Gelombang Self Diagnosis Mencuatkan Tren Pamer Mental Illness

"Sejatinya self diagnosis itu merupakan start bagi seseorang untuk mendeteksi apa yang sedang terjadi pada dirinya, untuk kemudian dilanjutkan dengan mengomunikasikannya dengan profesional atau pakarnya. Namun, sayang metode ini justru menjadi answer untuk mengeksekusi masalahnya. Salah langkah, hancur sudah!"

Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hi Guys! Ayo tebak, apa sih yang marak di beranda media sosial kamu saat ini? Ehm…ingat gak sih waktu dulu kecil kita suka main dokter-dokteran? Nah, fenomena itu berulang lagi zaman kiwari, tapi dengan kemasan yang berbeda lho. Heboh, banyak orang khususnya para remaja berlomba-lomba nih menjadi dokter bagi dirinya sendiri. Mendiagnosis sendiri gejala-gejala fisik dan kejiwaan yang dia rasakan, dengan bermodalkan informasi dari internet, dan tralala… gak pake ribet langsung keluar dech hasil diagnosisnya. Hebat kan?!

Parahnya, hasil diagnosis yang cenderung berakhir pada mental illness ini malah dipamerin ke publik, karena dianggap keren dan estetik abis untuk jadi konten. Jadilah mereka berperilaku atau berpose bak orang yang paling menderita sedunia dengan monochrome backround diiringi lagu syahdu, agar lebih dramatis dan melankolis.

Celakanya Guys, tren ini pun diikuti oleh remaja muslim. Tanpa berpikir panjang, mereka ikut-ikutan tren yang bisa menjerumuskan pada jurang keputusasaan, keegoisan, bahkan kepasifan. Nah, agar kita bisa terhindar dari tren sesat ini, ada baiknya kita kenali dulu apa itu self diagnosis dan mental illness? Apa dampaknya bagi kesehatan mental? Lantas, bagaimana pandangannya dalam kacamata Islam? Check it out!

Self Diagnosis

Guys, tahu gak kalau self diagnosis itu merupakan aktivitas mendiagnosis diri sendiri secara ortodidak hingga muncul asumsi bahwa dirinya mengidap suatu penyakit tertentu, hanya berdasarkan pengetahuan dan informasi yang diperoleh secara mandiri melalui internet dan media lainnya, tanpa dibantu orang yang profesional di bidangnya. Ketika seseorang merasa sering sesak napas dan batuk berkepanjangan, otomatis dia memvonis dirinya mengidap penyakit paru akut. Contoh lain, Banyak orang yang mengira dirinya mengalami depresi lantaran beban hidup yang ditanggungnya dianggap terlampau sulit, sehingga dia merasa tertekan, lemah, tak berguna dan pastinya insecure donk. Ujian hidup dianggap kutukan yang harus segera diakhiri, bahkan tak sedikit yang berakhir dengan bunuh diri.

Fenomena ini sedang hype abis, Guys! Hingga jika kita tidak membuntuti tren ini dianggap ketinggalan zaman alias jadul. Ish…ish..ish…parah banget kan? Nah, ‘kegilaan ini’ ternyata didukung juga oleh menjamurnya platform yang menyebarkan informasi tentang ciri-ciri suatu penyakit fisik dan gangguan psikologis yang membuat pembaca tersugesti menjadi sosok yang digambarkan artikel tersebut. Ehm…sebenarnya sih, tujuan awal informasi ini disebarkan hanya untuk memberikan edukasi kepada pembacanya lho, bukan nekat dipake modal buat self diagnosis. Salah kaprah ini!

Namun, bukan netizen namanya kalau gak kreatif. Dalam konteks kejiwaan, untuk mengemas hasil self diagnosis ini menjadi tambah estetik dan terkesan ilmiah serta profesional, dibuatlah istilah-istilah keren seperti stricts parents, overwhelm, cutting, verbally abusive, bipolar disorder dan masih banyak yang lainnya. Stricts parents disematkan pada orang tua yang over protective, sehingga mengekang kebebasan dan kehendak anaknya. Overwhelm menggambarkan kerja rodi alias beban kerja yang berat sehingga membuat tertekan. Cutting dikategorikan sebagai self-harm, yakni upaya menyakiti diri sendiri untuk meluapkan emosi, stres, dan depresi. Verbally abusive bagi orang yang perkataannya tajam dan menyakitkan. Bipolar disorder diasumsikan pada orang yang moody, suasana hati yang kerap berubah-ubah. Bagaimana, keren-keren kan istilahnya? Dijamin dech banyak orang yang terhipnotis dengan berbagai istilah ini. Serasa jadi psikolog beneran kan?

Jadilah dengan bermodal informasi itu ditambah tanda-tanda yang dirasakan oleh dirinya, kaum remaja yang sedang terombang-ambing dalam pencarian jati diri merasa memiliki guidance dalam memvonis diri mereka sedang mengidap penyakit tertentu bahkan mengalami mental illness, padahal kenyataannya belum tentu demikian. Walhasil, karakter remaja yang terbentuk menjadi orang yang baperan, negative thinking, gampang menyerah, dan rentan terbawa arus.

Ehm…padahal gak semudah itu Guys dalam mendapatkan hasil diagnosis. Ada tahapan-tahapan yang harus dilampaui yakni diawali dengan asesmen (proses evaluasi individu), kemudian tes psikologi berupa wawancara klinis berikut psikotes hingga observasi kesehatan. Aktivitasnya meliputi kajian pada riwayat kesehatan seseorang baik itu secara fisik maupun mental, begitu pula penelusuran terhadap lingkungan atau orang-orang terdekat yang senantiasa ada di pusaran orang tersebut alias significant others. Nah, semua tahapan itu hanya mungkin dilakukan oleh pakarnya lho, yakni dokter kejiwaan, psikolog, atau psikiater. Ingat, jangan sampai nekat orang awam macam kita sok tahu melakukan self diagnosis.

Mental Illness

By the way, kamu tahu gak sih apa itu mental illness? Guys, istilah itu digunakan untuk menyebutkan gangguan kesehatan mental yang mungkin diidap manusia, yakni kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, dan suasana hati seseorang. Jenisnya banyak sekali lho, tapi yang paling sering terjadi adalah gangguan kecemasan, kepribadian, gangguan makan, psikotik, stres pascatrauma, dan depresi.

Ini semua bisa disebabkan dari banyak faktor. Pertama, faktor psikologis misalnya pernah mengalami peristiwa traumatik seperti pelecehan seksual, kehilangan orang yang dicintai, merasa teralienisasi. Kedua, faktor biologis misalnya cacat bawaan, luka di bagian otak akibat kecelakaan, gangguan fungsi saraf di otak, dan penyalahgunaan narkoba. Terakhir, faktor lingkungan misalnya kondisi sekitar yang toxic sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kita.

Bahaya Self Diagnosis

Sejatinya self diagnosis itu merupakan start bagi seseorang untuk mendeteksi apa yang sedang terjadi pada dirinya, untuk kemudian dilanjutkan dengan mengomunikasikannya dengan profesional atau pakarnya. Namun, sayang metode ini justru menjadi answer untuk mengeksekusi masalahnya. Salah langkah, hancur sudah!

Dr. Srini Pillay, M.D. seorang psikiatri sekaligus Asisten Profesor Psikiatri di Harvard Medical School menguraikan bahaya apa saja yang akan diperoleh jika kita melakukan self diagnose, Guys. Pertama, kita gak akan bisa membedakan penyakit medis yang menyamar sebagai sindrom kejiwaan. Kedua, tindakan kita itu secara tidak langsung meragukan kemampuan para pakar atau profesional dalam mengeksekusi bidangnya, sebut saja dokter dan psikolog. Ketiga, tak cukup bermodalkan asumsi pada kondisi diri sendiri, namun kita butuh cermin untuk bisa melihat lebih jelas, dokter dan psikologlah cermin itu. Keempat, anggapan bahwa kondisi diri sendiri sangat buruk, padahal faktanya tidaklah sehoror itu lho Guys, bahkan mungkin kondisinya sehat-sehat saja kok. Kelima, bisa jadi ketidaksanggupan menerima bahwa apa yang ada pada dirinya menjadi tanda-tanda dari suatu penyakit tertentu, sehingga ia menyangkal tentang gejala yang dialami (denial). Keenam, apa yang dirasakan belum tentu mengganggu produktivitas sehari-hari, sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai masalah psikologis (Chataja.co.id).

Self Diagnosis Booming di Alam Kapitalis

Guys, sadar gak sih kalau era digital yang semakin berkembang pesat ini memberikan pengaruh pada cara berpikir dan gaya hidup manusia kekinian. Teknologi digital telah menawarkan kemudahan dalam memperoleh informasi serta berkomunikasi. Namun, informasi yang disebarkan sangat beragam dan cenderung tanpa filter. Oleh karena itu, kita harus selektif dalam memilih informasi sebagai rujukan. Jika tidak, alih-alih menjadi solusi dan obat, self diagnosis ini justru menjadi ajang untuk mengais simpati dan perhatian publik, juga ingin tampak kekinian di mata orang lain.

Kamu harus tahu, Guys. Bahwa kapitalismelah yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi saat ini. Dengan prinsipnya untuk mendapat cuan dengan cara apa pun, diluncurkanlah berbagai gebrakan teknologi termasuk fitur-fitur media sosial, tak peduli apakah itu berdampak baik atau buruk bagi masyarakat. Sehingga, disadari atau tidak, indikator gangguan kejiwaan tengah mengintai kita. Sebab, media sosial telah memberikan ruang tak terbatas kepada penggunanya untuk selalu tampil ke permukaan (show up) dan menarik simpati publik di dunia maya, baik kondisi kita yang narsis maupun lemah tak berdaya. Orang berlomba-lomba viral dengan mengusung brandingnya sendiri. Inilah yang dinamakan egosentris.

Bukan hanya itu Guys, muncul pula keputusasaan akan kondisi kehidupan yang semakin tak menentu karena persaingan hidup yang semakin ketat, sementara pasarlah yang menjadi penentu mekanismenya. Di sisi lain negara abai dalam melakukan penjagaan terhadap generasi, pengurusan pada urusan masyarakat termasuk pemenuhan haknya. Masyarakat dipaksa produktif dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah guna bertahan hidup. Padahal, sejatinya produktivitas sendiri pada dasarnya untuk menyokong sistem kapitalisme yang mengejar cuan sebesar-besarnya. Jadilah masyarakat saat ini lenyap penguasaannya dalam menyolusikan konflik-konflik dan kegalauan batin sendiri.

Ngenes banget kan, Guys? Akhirnya banyak orang yang cemas, gelisah, bahkan depresi karena tekanan hidup yang berat. Menyikapi ini, self diagnosis dianggap answer dari segala kekalutannya. Satu sisi mereka membutuhkan solusi atas apa yang dialaminya, sisi lain mereka dihadapkan pada fasilitas pelayanan kesehatan fisik dan jiwa yang masih minim disediakan oleh negara, kalaupun ada disediakan swasta, konsekuensinya ya harus bayar sendiri Guys. Untuk sekadar konsultasi saja mereka harus merogoh kocek dalam-dalam, terlebih harus mengikuti rangkaian tahapan hingga tuntas harganya sangat fantastis, sulit dijangkau. Sehingga, jalan pintas dan murah meriah akhirnya mereka tempuh untuk sekadar merespons apa yang mereka alami.

Namun, ketamakan kapitalis tak berhenti sampai sana. Kapitalisme justru memanfaatkan masalah kesehatan mental masyarakat untuk mengkreasikan komoditas baru, lagi-lagi demi cuan. Menjamurlah aplikasi atau fitur untuk self diagnosis, yang hasilnya belum tentu valid dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, kita dibanjiri acara-acara hiburan agar bisa melupakan masalah sejenak dan santuy agar tidak stres. Parahnya, konten pornografi dan pornoaksi pun diaruskan untuk menstimulus rasa senang padahal di saat yang sama merusak sel-sel otak penikmatnya.

Tuntunan Islam dalam Menjaga Kesehatan Mental

Tahukah kamu, Guys? Ternyata Islam itu bukan sekadar agama lho, tapi juga berposisi sebagai ideologi. Maksudnya, Islam itu memiliki seperangkat aturan untuk mengurusi kehidupan kita semua. Gak melulu urusan ibadah saja, bahkan urusan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan juga ada aturannya lho. Nah, termasuk dalam menyikapi fenomena self diagnosis dan kesehatan mental manusia, Islam punya solusinya lho. Apa itu? yuk ah kepoin.

Pertama, kenali diri sendiri. Apa kamu yakin sudah mengenal diri sendiri secara mendalam? Kalau belum, yuk kita telusuri bareng-bareng. Begini lho Guys, manusia ketika diciptakan Allah ke dunia ini melalui perantaraan kedua orang tua kita, ternyata gak hanya bentuk fisiknya doank, tapi dilengkapi dengan potensi manusia (khasiyatul insan) yakni kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah), naluri (gharizah), dan akal (tafkir). Saat manusia merasakan lapar, haus, lelah, butuh bernapas dan lainnya, inilah penampakan dari hajatul udhowiyah. Jika ini muncul, maka kita harus segera memenuhinya. Karena jika ditunda, konsekuensinya bisa menimbulkan penyakit bahkan kematian.

