Karenanya mereka yang menerima Islam hanyalah orang-orang yang terpelihara kehanifannya. Baik dari kalangan saudagar dan bangsawan, maupun dari orang-orang lemah di antara mereka. Kalangan tua maupun muda, atau kalangan laki-laki maupun kaum perempuan.
———————————————
Oleh: Siti Nafidah Anshory
Narasipost.com - Tak ada yang mengira, rumah seorang pengusaha muda berusia sekira 16 tahun dari Bani Makhzum itu menjadi tempat pembinaan rahasia bagi para pengikut agama baru yang dibawa Muhammad ﷺ.
Rumah itu letaknya agak terpencil dan tersembunyi di sisi Timur Bukit Shafa, sekira 500 meter dari Ka’bah. Itulah rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, yang dipilih Nabi ﷺ sebagai tempat yang aman untuk bertemu dan mengkaji Islam di masa awal.
Dikisahkan, saat Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah mendakwahkan Islam di fase awal, satu per satu keluarga dan sahabat terdekatnya masuk ke dalam Islam. Mulai dari Khadijah istrinya, anak-anaknya, Ali keponakannya, Abu Bakar sahabatnya, dan lain-lain.
Al-Arqam sendiri adalah orang ketujuh yang menerima Islam atas dakwah Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra. Nama asli beliau adalah Abdu Manaf bin Asad atau Abu Jundab. Beliau masuk Islam bersama tokoh-tokoh lainnya, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah, dan lain-lain.
Di fase itu, dakwah masih berlangsung secara rahasia dan dilakukan melalui kontak-kontak personal. Ini dilakukan karena Rasulullah ﷺ paham betul, permusuhan bangsa Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisme akan demikian keras.
Karenanya mereka yang menerima Islam hanyalah orang-orang yang terpelihara kehanifannya. Baik dari kalangan saudagar dan bangsawan, maupun dari orang-orang lemah di antara mereka. Kalangan tua maupun muda, atau kalangan laki-laki maupun kaum perempuan.
Demikianlah, tahun demi tahun dakwah terus berlangsung. Hingga pada saatnya Muhammad ﷺ dan dakwahnya menjadi perbincangan di kalangan penduduk Makkah.
Dakwah Nabi saat itu belum dianggap membahayakan. Masyarakat musyrik Makkah mengira, kelak semua itu akan hilang dengan sendirinya dan Muhammad beserta pengikutnya akan kembali pada kepercayaan nenek moyang mereka.
Turunnya Perintah Dakwah Secara Terbuka
Sebagaimana ditulis Muhammad Husain Haekal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad (terj. hal 91) dan diungkap juga dalam buku Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (terj. hal 219), di tahun ketiga bi’tsah kenabian, Allah SWT memerintahkan beliau ﷺ untuk mendakwahkan Islam secara terbuka.
Yakni dengan turunnya ayat ini:
فَا صْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَ اَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al-Hijr: 94)
Salah satu yang beliau ﷺ lakukan saat itu adalah mengundang keluarganya untuk makan-makan di bukit Shafa dan menggunakan kesempatan itu untuk menyeru mereka agar mengimani kenabiannya, menerima apa yang diserukannya, dan meninggalkan kesesatan mereka.
Dakwah beliau ternyata ditolak mentah-mentah, terutama oleh keluarga yang merupakan tokoh bahkan penguasa bagi kaumnya. Mereka mulai menyadari dakwah Muhammad ﷺ ini tak bisa diabaikan, karena kelak seruan ini akan membahayakan kepercayaan, bisnis syirik, dan kekuasaan mereka.
Sejak saat itu, hambatan dakwah mulai dirasakan umat Islam, khususnya ketika dakwah Islam mulai menyebut-nyebut Tuhan mereka dan menunjukkan kebatilan dari sembahan-sembahan mereka.
Adapun baginda Rasul ﷺ dan pengikutnya, tak mundur meski tantangan makin membesar. Bahkan mereka kian gencar mengajak masyarakat Makkah untuk meninggalkan sembahan dan sistem hidup mereka yang jahiliah.
Di masa itu kondisi Rasulullah ﷺ dan pengikutnya benar-benar dalam kondisi lemah. Hingga untuk melaksanakan salat saja, mereka harus pergi ke syi’b atau celah-celah bukit, atau ke tempat-tempat sepi agar tidak diketahui manusia. Mereka yang ketahuan siap-siap mendapat kecaman bahkan siksaan.
