“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Al Hujurat: 13]
Oleh: Yanti Ummu Yahya
[Penulis Buku Motivasi Islami Ideologis]
NarasiPost-Ada statement seorang tokoh agama dalam sebuah video yang beredar di sosial media. Beliau menegaskan bahwa kemuliaan suatu bangsa bukanlah terletak pada agamanya tetapi pada akhlak dan budayanya. Sementara masih ada sebagian orang yang menyangka jika kemuliaan itu terletak pada banyaknya harta, tingginya tahta, dan pujian dari orang lain.
Jika kita intip, makna mulia pada KBBI adalah: tinggi (tentang kedudukan, pangkat, martabat ), tertinggi, terhormat. Sebagai seseorang muslim, tentu standar kemuliaannya adalah Agama Islam itu sendiri, bukan standar penilaian manusia, seperti budaya dan budi pekerti.
Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Al Hujurat: 13]
Mengutip dari Republika.co.id, Sayyidina Ali Bin Abi Thalib mengungkapkan bahwa orang yang bertakwa mempunyai empat sifat utama yaitu :
Pertama adalah al-Khaufu minal-Jalil yakni manusia yang selalu merasa takut kepada Allah Swt. Ketakutan (khauf) seorang hamba kepada Rabb-nya akan mengantarkannya kepada sikap taat dan menghindarkan diri dari maksiat.
Yang dimaksud dengan rasa takut adalah: rasa cemas, gundah, dan khawatir terkena azab Allah akibat melakukan perbuatan haram/meninggalkan kewajiban. Senantiasa khawatir jika Allah tidak menerima amalannya sehingga dia akan mencoba memiliki sifat takwa.
Kedua yaitu al-‘Amalu bi At-Tanzil. Artinya sebuah sikap seorang manusia yang selalu beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah Swt. Beramal ihsan dengan cara mengikatkan seluruh perbuatannya kepada Al-Qur'an dan As Sunnah sebagai rujukan utama dan pertama. Baik dalam skala individu seperti dalam hal berpakaian, makanan dan berakhlak. Maupun dalam skala antar individu seperti bermuamalah.
Alasan kita merujuk kepada wahyu (Al-Qur'an dan as Sunnah) adalah karena diturunkannya Al-Qur'an adalah sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Sedangkan tidak ada uswah khasanah kecuali Rasulullah Saw yang mulia. Allah Swt berfirman :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. [QS al-Baqarah : 185]
Pada ayat ini dijelaskan bahwa petunjuk Al-Qur'an itu berlaku umum, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Siapapun dapat mengambil dan memanfaatkannya, apakah dia seorang mukmin, seorang muslim, seorang kafir ataupun seorang musyrik.
Ketiga yaitu ar-Ridha bil-Qalil yakni sifat yang senantiasa merasa cukup dan rida dengan pemberian Allah Swt, meskipun hanya sedikit. Rida sepenuhnya dengan seluruh ketetapan-Nya sebagai Maha Pengatur kehidupan dalam ranah perbuatan yang kita kuasai dan yang tidak kita kuasai.
Keutamaan sifat ini akan mengantarkan pelakunya pada sikap pasrah dengan setiap ketetapan Allah atas dirinya. Sikap untuk tetap melakukan proses melalui ikhtiar terbaik dalam meraih segenap harapan-harapannya. Dengan sifat ini pula, manusia tidak akan menggugat qadha Allah atas dirinya. Dia akan senantiasa husnudzon juga roja' (optimis penuh harap) kepada Allah. Karena semua takdir baik dan buruk berasal dari Allah, dan kita harus lapang hati dan rida menerima semua takdir-Nya.
Keempat, al-Isti`dadu li Yaumir-Rahil yakni sifat senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah. Kita tahu betul bahwa setiap yang bernyawa akan mati. Sebagaimana firman Allah Swt :
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
"Tiap-tiap umat memiliki batas waktu. Maka ketika waktu itu telah tiba, mereka tidak dapat memundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya." [Q.S Al-A’raf : 34]
Dalam kacamata Islam, manusia yang paling banyak mengingat kematian adalah orang yang paling cerdas. Rasulullah Saw pun pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling cerdas?". Rasulullah Saw menjawab, "Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian. Itulah orang yang paling cerdas." [HR Ibnu Majah, Thabrani dan Al Haitsami]
Atas dasar itu, maka kemuliaan yang hanya disandarkan kepada penilaian manusia (berupa akhlak dan sikap moral, apalagi budaya) dan jauh dari Islam adalah kemulian semu. Karena bernilai baik dalam pandangan manusia bisa jadi tidak ada nilainya di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Wallahu'alam bishsowab.