Pertempuran epik di Tours pada tahun 732 M hampir saja mengubah peta sejarah dunia. Abdurrahman al-Ghafiqi, Gubernur Andalusia memimpin langsung pertempuran paling menentukan bagi Islam dan Kristen di gerbang Lembah Loire, Prancis. Adu strategi perang, dampaknya bagi peradaban, dan warisan yang ditinggalkan menjadi pelajaran berharga bagi generasi setelahnya.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Eksotis, menawan, dan mengesankan. Tiga kata itu cukup untuk mendeskripsikan Tours, kota tua di gerbang Loire Valley. Kota ini dijuluki tamannya Prancis. Pemandangan alamnya menakjubkan. Desa-desa kuno dengan deretan rumah kayu diselimuti jalan-jalan berbatu. Harmoni yang tercipta bernuansa vintage yang khas. Begitu pula di Place Plumereau. Alun-alun ini dipenuhi rumah kayu dan rumah besar dengan fasad bergaya Renaisans dan Romawi dari abad ke-15.
Tatkala mengunjungi Tours, para wisatawan seolah terlempar ke masa-masa ratusan tahun silam. Masa-masa di mana Kerajaan Frank berjaya memimpin sebagian besar Eropa Barat kini, yaitu wilayah Prancis, Belgia, Luxembourg, Belanda, Jerman, dan sebagian Italia bagian utara. Bagi wisatawan, Tours bukan tempat singgah, tetapi rumah.
Akan tetapi, tahukah jika di balik segenap keindahan dan keeksotisan kota tua ini menyimpan luka dan duka mendalam bagi muslim? Tahukah jika tanah suburnya pernah disirami oleh darah para syuhada? Tahukah jika jihad Islam tertahan di kota tua Tours?
Lembah Loire Saksi Bisu Battle of Tours
Lembah Loire merupakan kawasan yang membentang di bagian tengah Prancis. Sungai Loire sebagai urat nadi di wilayah ini yang memanjang dari Orleans di utara hingga Nantes di dekat Samudra Atlantik. Kota Tours merupakan pintu gerbang lembah ini.
Pada awal Ramadan tahun 114 H telah terjadi peperangan hebat di Lembah Loire, tepatnya antara Tours dan Poitiers. Sejarawan Barat menyebut peperangan yang terjadi antara pasukan Khilafah Umayyah di Andalusia melawan pasukan Kristen Kerajaan Frank itu sebagai Battle of Tours, kadang Battle of Poitiers. Sejarawan muslim menyebutnya sebagai Bilath Syuhada atau Perang Dataran Syuhada.
Abdurrahman al-Ghafiqi, Tabiin Arsitek Bilath Syuhada
Di Bilath Syuhada, pasukan Islam dipimpin langsung oleh Wali Andalusia, Abdurrahman al-Ghafiqi. Keikhlasannya tidak perlu diragukan sebab ia murid dari Abdullah bin Umar bin Khattab. Demikian pula dengan keahliannya dalam mengatur strategi jihad. Kualitas kepemimpinannya yang kuat terbukti ketika ia ditunjuk sebagai panglima perang.
Kisah penunjukan Abdurrahman al-Ghafiqi sebagai pemimpin cukup menarik. Ketika Wali Andalusia sebelumnya, Samah bin Malik, mencari sosok yang dapat membantunya dalam pemerintahan, rakyatnya merekomendasikan Abdurrahman. Sang tabiin yang bersahaja ini menegaskan maksud kedatangannya ke Andalusia, tidak lain hanyalah untuk mengetahui batas-batas wilayah Kekhilafahan Umayyah dan batas-batas musuh. Pernyataannya ini menyiratkan bahwa sang tabiin mulia siap sedia terjun ke medan jihad.
Perjalanan Abdurrahman al-Ghafiqi dan Pasukannya dari Semenanjung Iberia hingga Tours
Pascasyahidnya Samah bin Malik di Perang Toulouse, gubernur dijabat oleh Anbasah bin Suhaim. Setelah Anbasah bin Suhaim mangkat, Abdurrahman al-Ghafiqi diangkat untuk menggantikannya. Ia meneruskan futuhat yang sempat terhenti.
Dari Semenanjung Iberia, Abdurrahman al-Ghafiqi memimpin pasukan menuju Galia (sekarang Prancis) di bagian utara. Diseberanginya Pegunungan Pyrenees yang memisahkan Semenanjung Iberia dari Prancis, lalu bergerak ke Septimania yang telah terangkul oleh Islam sejak tahun 720 M. Dari Septimania, mereka bergerak membebaskan Acquitaine.
Serangan cepat yang dilakukan kaum muslimin pun berhasil membebaskan Bordeaux. Para mujahidin mulai memasuki wilayah Burgundi dan menaklukkan kota-kota seperti Lyon dan Besancon. Kota Sens yang terletak hanya seratus mil saja dari Paris bahkan berhasil dijangkau oleh sebagian tentara muslim. (hidayatullah.com, 19-3-2019)
Pasukan terus bergerak ke utara hingga mencapai wilayah Tours yang menjadi pusat agama Kristen dengan katedral-katedral besarnya. Kegemilangan demi kegemilangan yang diraih seolah akan membebaskan Konstantinopel dari arah barat.
Adu Strategi Ofensif dan Defensif
Sementara itu, kekalahan demi kekalahan tentara Kristen didengar oleh Charles Martel, pemimpin Franka. Akhirnya, ia meminta pertolongan pada kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Charles Martel menggunakan taktik defensif untuk menahan serangan pasukan Islam yang ofensif dan tidak takut mati itu.
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًاۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَۙ ١٦٩
Di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat ke-169, Allah Swt. berfirman yang artinya, “Janganlah kamu sekali-kali mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya, mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya.”
Pada bulan Oktober 732 M itu, pecahlah Battle of Tours. Abdurrahman al-Ghafiqi mengomando pasukan kavalerinya dengan gagah berani. Tidak ada yang mengingkari kekuatan dan keperkasaan kuda-kuda perang pasukan Islam. Tidak ada pula yang meragukan keimanan dan semangat juangnya. Mereka terus maju merangsek barisan pertahanan Franka, mengacaukan, dan memusnahkan penghalang-penghalang bagi tegaknya Islam di seluruh Eropa.
Perjalanan panjang dengan tambahan banyak ganimah di kuda-kuda mereka; pertempuran demi pertempuran yang mengurangi personel mujahid; dan medan yang belum dikuasai seluk-beluknya menjadikan perang berlangsung alot. Aksi saling intai dan serang-menyerang itu terjadi beberapa hari. Kondisi ini makin menguras logistik dan tenaga pasukan muslim.
Musuh yang lebih menguasai medan, membuat barisan pertahanan yang solid untuk menyulitkan gerak pasukan kavaleri muslim. Mereka memilih menanti pasukan Islam memulai serangan, menjebak mereka di medan tempur yang dipilih, kemudian melakukan serangan balasan. Strategi ini cukup membuat pasukan Islam kewalahan.
Battle of Tours, Titik Balik Sejarah Islam dan Kristen
Pada hari itu, di tengah kobaran perang, denting pedang, dan ringkikan kuda-kuda yang berang, sang panglima syahid oleh tusukan anak panah musuh. Wali Andalusia itu terjatuh dari kudanya dengan tubuh bersimbah darah. Bumi Tours memeluk jasadnya. Di atas genangan darah syuhada, pasukan Islam melanjutkan pertempuran di sisa hari.
Bilath Syuhada berakhir dengan wafatnya Abdurrahman al-Ghafiqi pada hari itu. Di tengah malam buta, pasukan Islam kembali menuju Semenanjung Iberia. Sedih memang, tetapi tekad untuk mengumandangkan azan di seluruh Eropa tidak pernah padam.
Counterfactual History, Andai Pertempuran Dimenangkan Islam
Battle of Tours merupakan pertempuran paling menentukan bagi dunia. Sebuah peperangan dikategorikan demikian bila berdampak pada tiga hal berikut. Pertama, apa pun hasilnya, perang itu membawa perubahan sosial dan politik yang sangat urgen. Kedua, sekiranya pertempuran itu berbeda hasilnya secara diametral, akan terjadi perubahan besar-besaran bagi dunia. Ketiga, bila terjadi perubahan strategi perang yang signifikan. Perang Tours masuk kategori kedua. (hidayatullah.com, 19-3-2019)
Perubahan besar dalam sejarah Eropa dan dunia mungkin terjadi, andai pasukan Islam berhasil memenangkan Bilath Syuhada pada tahun 732 M.
Berikut adalah beberapa kemungkinan dampaknya (counterfactual history).
Pertama, Kekhilafahan Bani Umayyah makin meluas sampai seluruh Eropa Barat bahkan sangat mungkin Konstantinopel ditaklukkan melalui jalur barat. Dinamika sosial dan politik global pun akan berubah, termasuk sektor perekonomian. Eropa ada dalam tatanan dunia Islam.
Kedua, Islam berjaya, sebaliknya Kristen makin tersingkir. Islam sebagai agama yang dijamin kesahihannya mampu menjawab kegelisahan masyarakat Barat. Seluruh problem kehidupannya akan tersolusi dengan paripurna oleh Islam. Jika saja ini terjadi, tidak akan pernah terbentuk Kekaisaran Romawi Suci seperti saat ini.
Ketiga, ilmu pengetahuan, budaya bersih kaum muslimin, dan kemajuan arsitektur makin cepat diadopsi oleh orang Eropa. Dunia sejahtera dalam genggaman Islam.
Ya. Jika saja Battle of Tours dimenangkan Islam, Eropa bahkan dunia secara keseluruhan akan sangat berbeda dengan hari ini. Bisa dibayangkan, andai Abdurrahman al-Ghafiqi dan pasukannya memenangkan Bilath Syuhada, sangat mungkin katedral-katedral di Prancis akan bertransformasi menjadi Hagia Sophia.
Khatimah
Sayangnya, setiap muslim terlarang berandai-andai. Saat seluruh ikhtiar telah diupayakan dan setiap sebab telah dijalani, hasil menjadi rahasia Allah saja. Apa pun ketetapan Allah maka itulah yang terbaik. Bila di masa lalu, Tours di Lembah Loire belum berhasil di-futuhat, sejatinya dia terus akan menunggu dibebaskan hingga hari itu tiba.
Barakallah mbak Haifa
Wabarakallahu fiik Mba Tami 🙂
MasyaAllah belajar sejarah yang tak pernah bosan. Mbaak... Boleh belajar sama mbak nya untuk nulis begini? He he
Boleh banget Mba Netty 🙂
Tours di Lembah Loire menunggu untuk dibebaskan..
Barakallah Mbak Haifa..
Wabarakallahu fiik Mba Deena
Membaca untaian kalimat Mbak Haifa berasa menjelajahi langsung jejak-jejak sejarah yang pernah ditorehkan para mujahid Masya Allah
Semoga wilayah ini segera terbebaskan bersama wilayah2 lainnya di bawah naungan Khilafah