Walau di tengah jalan perlengkapan senjata juga pasokan makanan berkurang. Gerilya masih terus membara dari belantara hutan Aceh yang lebat.
Oleh. Rosmiati, S.Si.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Rintik hujan jatuh membasahi bumi. Rimbun hutan itu pun basah. Bumi itu seolah tahu, tanah ini akan berduka.
Wanita tua merapal doa. Zikir pada-Nya melangit jua. Sejak sang panglima itu tiada. Ia mencium aroma pengkhianatan.
Seorang bocah datang berlari. Ia marah dan juga murka, pada lelaki yang sudah membawa, kaphe Belanda pada Njak-nya. Seorang wanita yang sudah berjihad sejak muda hingga tua.
Biarpun penyakit encok datang mengadang. Tak surut semangat untuk berjuang. Sampai titik darah penghabisan. Syahid sebagai seorang mujahidah. Itulah mimpinya yang dirindukan.
Walau buta mata telah menghampiri, mata batin terang melihat, mengangkat rencong lebih mulia. Tersiksa badan tiada masalah. Dari pada harus menyerah pada kaphe penjajah laknatullah.
Sang panglima mudah percaya, pada perjanjian dengan Belanda. Bahwa Njak akan dijaga, tak akan dibawa pergi jauh dari tanahnya. Panglima yang pemberani itu lupa, bahwa kaphe pada hakikatnya, mereka pengkhianat janji terbesar.
Demikianlah akhir Srikandi Tanah Rencong berjuang melawan penjajah di negerinya tersayang. Walau telah memasuki usia renta. Dan mulai sakit-sakitan di tengah hutan. Sedikit pun tak tebersit rasa menyerah pada penjajah.
Padahal, ia sudah mulai berjuang dari badan masihlah kuat. Tak gentar pada lawan. Ia terus membakar semangat rakyat Aceh Darussalam sejak usianya masih belia.
Walau di tengah jalan perlengkapan senjata juga pasokan makanan berkurang. Gerilya masih terus membara dari belantara hutan Aceh yang lebat. Ia memimpin dengan gagah.
Apa dan mengapa sehingga Cut Nyak Dhien berikut para pejuang Aceh lainnya tetap bergerilya tanpa mengenal rasa lelah dan menyerah?
Perang Aceh
Nusantara yang terlahir kaya, membuatnya harus menjadi rebutan penjajah. Negeri yang nun jauh di mata itu datang berduyun-duyun hendak menguasai dan memilikinya. Berangkat dari perjanjian Tordesilas yang dengan berani dunia dibagi atas dua bagian terbesar yang wajib untuk dikuasai pula.
Dan atas legitimasi sebelah pihak, kerajaan-kerajaan Protestan itu dengan mudah mengeklaim bahwa tanah yang belum tersentuh ajaran Kristus wajib untuk dikuasai dan ditumbuhkan ajaran Kristus di atasnya.
Itulah, alasan mengapa Kerajaan Protestan Belanda mati-matian ingin menguasai Nusantara. Tanah yang satu-satunya menumbuhkan benda yang pada suatu masa menjadi urat nadi dunia, yakni rempah-rempah.
Dan dari sekian banyak pulau yang terbentang di Nusantara, Belanda juga ingin menguasai seluruh daerah di dataran Sumatra. Satu di antaranya Belanda berhasrat hendak menguasai Kesultanan Aceh. Yang berada di ujung pulau Sumatra.
Hal ini tentu bukan alasan. Kerajaan Belanda telah membaca potensi Aceh yang memiliki nilai geografi yang menguntungkan bagi siapa pun. Pasalnya, Aceh bertindak sebagai gerbang niaga laut bagi Nusantara yang menghadap ke Samudra Hindia dan Selat Malaka.
Di mana ini membawanya lebih dekat dengan poros maritim perdagangan dunia. Yakni, Terusan Suez yang saat itu belum lama dibuka. Di mana ini tentu akan menguntungkan Belanda ketika Aceh berhasil ditaklukkannya.
Di samping itu pula, Kesultanan Aceh dapat menghubungkan Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina. Di mana di beberapa wilayah ini terdapat pelabuhan-pelabuhan yang ramai oleh aktivitas peti kemas.
Itulah mengapa, Belanda habis-habisan berperang demi untuk menundukkan rakyat Aceh. Sampai-sampai, untung tanam paksanya selama 92 tahun harus habis untuk membiayai satu perang saja, yakni perang bersama rakyat Aceh. Perang Belanda di Aceh merupakan perang terlama yang pernah dilewati kompeni di Nusantara berlangsung selama 71 tahun lamanya.
Akan tetapi, walau demikian adanya. Sampai Belanda angkat kaki dari bumi Serambi Makkah rakyat Aceh tak pernah bisa ditaklukkannya. Gerilya tetap berkobar.
Mengungkap Teori Ilmuan Barat tentang Dorongan Perang Aceh
Tentu kita akan terkesima ketika mendengar bahwa perang Aceh di masa silam berlangsung selama 71 tahun. Dan rakyat Aceh harus berperang selama itu melawan Belanda. Ini sesuatu yang di luar nalar.
Pasalnya, 71 tahun gerilya itu bukanlah waktu yang pendek. Apa yang menjadi sumber kekuatan gerilya rakyat Aceh hingga memiliki semangat yang tinggi itu?
Sekaya itukah hasil alam dan harta benda rakyat setempat sehingga mampu membiayai perang selama itu! Tentu kita akan bertanya demikian. Sebab perang apalagi gerilya tentu membutuhkan biaya dan kesiapan logistik yang mumpuni.
Sementara, di satu sisi kita pun tahu bahwa selama perang, Belanda sangat sadis dan barbar bahkan tak segan membumihanguskan setiap kampung berikut lumbung pangan yang dimiliki rakyat.
Pun jika kita ingin mengomparasi dari segi kecanggihan militer, tentu Belanda jauh lebih mengungguli. Tetapi, kenapa rakyat Aceh bisa survive hingga selama itu. Bahkan sampai Belanda angkat kaki, rakyat Aceh tak pernah bisa ditundukkan? Inilah yang menarik untuk disimak.
Dan berdasarkan teori dari seorang ilmuan Barat Carl van Clausewitz, perang itu di mana pun tempatnya memerlukan yang namanya kemauan yang tiada henti (The strenght of motivation). Pertanyaannya, siapa yang mampu menumbuhkan semangat perang ini?
Menurut Carl, siapa dan ajaran apa yang memberikan nilai bahwa kematian dalam peperangan adalah sebuah kemuliaan.
Melihat kondisi perang yang berlangsung di Aceh, Carl menunjuk ulama sebagai sosok yang selalu menghidupkan kembali semangat untuk terus berjuang sekaligus memberi keteguhan mental dan karakter yang teguh kala derita menghampiri para pejuang.
Tak sampai di situ, Carl juga menyebut dalam teorinya bahwa perang tidak semata berbicara tentang kekuatan yang perkasa di mana mampu menghancurkan kekuatan lawan. Bukan semata itu. Melainkan perang juga membangkitkan mereka yang lemah untuk melawan. Laksana semut yang sekalipun kecil dan lemah. Dia akan melakukan perlawanan sebelum mati.
https://narasipost.com/opini/04/2023/ramadan-dalam-musibah/
Dan inilah yang terlihat pada perang Aceh yang berlangsung selama 71 tahun itu.
Di sinilah pula kita melihat betapa endurance yang tumbuh di tengah-tengah pejuang Aceh itu didorong oleh semangat keislaman yang tinggi. Di mana bukan canggih dan modernnya alat perang. Melainkan kukuhnya iman menjadi pendorong dalam meretas perjuangan. Hingga gerilya terus menggelora sampai 71 tahun lamanya.
Syariat Islam yang mulia telah menjadi senjata ampuh dalam mengusir penjajah laknatullah.
Khatimah
Belajar dari kisah di atas, betapa dahulu Islam itu benar-benar hidup di hati-hati setiap yang beriman. Sehingga hilang rasa cemas. Tak silau akan dunia. Bahkan tak takut untuk mati demi membela yang haq. Tentu ini menjadi renungan bagi generasi hari ini. Yang jangankan menyimpan Islam dalam dadanya. Sekadar untuk belajar Islam secara kaffah saja enggan. Maka nyata sudah kita hari ini, sebagaimana yang Rasulullah saw. takutkan bahwa penyakit umatku di akhir zaman ialah cinta dunia dan takut mati.
"Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring. Kemudian seseorang bertanya, 'Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?' Rasulullah bersabda, "Bahkan kalian pada saat itu banyak. Tetapi, kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian 'Wahn'. Kemudian seseorang bertanya, 'Apa itu Al-Wahn ?' Rasulullah berkata: "Cinta dunia dan takut mati." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Wallahu'alam bishowab. []
1055/7%/33
Aceh kaya akan rempah- rempah, maka dari itu perebutan rempah² ini bermuara hingga ke titik peperangan tumpah darah.. tentu saja rakyat Aceh yang berpedoman kepada para ulama, semangat tuk menjaga sumber daya Alam yang berlimpah, yg telah Allah amanahkan kepada penduduk Aceh..