Nah, yuk kita pahami Guys. Naluri itu ada 3 macam lho yakni naluri beragama (gharizah tadayun), naluri mempertahankan diri (gharizah baqo), dan naluri melestarikan jenis (gharizah nau’). Ketika seseorang merasa butuh sandaran dan penakdisan pada sesuatu yang kuat dan tak terbatas, galibnya agama dipilih menjadi tumpuan untuk penyaluran gharizah tadayun ini.

Apakah kamu pernah merasa marah, sedih, bahagia, rasa ingin memiliki atau bahkan merasa tersaingi? Nah, dalam batas yang wajar semua ini adalah fitrah dan bukan mental illness seperti yang kamu sangka selama ini. Begitu pula dengan rasa sayang kepada orang tua, saudara, tetangga, teman, bahkan cinta kepada lawan jenis, itu fitrah lho bukan dosa.

Jadi, berbagai perasaan yang kita alami selama ini merupakan ciri bahwa kita itu manusia normal, bukan robot. Tapi ingat Guys, gak mentang-mentang normal, lantas ketika naluri itu muncul harus segera disalurkan secara membabi-buta juga lho. Catat, naluri itu ketika muncul bisa ditunda penyalurannya, atau jika pun ingin disalurkan harus ada dalam koridor syariat Islam ya, jangan pake nafsu belaka.

Potensi yang terakhir yakni akal (tafkir), istimewa banget posisinya Guys. Sebab, potensi inilah yang menjadikan manusia lebih unggul dibanding makhluk Allah yang lain. Ini pula yang menjadi alasan pembebanan hukum (taklif syara) ada di pundak manusia. So, kalau gak mau disamakan dengan hewan, ya kudu banget memfungsikan akalmu ya Guys!

Kedua, lakukan pembinaan dan penggemblengan diri dengan Islam. Apa itu? Yakni pembinaan yang akan membentuk pola pikir dan pola sikap yang benar sesuai ajaran Islam. Pembinaan ini berlangsung kontinu dan mencerdaskan akal mereka dengan cara memahamkan akidah dan syariat Islam agar memiliki panduan jelas dan benar terkait persepsi-persepsi yang ada dalam benak mereka. Sehingga, mereka dapat merespons fakta dan berbagai problematik sekitar dengan tepat dan tidak alay.

Ketiga, memiliki sikap optimis dan berhusnuzan kepada Allah. Sehingga, tidak gampang memvonis diri mengidap penyakit tertentu terlebih mental illness. Sebab, mereka paham bahwa Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Allah Swt. berfirman sebagai berikut, ‘Aku selalu menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik, ia akan mendapatkan kebaikan. Adapun, bila ia berprasangka buruk kepada-Ku, ia mendapatkan keburukan.” (HR. Tabrani dan Ibnu Hibban)

Keempat, pandai memilah informasi yang didapatkan dari internet. Sebab, tidak semua informasi yang didapat dari internet valid, benar, dan jelas sumbernya. Pun, jangan mudah tersugesti dan melakukan cocokologi terhadap gejala yang ada terhadap keadaan diri sendiri.

Kelima, perbanyak frekuensi berdiskusi dengan keluarga, guru, dan teman yang punya kapabilitas untuk memberikan masukan bijak dan terpercaya. Ternyata mencurahkan pikiran dan perasaan diri dengan orang terdekat dinilai mujarab mengatasi stres pada individu.

Keenam, jika gejala-gejala fisik ataupun kejiwaan yang kita alami di luar batas normal, segeralah berkonsultasi pada pakarnya, yakni dokter dan ahli kejiwaan. Selama ini muncul stigma di masyarakat bahwa psikolog dan psikiater hanya menangani orang gila, padahal tidak sesempit itu. Ruang lingkupnya menyangkut kejiwaan seperti konsultasi pendidikan, pernikahan, pertumbuhan dan perkembangan, psikoterapi, asesmen, dan forensik.

Khatimah

Sejujurnya Guys, perlu upaya keras untuk tetap menjadi waras di era kapitalisme saat ini. Bukan hanya individu dan masyarakat yang harus berikhtiar, tapi pemerintah juga memegang peranan penting. Menghadirkan sistem Islam sebagai pengganti sistem kapitalisme menjadi sesuatu yang mendesak dan sangat dibutuhkan masyarakat saat ini. Oleh karena itu, pembinaan sejatinya mengarahkan seseorang untuk memanfaatkan kesempatan emasnya untuk memberi manfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan negaranya dengan berasaskan akidah Islam dan tentu saja harus sesuai tuntunan syariat Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]


Photo : Healthyfood

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
IKN dan Ambisi Pemerintah
Next
Orkestrasi Penguasa dalam Nyanyian Islamofobia
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Yuk ah kembali pada Islam.. Islam sebagai pedoman hidup kita..

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram