Narkoba termasuk ke dalam _extraordinary crime_ atau kejahatan luar biasa. Lantaran, memiliki dampak dari berbagai aspek seperti sosial, politik dan keamanan.
Oleh. Renita (Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-Sungguh memalukan! Terungkapnya kasus narkoba di tubuh Polri beberapa waktu lalu, semakin menambah citra buruk kepolisian di negeri ini. Bagaimana tidak, polisi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakkan hukum terkait penyalahgunaan narkoba, malah terciduk sebagai penikmat barang haram tersebut. Seperti ramai diberitakan, Polda Jabar telah menangkap 12 anggota Polisi atas dugaan kepemilikan narkoba jenis sabu. Satu diantaranya merupakan Kapolsek Astanaanyar, yakni Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi.
Dilansir dari Republika.co.id, Ketua Harian Kompolnas, Benny Mamoto menanggapi kasus narkoba yang menjerat Kapolsek Astanaanyar Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi. Ia mengungkapkan persetujuannya terkait pernyataan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo yang akan menindak tegas anggotanya yang melakukan pelanggaran. Dalam diskusi daring, Ahad (21/2), beliau mengatakan sependapat dengan Pak Listyo, terkait hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh oknum hanya satu pilihan, yakni dipecat kemudian diajukan ke pengadilan. Jika hal itu diterapkan, Beni yakin pelanggaran dapat ditekan. (22/02/2021)
Sungguh ironis, di saat polisi sedang memulihkan image-nya di tengah masyarakat, dengan adanya kejadian ini tentu semakin mencoreng nama baik kepolisian. Selain itu, kasus ini menjerat perwira polisi yang dalam sepak terjangnya kerap berurusan dalam pengungkapan kasus penyalahgunaan narkoba. Maka, hal ini tentu dapat mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pihak kepolisian semakin merosot. Padahal, negeri ini sedang dalam kondisi darurat narkoba dan program antinarkoba pun sedang gencar-gencarnya dilakukan. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?
Mental Aparat Rusak Akibat Sistem Bobrok
Kasus penyalahgunaan narkoba kian merajalela di negeri ini. Banyak kalangan masyarakat terjerat kasus narkoba, mulai dari pelajar, pejabat, artis hingga aparat penegak hukum pun terjerat kasus narkoba. Maraknya kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini, semakin mengisyaratkan bahwa negeri ini sedang dalam keadaan gawat narkoba. Hal ini, patut menjadi catatan khusus bagi para penegak hukum. Terlebih, narkoba termasuk ke dalam _extraordinary crime_ atau kejahatan luar biasa. Lantaran, memiliki dampak dari berbagai aspek seperti sosial, politik dan keamanan.
Padahal, aturan terkait narkotika ini sudah tercantum dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 yang juga menjadi landasan hukum dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN). Menurut data BNN, sepanjang tahun 2019 kasus penyalahgunaan narkoba paling banyak terjadi di tubuh Polda Metro Jaya dengan 6.338 kasus. Dengan melihat data tersebut, terlihat jelas fakta rusaknya mental aparat yang ada dalam sistem sekarang ini, dimana ketakwaan individu dan aturan Islam tidak dilibatkan ketika melaksanakan tugasnya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Wajar, banyak dari oknum polisi yang terjerat kasus kejahatan termasuk kasus penyalahgunaan narkoba.
Faktanya, berbagai penangkapan dan penggerebekan pelaku dan pengedar narkoba pun sudah sering dilakukan. Namun, budaya narkoba tak bisa hilang begitu saja, malah semakin hari semakin menjamur. Bagi para penikmatnya, narkoba seolah dianggap sebagai pelampiasan segala permasalahan hidup. Alih-alih memikirkan pertanggungjawaban akhirat terhadap penggunaan barang haram tersebut, adanya dampak buruk yang mengintai pun nyatanya tidak mampu menyadarkan pengguna narkoba untuk berhenti menggunakannya.
Inilah buah busuk dari penerapan sistem kapitalisme-sekularisme yang diterapkan di negeri ini. Dimana, aturan agama dinihilkan perannya dalam kehidupan, kecuali ranah privat semata. Sehingga, individu dalam sistem sekuler, sama sekali tidak peduli dengan aturan Ilahi. Dalam sistem busuk ini, halal dan haram tidak dikenal sebagai tolak ukur perbuatan, akibat adanya sikap bebas tanpa aturan Ilahi. Agama hanya dijadikan keyakinan, namun kosong dari pengamalan. Alhasil, penggunaan narkoba yang jelas diharamkan pun jauh dari standar dalam perbuatan.
Lebih lanjut, dalam kacamata kapitalis, bisnis narkoba merupakan bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan secara materi. Sebab, kapitalis memandang sesuatu berdasarkan asas manfaat. Suatu benda dianggap berguna dan menguntungkan ketika masih ada orang yang memanfaatkannya. Namun, akan dipandang “haram” dan diabaikan ketika tidak lagi menjadi incaran para penikmatnya. Sehingga, jika pengguna narkoba masih ada, selama itu pula bisnis narkoba akan tetap dipertahankan.
Demikian pula, penegakan hukum terkait penyalahgunaan narkoba selama ini terkesan berat sebelah. Pelaku narkoba kelas dua terus dikejar sampai mati, sementara penangkapan gembong narkoba 'seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami' sulit untuk dicari. Wajar, peredaran narkoba semakin merajalela dengan ancaman yang semakin besar. Maka dari itu, menggantungkan penyelesaian masalah narkoba pada sistem kapitalis ‘ibarat menegakkan benang basah’ yang tak akan pernah tercapai. Karena, sejatinya sistem inilah yang telah melahirkan berbagai problematika kehidupan termasuk permasalahan narkoba.
Islam Memandang Penyalahgunaan Narkoba
Permasalahan terkait narkoba merupakan perkara baru yang belum ada pada masa imam-imam mazhab yang empat, sehingga narkoba dikategorikan dalam khazanah fiqh kontemporer. Namun, meskipun narkoba merupakan perkara baru, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait keharamannya. Meskipun terdapat perbedaan dari segi penggalian hukumnya. Ada yang mengharamkan dengan meng- qiyas -kan pada haramnya khamr (QS Al-Maidah: 90). Adapula yang mengharamkan karena narkoba dikategorikan sebagai barang yang dapat melemahkan jiwa dan akal manusia.
Mengutip pernyataan K.H. Shiddiq Al Jawi dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Seputar Narkoba dalam Fiqh Islam”, dalam khazanah fiqh kontemporer, narkoba disebut sebagai “al mukhaddirat”. Menurutnya, narkoba diharamkan karena dua faktor, yaitu:
Pertama, adanya nash syara yang mengharamkan narkoba, yakni hadits dari Ummu Salamah ra bahwa Rasulullah Saw telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686).
Kata mufattir (tranquilizer) yang dimaksud yaitu zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks _(istirkha)_ dan rasa malas _(tatsaqul)_ pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha
, hlm. 342).
Kedua, adanya bahaya (dharar) yang ditimbulkan pada penggunanya. Hal ini diharamkan dalam fiqh, sebab ada kaidah syara yang menyatakan “Al ashlu fi al madhaar at tahrim” (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram).
Berdasarkan hal ini, maka Islam tegas melarang narkoba dan akan menghilangkan penyebarannya sampai tuntas. Islam akan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba. Sanksi (uqubat) yang akan diterapkan bagi pelaku narkoba adalah hukum ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditetapkan oleh seorang Qadhi, seperti dicambuk, dipenjara atau sebagainya. Pun, sanksi ta’zir dapat berbeda-beda tergantung tingkat pelanggaran yang dilakukannya (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/708-709; Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, 1990, hlm. 81 & 98).
Sedangkan, bagi peminum khamr maka dikenakan sanksi cambuk. Negara juga akan menindak penjual/pengedar serta pabrik-pabrik yang memproduksinya.
Kedudukan Aparat Penegak Hukum dalam Islam
Polisi (syurthah) dalam Islam memiliki kewenangan untuk menjaga keamanan di dalam negeri, di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Polisi dalam negara Islam ada dua, yakni polisi militer dan polisi yang berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah. Laki-laki dan wanita yang telah baligh dan menjadi warga negara Islam boleh menjadi polisi. Dalil tentang adanya oolisi ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi Saw memiliki kedudukan sebagai ketua polisi dan ia termasuk di antara para amir”.
Dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, menurut Ibn Abi ar-Rabi’, syarat orang yang layak untuk dijadikan kepala polisi (syahib as-syurthah) yaitu orang yang sabar, berpikir panjang dan mendalam, berwibawa, tegas, tidak banyak bicara, cerdas, hidupnya bersih, tidak gergesa-gesa, sedikit senyum dan tidak mudah memberi ampun.
Sedangkan, tugas utama polisi yaitu menjaga keamanan di dalam negeri, menjaga sistem, mengontrol keamanan dalam negeri, dan melaksanakan seluruh aspek teknis/eksekusi. Adapun polisi yang berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah, bertugas untuk melaksanakan apa saja yang diperlukan oleh Khalifah sebagai eksekutor dalam mengeksekusi pelaksanaan hukum syari’ah, menjaga sistem, keamanan, ronda malam hari, patroli, mencari pelaku criminal, mengintip pencuri dan orang yang dikhawatirkan keburukannya (Ajhizat Daulah al-Khilafah, hal 95, 96 dan 99; Anwar ar-Rifa’I, al-Insan al-‘Arabi wa al-Hadharah, hal 235).
Demikanlah kedudukan polisi dalam sistem Islam. Tugas dan tanggung jawab yang berat tidak membuat polisi dalam Islam mundur dan serampangan dalam melaksanakan tugasnya. Namun, ketakwaan dan pemahaman Islam yang ditanamkan secara mendalam, membuat mereka menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Wa’allahu A’lam Bish showwab[]
Photo : Pinterest