Sebagian nyawa pengikut Rasul ﷺ saat itu dalam kondisi terancam. Darah sebagian mereka sudah ada yang tertumpah, sebagaimana terjadi pada keluarga Yasir dan Sumayyah. Itulah alasan kenapa di tahun kelima bi’tsah kenabian, Rasulullah ﷺ mengizinkan sebagian pengikutnya yang lemah untuk hijrah ke Habsyah.
Rasulullah Membentuk Kelompok Dakwah di Bawah Tanah
Sejalan dengan situasi itu, baginda Rasulullah ﷺ pun terus berusaha menghimpun orang-orang yang sudah memeluk Islam dalam sebuah kutlah (kelompok) rahasia yang tegak di atas asas akidah Islam.
Beliau ﷺ menetapkan sebuah tempat untuk mengajarkan Islam, sekaligus menjadikannya sebagai markas tempat membina anggota kutlah agar siap terjun mengemban amanah dakwah yang kian berat.
Pilihan itu akhirnya jatuh pada rumah al-Arqam. Tempatnya yang strategis dan posisi al-Aqram yang sesuku dengan Abu Jahl yang dikenal selalu bersaing dengan suku Bani Hasyim (yakni bani Abdul Manaf, kabilahnya Rasulullah ﷺ), membuat siapa pun tak akan menyangka bahwa rumah itulah yang menjadi markas kelompok dakwah Rasulullah ﷺ.
Rumah yang sebelumnya biasa disebut sebagai Dar al-Arqam itu pun akhirnya dikenal dengan nama Dar Al-Islam. Di rumah ini, aqliyah para pengikut kutlah Nabi dibina dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berangsur turun. Sementara nafsiyah mereka digembleng sedemikian rupa dengan salat bersama dan tahajud, hingga mereka siap tampil sebagai kader-kader dakwah yang tangguh.
Setiap kali ada mualaf baru, mereka pun langsung digabungkan dengan kelompok ini. Hingga tercatat di masa itu, jumlah kader dakwah Nabi yang terbina di rumah Arqam sebanyak 40 orang.
Merekalah yang dijuluki As-Sabiqun al-Awwalun, atau orang-orang yang pertama masuk Islam. Dan jumlah ini dari waktu ke waktu terus bertambah.
Saat itu, mereka bisa keluar-masuk Dar al-Islam secara diam-diam tanpa diketahui orang musyrik. Rumah itu tepat dipilih menjadi tempat rahasia karena berada di jalan sempit dan pintunya ada di arah belakang. Dari dalam rumah itu, kondisi jalan bisa diamati sehingga keamanannya bisa benar-benar terjaga.
Karenanya saat itu, kaum kafir Makkah hanya bisa merasakan ada pergerakan dakwah yang terus membesar. Akan tetapi, mereka tidak mampu mencium di mana pusat pergerakan itu berada. Mereka hanya mampu mendeteksi keislaman seseorang jika mereka adalah salah satu anggota keluarga mereka atau berasal dari kalangan budak-budak yang ada dalam genggaman mereka.
Dari Kelompok Rahasia Menjadi Kelompok Terbuka
Dari rumah ini pulalah, Rasulullah ﷺ menjalankan strategi perluasan dakwah dan pembinaan secara rahasia. Beliau ﷺ mengutus beberapa Sahabatnya untuk mengajarkan Islam di rumah-rumah mereka. Salah satunya tampak dari kisah yang melatari keislaman Sayyidina Umar bin Khaththab ra.
Suatu saat, Umar datang untuk membunuh Rasulullah ﷺ yang sangat dibencinya. Ia mendengar kabar dari Nu’aim bahwa adiknya (Zainab) dan suaminya Zainab (Sa’id bin Khabab) telah masuk dalam agama Muhammad. Maka, segeralah Umar mendatangi rumah adiknya dalam keadaan marah besar.
Qadarullah, saat Umar ra. sampai ke rumah adiknya, beliau justru mendapati keduanya sedang halqah bersama Khabab bin al-Art yang diutus Rasulullah ﷺ sebagai musyrif mereka. Saat itu mereka sedang membaca dan membahas Surah Thaha dari Al-Qur’an.
Akhirnya, terjadilah peristiwa fenomenal itu. Singkat cerita, Umar yang begitu memusuhi Islam langsung tersentuh oleh bacaan surat Al-Qur’an yang sedang dibaca. Beliau pun tunduk dan segera menghadap Rasulullah ﷺ untuk menyatakan keislamannya.
Peristiwa Islamnya Sayyidina Umar terjadi pada tahun keenam dari bi’tsah kenabian (615-616 M). Tiga hari sebelumnya, telah berislam pula paman Nabi ﷺ yakni Hamzah ibn Abdul Muthalib ra. Dan keislaman dua orang tokoh utama di suku Quraisy ini, menjadi pengukuh utama kelompok dakwah Nabi ﷺ.
Rupanya Allah SWT telah mengabulkan doa Rasul-Nya, yakni saat beliau meminta kepada Allah agar Islam dikuatkan oleh salah satu dari dua Umar: Umar bin Khaththab dan Abu Jahl Bin Hisyam.
Bahkan setelah itu, Sayyidina Umarlah yang mendorong Rasulullah dan para Sahabat untuk menunjukkan keberadaan kutlahnya secara lebih terbuka. Saat itu Umar berkata, “Mengapa kita menyembunyikan agama kita wahai Rasulullah, padahal kita berada dalam kebenaran, sedangkan mereka berada dalam kesesatan?”
Rasulullah ﷺ pun menjawab, “Jumlah kita masih sedikit, engkau sendiri menyaksikan apa yang menimpa kita wahai Umar.” Umar pun kemudian berkata, “Tidak pantas engkau sembunyikan agama ini wahai Rasulullah. Tampakkanlah agamamu. Demi Allah! Tidak akan disembah Allah secara sembunyi-sembunyi sesudah hari ini. Demi Zat yang mengutus engkau dengan kebenaran. Tidak akan ketinggalan suatu majelis yang aku pernah duduk di dalamnya dengan kekafiran, melainkan akan kutampakkan di situ dengan Islam. Aku tidak gentar dan takut!”
Rasulullah ﷺ pun menerima sepenuhnya saran Umar bin Khaththab ra. untuk menunjukkan aktivitas kutlahnya secara terbuka. Salah satu cara yang dipilih adalah melakukan pawai terbuka di tengah masyarakat Makkah dan di sekeliling Ka’bah.
Pawai dakwah yang fenomenal dalam sejarah ini pun terjadi. Diawali dari rumah Al-Arqam, sekitar 140 anggota kutlah Rasulullah berjalan dengan berbaris. Mereka dibagi menjadi dua barisan yang masing-masingnya dipimpin Umar dan Hamzah ra.
Lalu, barisan ini berjalan menyusuri kampung-kampung yang berdekatan dengan Masjidilharam, yaitu Samiyah, Syughlail, Ziyad, dan lain-lain. Kemudian barisan masuk ke dalam masjid, mengelilingi Ka’bah dan finish di sana, dilanjutkan membaca Al-Qur’an dan salat.
Tempaan di Dar Al-Arqam pun Teruji di Fase Kedua
Pascapawai tersebut, aktivitas kelompok dakwah Rasul pun tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Dar Al-Arqam. Para ahli sirah menyebut momentum itu sebagai pertanda berpindahnya fase dakwah Rasulullah ﷺ dari tahap dakwah sembunyi-sembunyi (daur al-istikhfa’) ke tahapan dakwah secara terbuka (daur al-i’lan).
Ditandai dengan interaksi lebih terbuka di tengah masyarakat dan dengan eskalasi perjuangan politik (kiffah siyasi) yang lebih kental. Sehingga benturan dakwah di tahap ini pun jauh makin keras dan makin membahayakan keberadaan kelompok dan pengikut ajaran Islam.
Wajar jika periode ini dikenal sebagai periode yang paling menakutkan. Hingga hari-hari berikutnya, perjalanan dakwah dipenuhi dengan cobaan dan ujian. Mulai dari propaganda politik, persekusi, kriminalisasi, pemboikotan, dan lain-lain.
Di masa itu rumah Arqam menjadi saksi bisu perjalanan dakwah Rasul dan para sahabatnya. Hingga kelak Makkah ditinggalkan di era hijrah, dan kembali di-futuhat di tahun ke-8 hijriah.
Di masa-masa kemudian, Al-Arqam mewariskan rumahnya kepada putranya dengan syarat tidak akan dijual. Namun, pada masa Abu Jaafar al-Mansur, salah satu cucu Al-Arqam dibujuk untuk menjual bagiannya di rumah itu seharga 17.000 dinar. Begitu pun dengan saudara-saudara lainnya. Setelah ganti pemilik, rumah ini disebut dengan Daru’l-Khayzuran.
Adapun sekarang, rumah Arqam tentu sudah tak ada jejaknya lagi. Proyek perluasan Masjidilharam membuat situs bersejarah ini hilang tak berbekas. Namun, kisah keberadaannya yang strategis dalam perjalanan dakwah Islam tentu akan terus dikenang sebagai bahan pembelajaran umat Islam. []
Sumber: https://www.muslimahnews.com/2020/11/15/tapak-tilas-rumah-arqam-pusat-pembinaan-pertama-kelompok-dakwah-rasulullah-saw/