Merdeka belajar ala Nadiem Makarim memiliki visi awal mencetak lulusan yang andal di dunia usaha, maka jelas arah dan tujuan pendidikan hanya untuk industri semata
Oleh. Laila Hidayati
(Kontributor NarasiPost.Com & Ketua HIMAPSSI, Fakultas Sastra UMI)
NarasiPost.Com-Pendidikan selalu memegang peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa. Jika kualitas pendidikan generasi baik, maka sudah dapat dipastikan pula bagaimana kemajuan negara dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang ada. Di Indonesia sendiri, mulai dari era orde lama, orde baru, hingga saat ini visi pendidikan sesuai Undang-Undang Dasar 1945 memiliki arah yang sama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan itu pula, dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Jika merujuk sesuai UUD 1945, Pasal 31 Ayat 1 dan melihat relevansinya di Indonesia, kualitas pendidikan di Indonesia masih saja memiliki permasalahan yang krusial seperti akses pendidikan yang layak belum terealisasi sepenuhnya. Terbukti dengan persentase berdasarkan data BPS, hanya sebanyak 10,15% anak yang mampu mengakses hingga jenjang perguruan tinggi, begitu halnya dengan akses & fasilitas pendidikan yang belum merata.
Hingga saat ini, berkebalikan dengan tujuan pendidikan tersebut, Indonesia lagi-lagi disuguhi dengan berbagai kasus mulai dari angka kekerasan seksual anak, bullying & kesehatan mental. Baru-baru ini, kasus pemerkosaan bergilir daerah Lampung yang dilakukan oleh anak di bawah umur hingga kasus kesehatan mental yang menjangkiti generasi.
Tak perlu ditutup-tutupi lagi, nyatanya kebijakan yang lahir hari ini justru tak mampu menjawab maksud dari “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mari kita lihat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan (KEMENDIKBUD) Nadiem Makarim di era pemerintahan Jokowi berupaya semaksimal mungkin membuat terobosan baru yang disebut-sebut revolusioner pendidikan melalui kurikulum Merdeka Belajar yang kabarnya baru-baru ini, Rabu (27/3/2024) resmi menjadi kurikulum nasional.
Jika melihat visi awal pembentukan kurikulum Merdeka Belajar ala pak Nadiem Makarim, pada Oktober 2019 lalu, dilansir dari laman BBC News Indonesia, bahwa pendidikan sekolah ditujukan untuk mencetak lulusan yang andal di dunia usaha. Sejalan dengan hal tersebut, tanggapan orang tua siswa menyatakan bahwa seharusnya kurikulum mengakomodasi kecerdasan anak.
Tentu, kecerdasan tiap generasi berbeda sebagaimana tantangan hari ini. Generasi Z & Alfa melek teknologi dan punya daya inisiatif yang tinggi untuk mencoba banyak hal-hal baru. Pun secara kecerdasan, kedua generasi tersebut memilikinya. Kecerdasan ini jika di kelola dengan baik, maka akan menghasilkan output yang baik bagi individu & berdampak dalam mencerdaskan bangsa.
Namun berkebalikan, kebijakan yang dihadirkan justru menjadi bumerang bagi generasi. Saat pendidikan dianggap sebagai pintu untuk mencetak tenaga kerja, maka fokus pencerdasan generasi tak lagi menjadi poin utama. Manusia seolah-olah diciptakan hanya untuk menjadi pekerja, tolok ukur kemajuan bangsa pun dinilai berdasarkan materi.
https://narasipost.com/opini/08/2023/membaca-arah-kurikulum-merdeka-di-tingkat-sma/
Hingga kerusakan moral generasi tidak menjadi unsur utama dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Maka tak heran, output pendidikan hari ini & seterusnya jika menggunakan sistem yang jelas bertumpu pada materi, kapitalisme, maka generasi yang lahir dari pendidikan di bawah kapitalisme ini akan berfokus pada industri & justru pelanjut tongkat estafet kapitalisme.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, hasil dari pendidikan Islam di masa Daulah Abbasiyah saat itu justru menjadi rujukan bagi peradaban Eropa hingga tertarik untuk menuntut ilmu di bawah lembaga-lembaga Daulah Islam mulai dari Nizhamiyah (1067—1401) di Baghdad, Al-Azhar (975-sekarang) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859-sekarang) di Fez, Maroko, dan Sankore (989-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Hingga tercatat dalam sejarah bahwa Paus Sylvester II, sempat menimba ilmu di Universitas Al-Qarawiyyin.
Ini menunjukkan bagaimana tingkat pendidikan saat itu mudah dijangkau & terbuka bagi siapa saja yang ingin menimba ilmu tanpa khawatir kapitalisasi pendidikan yang hanya bertumpu pada aspek materi.
Hingga saat ini, generasi masih bisa merasakan impact dari peradaban yang pernah berjaya mulai dari tsaqofah Islam: Ibnu Sina (pakar kedokteran), al-Khawarizmi (pakar matematika), Al-Idrisi (pakar geografi), Az-Zarqali (pakar astronomi), Ibnu al-Haitsam (pakar fisika), Jabir Ibnu Hayyan (pakar kimia), dll.
Hasil belajar pendidikan Islam melahirkan generasi yang kukuh keimanannya karena dididik berdasarkan regulasi Islam yang kokoh mental dan pikirannya untuk menjawab tujuan bermuamalah di dunia. Dalam pendidikan, negara pun mengurusi dengan penuh tanggung jawab sebagai konsekuensi keimanan bukan bertumpu pada materi. Di bawah regulasi Islam “Mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan hanya utopia belaka.
Oleh karena itu, kurikulum Merdeka Belajar tak akan mampu mencetak generasi cemerlang sebab arah tujuannya sudah diatur menjadi berorientasi pada dunia. Yang patut diimplementasikan adalah pendidikan berkurikulum Islam dalam sebuah Daulah Islamiah. Wallahu a’lam bisshawab. []