My Perfect Baby is Not Perfect

"Pemenang kedua naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik Story"


Oleh: Nay Beiskara

NarasiPost.Com-Sembilu bersarang dalam kalbu,
merasuk memenuhi bilik-bilik otakku.
Bulir bening mamanas di kedua sudut lensaku, kala netra menatap tubuh mungil nan lunglai yang mulai membiru.
Hanya satu pinta terbesit dalam nalarku, wahai Rabb, berikan satu kesempatan untuk merawat nandaku.

Jatinangor, Oktober 2020


Setiap orang tua tentu menginginkan buah hatinya sempurna, tanpa kekurangan fisik, tanpa cacat. Namun, peristiwa yang terjadi pada bayiku meyakinkan diri ini bahwa Sang Empunya Segala selalu memiliki rencana terbaik bagi setiap jiwa, rancangan hidup terindah bagi setiap keluarga, terutama tuk buah hati tercinta.

Alhamdulillah, Allah Swt. menganugerahkan pada kami bayi tampan yang mungil melalui persalinan normal. Beratnya 2.8 kilogram dengan panjang 50 cm. Secara zahir, tiada kekurangan fisik, tiada cacat. Bilapun tampak keletihan di wajahnya, aku yakin bahwa bukan hanya aku yang tengah berjuang saat persalinan, tetapi bayiku pun berusaha segenap tenaga untuk keluar dari rahim ibundanya.

"My perfect baby," ucapku kala menatap buah hatiku itu.

Duniaku terasa begitu sempurna hingga saat ia menangis terus menerus tanpa jeda di usianya yang baru beranjak dua hari. Rupanya bayiku lapar. Namun, ternyata ia kesulitan tuk mengisap ASI langsung dari payudaraku.

"Apa yang terjadi pada bayiku?" pikirku waktu itu.

Esoknya, aku berinisiatif untuk memerah ASI, sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya karena dua anakku yang lain tak pernah ada masalah seperti ini. Aku pun mencoba memasukkan ASI ke dalam botol dengan dot yang berbentuk pipih. Namun, tetap saja bayiku tak mampu mengisapnya.

Sahabatku menyarankan untuk menggunakan pipet agar ASI mudah masuk ke dalam mulutnya.
Perasaan seorang ibu tak bisa diingkari. Rasa khawatir terus-menerus menyelimuti. Suami dan beberapa sahabat mencoba untuk menenangkan diriku.

"Insyaallah, nanti seiring bertambahnya usia juga bisa kok, Teh. Tenang saja, ya. Jangan panik. Dicoba terus saja mimiin dedenya," ucap sahabatku.

Aku pun terus memenuhi benakku dengan prasangka baik pada Allah. Insyaallah, bayiku pasti bisa. Insyaallah, bayiku akan bertambah berat badannya.

Seminggu, dua minggu, hatiku masih bisa tenang. Upaya merangsangnya untuk mengisap ASI masih terus kulakukan, sementara untuk memenuhi kebutuhan gizinya, aku tetap memerah ASI dan meminumkannya pada bayiku dengan menggunakan pipet.

Akan tetapi, beranjak ke minggu ketiga, pikiran buruk terus menghantui. Pasalnya, bayi mungilku yang tadinya gemuk, berangsur-angsur mengurus. Wajahnya kian tirus. Tubuhnya kian kurus. Dalam lensaku, tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit hingga aku bisa merasakan setiap tonjolan tulang kala memandikannya. Duh, kasihan bayiku.

"Apa gerangan yang terjadi padamu, Nak?"

Berprasangka baik memang diperintahkan oleh Sang Mahakuasa. Namun, itu menjadi satu kesalahan yang fatal dan penyesalan yang teramat dalam ketika menyangka kondisi ananda baik-baik saja, padahal kondisinya kian hari kian melemah. Hingga suatu Sabtu nan kelabu, kusadari bayiku tak mau meminum setetes susu pun sejak pagi.

Tubuhnya seakan menolak apa pun yang coba diberikan. Suami mencoba memberi susu padanya. Namun, bayiku tetap menolak. Lebih dari itu, kepalanya tampak lunglai. Tubuhnya terlihat lemas, tiada sedikit pun suara tangis yang keluar dari bibir kecilnya, seolah-olah tubuhnya tak memiliki tenaga sama sekali, bahkan untuk sekadar menangis.

"Ya Allah, ada yang tak beres," pikirku.

Akhirnya, aku dan suami pun bergegas ke rumah sakit saat itu juga.
Dengan menggunakan motor mio tua berwarna biru, kami membawa bayi kami ke rumah sakit terdekat. Di tengah perjalanan, kulihat kondisi bayiku semakin tak menentu. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru dengan mulut setengah terbuka. Tatapan matanya kosong. Dadanya kembang kempis lebih cepat dari sebelumnya, bagai kekurangan oksigen yang parah.

