Polemik Awal dan Akhir Ramadan

Polemik ramadan

Menyikapi polemik penetapan awal dan akhir Ramadan membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang aspek keagamaan, teknis, dan politik yang terlibat.

Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Ramadan, bulan suci umat Islam, sering kali menjadi momen yang mempertegas perbedaan dalam penetapan awal dan akhir bulan tersebut. Perbedaan ini kerap terkait dengan metode penghitungan (hisab) dan pengamatan langsung (rukyat hilal). Namun, di balik perdebatan teknis ini, sering kali tersembunyi agenda politik dan nasionalisme yang memengaruhi pengambilan keputusan pemangku kekuasaan.

Pertama-tama, mari kita tinjau perbedaan antara hisab dan rukyat hilal. Hisab merujuk pada metode perhitungan matematis untuk menentukan awal dan akhir Ramadan berdasarkan peredaran bulan dan perhitungan kalender (astronomis). Sementara itu, rukyat hilal adalah praktik pengamatan secara langsung bulan sabit baru untuk menetapkan awal bulan Ramadan. Keduanya memiliki dasar keilmuan dan dalil hukum secara syariat, namun memunculkan perbedaan pendapat yang signifikan.

Di satu sisi, pendukung hisab berargumen bahwa metode ini lebih presisi dan dapat memastikan keseragaman dalam penetapan waktu Ramadan di seluruh dunia. Namun, di sisi lain, mereka yang mendukung rukyat hilal berpendapat bahwa pengamatan langsung merupakan praktik yang lebih otentik, dan sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan observasi alam.

Faktor Politik Nasionalisme

Namun, di balik perbedaan teknis ini, terdapat faktor politik dan nasionalisme yang turut memengaruhi pandangan dan keputusan dalam penetapan awal dan akhir Ramadan sehingga terjadi polemik. Negara-negara dengan mayoritas muslim sering kali cenderung mengedepankan penggunaan rukyat hilal sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi dan otoritas keagamaan setempat.

Selain itu, dalam konteks geopolitik yang kompleks, penetapan awal dan akhir Ramadan dapat menjadi instrumen politik yang digunakan untuk memperkuat identitas nasionalisme. Negara-negara dengan populasi muslim yang signifikan sering kali berusaha menegaskan kemandirian mereka dalam menetapkan waktu Ramadan, sebagai simbol kedaulatan dan keislaman nasional.

Namun, sementara politik dan nasionalisme dapat memainkan peran dalam penetapan waktu Ramadan, penting bagi umat Islam untuk mengutamakan persatuan dan kebersamaan dalam menjalankan ibadah. Perbedaan pendapat dalam metode penetapan waktu Ramadan seharusnya tidak memecah belah umat, melainkan menjadi panggilan untuk memperdalam pemahaman syariat Islam, dan semakin menguatkan opini akan pentingnya institusi negara yang dapat mengadopsi aturan Islam secara kaffah.

Dalam konteks ini, penting bagi pemimpin agama dan politik untuk mempromosikan dialog antar berbagai pihak dan mencari solusi yang menghormati keragaman umat Islam. Dengan memprioritaskan persatuan dan toleransi, umat Islam dapat menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum untuk memperkuat hubungan antarsesama dan mendekatkan diri kepada nilai-nilai keagamaan yang universal.

Dengan demikian, menyikapi polemik penetapan awal dan akhir Ramadan membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang aspek keagamaan, teknis, dan politik yang terlibat. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan toleran, umat Islam dapat menjaga kebersamaan dan memperkuat hubungan dalam menjalani ibadah selama bulan suci Ramadan.

Polemik

Polemik menyangkut perbedaan menetapkan awal-akhir Ramadan ini tergolong yang tidak bisa ditoleransi. Hal ini disebabkan dampaknya secara luas pada disintegrasi umat Islam, yaitu kekacauan dan ketidakbersamaan dalam melaksanakan ibadah puasa serta dalam menampakkan syi’ar hari raya.

KH. Hafidz Abdurrahman dalam sebuah artikelnya berpendapat, bahwa polemik semacam ini, bukan tergolong rahmat, sebab di dalamnya menyangkut halal-haram, dan perpecahan dunia Islam. Dengan demikian, mengambil hikmah dari perbedaan awal-akhir Ramadan ini, kaum muslim harusnya semakin menyadari akan pentingnya institusi negara global yang mengadopsi syariat Islam secara kaffah.

https://narasipost.com/syiar/03/2024/bulan-ramadan-saatnya-membangun-spiritualitas/

Ramadan adalah momen yang penuh makna bagi bersatunya kaum muslim di seluruh dunia. Namun, perbedaan pendapat dalam penetapan awal dan akhir Ramadan sering kali memunculkan ketegangan dan perpecahan di antara umat. Dalam menghadapi tantangan ini, peran seorang khalifah sebagai kepala negara global memiliki kepentingan yang sangat besar dalam menyatukan umat dan mengatasi beragamnya pendapat di masyarakat.

Sebagai pemimpin kekuasaan dan politik bagi umat Islam, khalifah memiliki tanggung jawab besar dalam memfasilitasi proses penetapan awal dan akhir Ramadan. Dengan otoritas yang diakui secara global, seorang khalifah dapat memainkan peran kunci dalam menetapkan standar universal yang diakui oleh seluruh umat muslim.

Salah satu manfaat utama dari adanya khalifah dari sebuah sistem negara global adalah kemampuannya untuk mengkoordinasikan berbagai pandangan dan pendapat dari berbagai belahan dunia. Dengan keterlibatan langsung dari seorang khalifah, proses penetapan waktu Ramadan dapat menjadi lebih terstruktur dan lebih berorientasi pada kesatuan umat.

Khalifah Menyatukan Umat

Selain itu, khalifah juga dapat memfasilitasi dialog antarulama dan otoritas agama dari berbagai negara dan mazhab. Dengan membuka ruang bagi dan konsultasi, seorang khalifah dapat membantu mengatasi perbedaan pendapat teknis dan metodologis yang mungkin muncul dalam penetapan awal dan akhir Ramadan.

Lebih dari sekadar menetapkan waktu Ramadan, peran seorang khalifah sebagai kepala negara global juga mencakup aspek sosial dan kemanusiaan. Seorang khalifah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi, persatuan, dan kebersamaan di antara kaum muslim, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti konflik dan ketidakstabilan politik.

Selain itu, kehadiran seorang khalifah dapat memberikan legitimasi dan otoritas kepada proses penetapan waktu Ramadan, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya konflik atau ketidaksepakatan di masyarakat. Dengan demikian, peran seorang khalifah bukan hanya dalam menetapkan waktu Ramadan, tetapi juga dalam mempromosikan stabilitas dan persatuan di antara umat muslim di seluruh dunia.

Dalam era globalisasi dan kompleksitas politik serta agama, kehadiran seorang khalifah sebagai kepala negara global sangat penting dalam menyatukan umat dan mengatasi beragamnya pendapat dalam penetapan awal dan akhir Ramadan. Melalui kepemimpinan yang bijaksana dan inklusif, seorang khalifah dapat menjadi pembawa perdamaian dan kesatuan bagi umat Muslim di seluruh dunia, menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum untuk memperkuat hubungan antar sesama dan mendekatkan diri kepada nilai-nilai keagamaan yang universal.

Dalam Islam, prinsip kepemimpinan yang diakui adalah memimpin berdasarkan ketentuan syariat Islam dan otoritas yang sah. Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pendapat khalifah dapat menjadi solusi dalam mengatasi polemik atau perbedaan di antara umat.

Salah satu dalil yang penting adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim: bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: "Barangsiapa yang taat kepada pemimpin, berarti dia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa yang tidak taat kepada pemimpin, berarti dia telah durhaka kepadaku." (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa taat kepada pemimpin yang menjalankan sistem Islam atau Khilafah adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Khalifah dianggap sebagai wakil Rasulullah di bumi dan memiliki otoritas yang sah untuk menetapkan kebijakan dan penyelesaian masalah di antara umat.

Dengan demikian, dalil ini menunjukkan bahwa pendapat khalifah memiliki bobot dan otoritas dalam menyelesaikan perbedaan di antara umat, termasuk dalam hal penetapan awal dan akhir Ramadan. Dengan mengikuti panduan dan keputusan khalifah, umat dapat mencapai kesepakatan yang menyatukan dan menghindari perpecahan serta ketidaksepakatan yang tidak produktif.

Wallahu'alam bish Shawwab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Undang-Undang Baru India, ‘Singkirkan’ Kaum Muslim di Sana?
Next
Indahnya Taaruf
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
8 months ago

Polemik yang tidak berkesudahan selama tidak ada Khilafah sebagai pemersatu umat

Sartinah
Sartinah
8 months ago

Di kampung saya selalu begitu. Awal sama akhir Ramadan selalu jadi polemik sebagian masyarakat. Kadang sama tetangga depan rumah berbeda hari awal dan akhir Ramadannya. Selama tak ada institusi negara Islam, maka polemik seperti ini akan terus ada.

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
8 months ago

Yes setuju hanya khilafah yang menyatukan pendapat dan memecahkan problematika kehidupan

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram