguatkan. Tunggu, tidak. Bukan menguatkan, tapi lebih memanipulasi pikiran bahwa segalanya baik-baik saja, memanipulasi pikiran bahwa bukan hanya kita yang mengalami masalah, memanipulasi pikiran agar raga mampu bersikap biasa bahkan lebih kejam lagi, kita dituntut pura-pura tegar di hadapan lingkungan sekitar, hanya untuk menunjukkan kita kuat.
Entahlah, sudah berapa lusin gelas kopi yang kita habiskan untuk melalui hari. Sudah berapa malam mata tidak bisa terpejam karena mencemaskan sesuatu yang bahkan terjadi saja belum tentu. Jadi dewasa itu melelahkan, ya. Ya, mau gimana lagi, kehidupan memang seperti ini. Pasti akan ada saja permasalahan yang terjadi dan harus kita hadapi.
Tapi… Salah nggak sih kalau kita butuh waktu untuk sendiri? Saat udah ngerasa benar-benar lelah dengan segalanya, rasanya malas sekali bertemu siapa saja, dengan teman akrab sekalipun. Bahkan, untuk membalas pesan saja rasanya malas.
Saat dalam posisi seperti ini, tolong ya, kalian jangan banyak bertanya “kamu kenapa?”.
Karena dalam situasi seperti ini, kita hanya butuh ditemani bukan malah diinterogasi. Kalau emang lagi pengen didengar, kita juga pasti akan cerita tanpa kalian minta, kok. Jangan malah memberikan tekanan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kita sendiri nggak tau apa jawabannya.
Terjebak dalam sebuah kondisi, di mana diri sendiri tidak paham dengan apa yang sedang dirasakan, tidak paham dengan apa yang sedang diinginkan.
Katanya saat mulai memasuki usia 20-an, satu persatu masalah akan muncul ke permukaan. Siap nggak siap, hal seperti itu memang harus kita lalui. Quarter Life Crisis istilahnya. Kita mulai ragu dengan kemampuan diri sendiri, merasa bingung dalam menentukan arah tujuan hidup.
Emang sih, satu-satunya pelarian yang bisa buat tenang itu dengan mengadu kepada Allah. Zat Yang Maha Mengetahui segalanya, yang selalu ada untuk setiap hamba-Nya, yang berada sangat dekat dengan hamba-hamba-Nya, lebih dekat daripada urat nadi.
Tapi bukannya munafik, karena terkadang, dalam situasi seperti ini pun kita bisa lupa segalanya. Benar-benar nggak bisa mikir apa pun, hanya melihat satu permasalahan yang terus menggunung, seolah sedang menempatkan kita di jalan buntu.
Jadi, wajar bukan kalau sebenarnya kita butuh orang lain yang bisa jadi support system, yang bisa ngingetin. Entah itu keluarga, kerabat, atau sahabat. Maka, beruntunglah siapa pun yang memiliki sahabat dalam taat. Karena mereka pasti bisa memahami, senantiasa mendampingi, menasihati, dan memberikan solusi yang dapat menenangkan hati.
Anyway, untuk menjadi manusia itu nggak harus sempurna, kok. Dengan berbuat baik kepada sesama pun sudah cukup rasanya. Menjadi pendengar yang tidak sembarangan berkomentar, menjadi pendongkrak semangat seseorang tanpa menjatuhkan. Teringat saya sebuah kutipan tentang akhlak mulia minimalis seorang muslim, Yahya bin Mu’adz pernah berkata, “Hendaknya 3 sikap ini kau berikan kepada setiap mukmin. Jika engkau tidak dapat membantunya, minimal jangan menyusahkannya; jika engkau tidak dapat membuatnya bergembira, minimal jangan membuatnya bersedih; dan jika engkau tidak dapat memberinya apresiasi, minimal jangan mencelanya.”
Bukankah kita juga memahami, jika setiap manusia itu pasti memiliki persoalan dan butuh jeda dalam menjalani kehidupannya?!
Meski berada dalam lingkup sosial sekalipun, bukan berarti mengharuskan kita untuk mengabaikan kondisi mental dan emosional personal. Jadi, nggak papa kalau kita menepi sejenak, untuk beristirahat dari penat.
Bahkan, saat telah aktif dalam ‘sebuah instansi’ pun, bukan berarti kita harus menghindari dan mengabaikan masalah pribadi. Bersikap profesional memang diperlukan, tapi jangan terus-terusan berkorban, ya. Jika memang merasa perlu, istirahatlah dulu. Jangan terlalu memforsir diri, agar segalanya tetap bisa terkendali.
Taukah kalian jeda seperti apa yang kita butuhkan? Istirahat seperti apa yang kita butuhkan?
Ya, benar. Kembalilah mendekat kepada-Nya. Karena barangkali, lelahnya kita saat ini karena terlalu larut dalam persoalan dunia. Lelahnya kita karena terlalu memikirkan dunia, yang tidak akan pernah ada habisnya.
Sadar nggak sih, sering kali yang membuat merasakan kecewa dan sakit hati itu bukan seseorang atau keadaan, tapi besarnya pengharapan diri sendiri yang memunculkan ekspetasi berlebih. Terlalu berani menaruh harap kepada manusia yang bertabiat ingkar. Terlalu berani berekspetasi dengan setiap rencana yang telah disusun sendiri dengan rapi. Padahal, kita sendiri itu udah tau, Allah lah pemegang segala kendali.
Tapi mau gimana lagi, toh nggak bisa dimungkiri juga, kalau kita emang butuh berekspetasi agar memiliki motivasi untuk senantiasa berkembang dan memperbaiki diri.
Sebenarnya nggak salah sih kalau kita berekspetasi, hanya saja… Kita itu terlalu egois dan tergesa-gesa, tidak mau memahami segalanya. Terkesan tidak percaya dengan ketetapan Allah, tidak mau bersabar menanti ketetapan terbaik-Nya untuk setiap hamba-Nya. Seolah-olah, selama kita telah berusaha dan berdoa, Allah pasti mengabulkan segalanya saat itu juga.
Kemudian, saat tidak segera dikabulkan atau malah mendapatkan hal lain yang tidak diharapkan, kita langsung berputus asa. Mulai mencaci keadaan, merasa benar-benar gagal. Frustasi dan membenci diri sendiri.
Oke, itu wajar kok.
Tapi jangan terlalu kalut juga, ya. Jangan biarkan diri kita dikendalikan emosi terlalu lama.
Nah, biar gak terus-terusan merasa kecewa dan sakit hati, daripada menyangkal keadaan, coba deh terima aja apa pun yang sedang terjadi saat ini. Belajar rida dengan ketetapan Allah. Karena semakin kita berusaha menyangkal, semakin kita berusaha mengelak, itu semakin membuat dada terasa sesak.
Pernah nggak sih kalian mendengar tentang “lingkaran kendali”? Iya, semacam gambaran mengenai hal-hal dalam pikiran manusia yang dikelompokkan, mana saja yang bisa dikendalikan. Jadi, kita bisa lebih mengenal batas kemampuan diri sendiri, tidak gampang stres saat masalah datang menghampiri.
Takdir yang telah Allah tetapkan saat ini, masa lalu yang telah terjadi, prasangka orang lain terhadap diri kita, komentar orang lain, kita nggak bisa mengendalikan itu semua. Terus kenapa sih harus kita pusingkan? Kenapa nggak berfokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan saja?
Tenang, masih ada waktu untuk berubah, kok.
Perjalanan hidup memang berisi pasang surut. Jadi nggak papa kalau kita butuh jeda. Tapi, jangan sampai menyerah atau bahkan berbalik arah. Bukankah sedari awal kita semua terlahir sebagai pejuang?
Kita harus memiliki keyakinan bahwa hadiah indah tidak selalu Allah tampakkan dalam bingkai bahagia. Karena terkadang, hadiah itu juga diberikan dalam balutan duka berbungkus air mata, teruntuk siapa pun yang mampu bersabar melaluinya.[]