Melihat bayiku seperti itu, bulir-bulir bening yang sedari tadi tertahan akhirnya mengalir jua. Tak tega rasanya melihat bayiku tengah sekarat. Hanya doa yang terucap di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.

"Ya Allah, bila Engkau menghendaki, berilah kami satu kesempatan lagi tuk merawat dan membesarkan bayi kami," doaku dalam hati.

Sesampainya di rumah sakit, bayiku langsung dilarikan ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pasalnya, kedua tangan dan kakinya sudah membiru. Benar saja, dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa bayi kami mengalami dehidrasi akut dan kekurangan oksigen. Akhirnya, mau tak mau, selang infus dan oksigen pun harus dipasang agar nyawanya selamat.

Tak pernah terpikir dalam benakku akan melihat di tubuh mungil itu terpasang banyak selang. Di tangan kiri terpasang selang infus. Di hidungnya dipasang selang oksigen. Tak ketinggalan di kakinya terpasang alat detektor jantung karena selain kekurangan oksigen, jantung dan paru-parunya juga lemah. Tak ketinggalan di mulutnya pun dipasang selang hingga ke lambung. Subhanallah.

Tubuhku melemas ketika dokter memvonis bayi kami mengalami sepsis. Sepsis adalah istilah medis bagi yang mengalami infeksi di seluruh tubuhnya. Karena dehidrasi akut, tubuh bayiku mengalami syok. Hal ini memengaruhi kinerja organ-organ bagian dalam yang vital. Bagian terparah yang terinfeksi adalah jantung, lambung, dan paru-paru.

Karena kondisi si kecil yang sedemikian parah, sedangkan rumah sakit tak memiliki fasilitas yang lengkap, maka dokter menyatakan tidak sanggup untuk menangani kasus bayiku dan menyarankan agar ia dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.

Aku dan suami menyetujui saran itu. Apa pun akan kami lakukan bila itu yang terbaik untuk keselamatan bayi kami. Kami menyadari, inilah harga yang harus kami bayar atas ketidakpekaan kami.

Di tengah perjalanan menuju rumah sakit rujukan, aku berpikir dan merenung. Ini kali pertama dalam sejarah keluarga kecil kami berhubungan dengan rumah sakit yang lumayan besar. Biaya untuk mendapatkan fasilitas terbaik untuk bayiku pun terbilang tak murah.

Pada akhirnya, aku turut merasakan bagaimana harus berhadapan dengan dunia kesehatan yang kapitalistik. Bila menginginkan fasilitas terbaik, maka kita harus bersiap-siap merogoh kocek yang tak sedikit. Benarlah bila ada yang menyatakan bahwa orang miskin dilarang sakit karena harga yang harus dibayar tidaklah murah, terasa sekali bagi kaum dengan ekonomi sulit.

Sesampainya di rumah sakit rujukan, bayiku segera dibawa ke ruang IGD khusus bayi. Selang oksigen tetap dipasang di hidungnya. Beberapa asisten dokter mulai melakukan analisa. Seorang dari mereka mengajukan beberapa pertanyaan terkait kronologis mengenai sakitnya. Secara singkat kukatakan padanya bahwa bayiku mengalami kesulitan mengisap ASI karena faktor mekanis.

Dari kesulitan itulah akhirnya si kecil mengalami penurunan berat badan secara signifikan, dehidrasi akut, infeksi paru-paru karena banyak cairan di dalamnya, kekurangan oksigen  dan gizi buruk.

Selama di rumah sakit ini, dokter banyak menemukan fakta baru mengenai bayiku. Bayiku bukan mengalami tongue tie, tapi microghnatia. Microghnatia merupakan kegagalan tumbuh pada rahang bagian bawah yang mengakibatkan kesulitan menelan.

Setelah dirawat inap selama sembilan hari di ruang khusus bayi, anakku dinyatakan boleh dibawa pulang dengan catatan, ia harus dikondisikan sebagaimana ketika berada di ruang NICU. Bayiku harus dalam kondisi hangat selalu. Untuk itu, kami membuatkan boks tidur bayi khusus yang dilengkapi lampu. Di mulutnya terpasang selang yang dimasukkan ke dalam lambung untuk membantu memasukkan cairan susu, juga selang oksigen di hidung. Selang infus di tangannya dan detektor jantung sudah dilepas.

Alhamdulillah, kondisi bayiku berangsur-angsur pulih. Berat badannya pun kian hari kian meningkat, walaupun motoriknya masih lemah dan harus menjalani terapi. Namun, kini aku bisa melihat senyumnya yang lucu dan menggemaskan. Semoga bayiku sehat selalu. Aamiin[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Remaja Berperan Bukan Baperan
Next
Ramadhan, Momentum Tepat untuk Kembali Taat pada Syariat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram